Gadis Likok Pulo

Penari Likok Pulo (image: acehonline.info)


Awal Desember. Sore itu awan pekat melumuri seluruh langit Banda Aceh, gelap juga menyelimuti matahari yang seharusnya sebentar lagi tenggelam di ujung timur. Hujan baru berhenti saja saat sebuah pesan pendek masuk ke ponsel.

“An, sudah sehat? Malam ini di Taman Budaya ada acara pentas seni, Rapai Seulaweuet tampil pembukaan acara.”

“Alhamdulillah udah mulai mendingan, insya Allah aku datang.”

Hah... kenapa sakit selalu datang di waktu tak tepat.

Beberapa hari yang lalu, hujan turun saat aku pulang dari kampus. Beberapa kendaran kulihat mulai menepi, menghindari hujan, takut kebasahan. Hujan itu rahmat, seharusnya disyukuri, dinikmati. Begitu pikirku. Dengan sombongnya, aku memilih menerobos hujan. Besoknya, Allah seolah murka, aku demam sampai hari ini. Empat hari aku tidak pergi kemana-mana.

Biarpun kondisi badan belum begitu sembuh, tidak ada salahnya menonton. Menyaksikan penampilan Tari Seulaweuet bisa menjadi kebahagiaan tersendiri. Kawan-kawan Seulaweuet yang tidak tampil sepertiku juga pasti bakalan datang. Menonton dan menyemangati. Ini sudah menjadi tradisi Sanggar Seni Seulaweuet sejak dilahirkan. Hal seperti inilah yang selalu kusuka dari sanggar yang katanya sudah berdiri sejak tahun 1996.

***

Selepas Isya, motor Supra X kupacu menuju markas Seulaweuet. 

Dari jalan, rumah pinggir jalan yang menjadi pusat aktivitas mahasiswa yang bergelut dalam bidang tari tradisi Aceh itu tampak sepi. Bukankah malam ini katanya ada penampilan? Seharusnya sekarang masih ramai.

Aku menepikan motor, masuk ke dalam. Seorang tampak buru-buru memasukkan perlengkapan baju tradisi Aceh ke dalam tas. Aku menyapa.

“Kemana orang-orang ne, Dan”

“Semua udah pergi, kita tampil perdana, aku yang tertinggal rombongan. Aku pergi dulu, An. Jangan lupa, kalau nanti pergi, pintu sanggar dikunci. Akhir-akhir ini banyak maling katanya.” Setelah berpesan ini, Dani langsung pergi meninggalkanku sendiri bersama alat-alat kesenian Aceh di ruangan itu.

“Okey, aku shalat dulu. Nanti langsung nyusul” Teriakku. Dani tampaknya tak lagi mendengar lagi kata-kataku. Ia sudah menghilang. Dihisap jalanan.

Seharusnya aku datang lebih cepat. Jelas-jelas tadi Dani sms bahwa tari Rapai Geleng Seulaweuet akan tampil sebagai tarian pembuka acara. Aku harus bergegas, shalat Isya, langsung pergi, telat sedikit saja momen penampilan Seulaweuet tidak bisa kusaksikan. Artinya, sebagai anggota fanatik aku telah gagal mendukung tim kesayangan.

Rumah ini terlalu sepi. Beberapa lemari bersandar di dingin, penuh dengan baju-baju tradisi Aceh. Televisi 23 inch masih menyala, menampilkan iklan obat nyamuk produk dalam negeri. Musim hujan seperti ini, obat nyamuk lumayan laris di pasaran.

Dua orang serentak memberi salam mengejutkanku saat pintu markas Seulaweuet kututup. Dua gadis dengan wajah serupa berdiri di hadapanku. Selain baju dengan warna berbeda, aku tidak bisa membedakannya. Wajah mereka sedikit pucat. Mungkin kehujanan, kedinginan.

“Wa’alaikum salam, ada apa ya...?

“Maaf Bang. Kami mahasiswi UIN Ar-Raniry. Rencana kami mau minta bantu untuk diajari beberapa gerakan tarian tradisi Aceh, seperti Likok Pulo.”

Haduh... Kenapa pula mereka datang malam-malam seperti ini. Mana mau berangkat lagi. Tidak tahu orang lagi sibuk saja.

“Mohon maaf juga Bang. Kami datangnya malam-malam. Soalnya kami agak buru-buru juga. Besok kami ikut seleksi pertukaran pemuda nasional. Ya, minimal kami harus bisa beberapa gerakan tari tradisi Aceh. Ngak perlu banyak Bang, beberapa gerakan saja yang mudah diingat.” Kata gadis satunya lagi dengan nada sedikit memelas. Mereka tersenyum.

Dalam kondisi seperti ini biasanya aku sangat kesal. Kalau saja yang datang itu laki-laki, aku pasti mengabaikan mereka. Setelah berfikir sejenak, aku luluh. Senyum mereka berhasil menghancurkan niatku malam ini. Sebagai laki-laki yang sangat menjaga perasaan wanita, aku harus menyanggupi permintaan mereka.

Masalahnya, biarpun di pinggir jalan besar. Rumah ini sepi. Sangat tidak pantas di negeri syariat Islam ini aku berada bersama gadis yang bukan mahram, walaupun bertiga. 

Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik. Sesekali angin berhembus ke rumah kesenian, menggerakkan hijab yang mereka kenakan. Aku memutuskan mengajari mereka berdua di teras yang sedikit luas. Mereka duduk bersimpuh.

Dingin mulai menghampiri tubuhku. Mungkin wajahku juga pucat seperti mereka. Biarpun pucat, wajah mereka tetap kelihatan menarik, bak pualam yang disinari cahaya pagi. Cantik. Wajah mereka kembar, hanya warna baju yang membedakannya.

“Nama saya Rahmi, Bang.” Gadis yang memakai baju merah muda memperkenalkan diri.

“Kalau saya Rahmah, Bang. Rahmi ini kakak saya. Kami ini kembar.” Ujar gadis satu lagi yang mengenakan baju merah gelap.

“Kalau ada adik laki-laki satu lagi, mungkin akan dikasih nama Rahmat ya...? Kataku melucu. Mereka diam, hanya tersenyum sedikit. Garing mungkin. Aku tidak pandai melawak, apalagi di depan dua gadis cantik. Kalau pandai melawak, mungkin aku sudah dikontrak bermain di film lawak Aceh yang tidak tamat-tamat, konon mereka ingin menyaingi episode sinetron Tukang Kubur Naik Haji.

Rahmi dan saudara kembarnya Rahmah mengaku kuliah di Fakultas Dakwah Universitas Islam Ar-Raniry, tapi aku tidak pernah melihat mereka. Aku memang jarang ke kampus. Rencananya, Rahmi dan Rahmah ingin ke markas Sanggar Seni Seulaweuet siang tadi, tapi tidak memungkinkan. Hujan turun cukup deras.

Malam ini mereka memaksa pergi ke markas, besok mereka akan mempraktekkan beberapa gerakan tarian Aceh di seleksi pertukaran pemuda Indonesia yang diselenggarakan pemerintah pusat.

Aku sedikit menceritakan asal usul tarian Likok Pulo yang berasal dari Pulo Aceh ini. Mereka ternyata sudah tahu banyak tentang tarian ini. Aku langsung mengenalkan gerakan per-gerakan; mulai dari salam; gerakan Lahen; gerakan Sen; dan seterusnya. 

Mereka menangkap setiap gerakan tarian Likok Pulo dengan cepat. Tiga gerakan awal yang baru kuperlihatkan, langsung dikuasai dengan baik. Sebenarnya aku hanya akan mengajari tiga atau empat gerakan saja. Mereka meminta tambah gerakan selanjutnya hingga gerakan penutup. Dua jam berlalu, dan mereka sudah menguasai semuanya.

Semula aku sempat heran, bagaimana mungkin mereka bisa menguasai semua gerakan Likok Pulo dalam sekejap? Lantas, aku menyuruh mereka mengulangi gerakan dari awal hingga akhir. Aku terkejut. Daya tangkap mereka luar biasa. Semua gerakan dipraktekkan dengan sangat baik.

Tangan dan anggota badan mereka bergerak cukup lincah dan gesit seperti penari Likok Pulo profesional. Sebagai wanita, mereka bukan hanya cantik, tapi amazing. Selama aktif di Sanggar Seni Seulaweuet dan sudah melatih beberapa group kesenian sekolah, aku tidak pernah menyaksikan hal seperti ini. Aku masih tidak percaya.

“Ternyata tidak terlalu sulit ya...?” Ucap Rahmah penuh semangat.

Beeh... Tidak terlalu sulit katanya? Jangan bercanda, aku saja butuh waktu dua minggu full latihan baru bisa lancar. Terlalu menghina ini cewek. Atau aku saja yang terlalu bodoh?

“Kalian sudah pernah belajar tarian Likok Pulo sebelumnya ya...? Di sekolah atau di mana?”

“Belum Bang. Kalau lihat tarian Likok Pulo sering, tapi belum pernah belajar langsung.”

“Tarian ini memang sedikit lebih mudah daripada tarian tradisi yang lain, tapi biasanya kami perlu 3 hari latihan rutin tiap hari, baru bisa seluruh gerakan. Itupun kalau latihannya di-press. Kalau enggak bisa seminggu baru lancar.” Ujarku dengan raut wajah masih kebingungan.

“Enggak tahu juga, Bang. Mungkin karena waktunya lagi sekarat aja kadang. Mau tidak mau kami harus bisa tarian ini malam ini.” Aku hanya mengangguk, masih tak percaya.

Aku menyarakan, seharusnya mereka bergabung di grup kesenian tradisi Aceh seperti Sanggar Seni Seulaweuet. Mereka punya ketertarikan dan bakat di bidang kesenian. Kalau mereka bergabung di Sanggar Seni Seulaweuet, aku yakin mereka bisa cepat melampaui kakak-kakak yang lebih senior.

“Bang...” Suara Rahmi membuyarkan lamunanku.

“Bang Farhan, kami sepertinya harus pamit. Alhamdulillah semua gerakan Likok Pulo yang diajarkan juga sudah bisa kami kuasai, walau hanya sedikit.” Ucap Rahmi merendah, padahal mereka sudah menguasai seluruh gerakan tarian Likok Pulo. Semuanya.

“Iya Bang, terima kasih banyak atas semuanya.” Rahmah menambahkan. Wajah mereka yang disinari cahaya lampu masih terlihat pucat, bak pualam putih disinari mentari pagi. Pucat, tapi begitu indah.

Aku mengangguk. Jika saja mereka tidak datang malam hari, tentu aku akan mencegah meraka pulang, membicarakan banyak hal.

“Sama-sama. Semoga tarian Likok Pulo ini bisa membantu besok saat seleksi. Enggak tunggu hujannya reda dulu...?”

“Enggak apa-apa Bang. Kami tinggal dekat-dekat sini kok. Di persimpangan jalan tidak jauh dari sini.”

“Besok-besok, kami boleh ke sini lagi kan...?”

“Boleh-boleh, dengan senang hati. Siang-siang lebih bagus.” Rahmi dan Rahmah saling menatap, lalu terseyum ke arahku.

Mereka melangkah pulang, meninggalkanku sendiri lagi di rumah kesenian ini. Aku membuka HP. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk.

“Seulaweuet udah tampil, kok belum sampai-sampai? Ngak jadi datang ya, An...?”

“Udah telat kali. Enggak jadi datang lagi kayaknya. Hahahaa...” Aku membalas pesan Dani.

Aisss... Aku lupa minta nomor hp mereka lagi. Enggak apa. Kalau jodoh pasti akan jumpa lagi. Jumpa-jumpa mirah lon lhat bak sanggoei, tanda hatee lon dek, lon jok keu gata.

Gerimis meresapkan ragam perasaan ke ulu hati. Walaupun tidak bisa menyaksikan penampilan tarian Rapai Geleng Sanggar Seni Seulaweuet, setidaknya malam ini aku punya kisah indah untuk dikenang. Gerimis datangkan kesejukan-kesejukan hingga ke dasar hati.


***

Hari ini langit cerah. Hangat. Tidak seperti kemarin; tidak ada awan gelap yang melaburi langit; pun tidak ada awan gelap yang menyelimuti matahari, menutupi keindahannya. Banda Aceh terlihat lebih indah saat terkena pantulan matahari. Aku membelokkan motorku ke halaman markas Sanggar Seni Seulaweuet. Beberapa orang terlihat tengah serius bercerita di ruang tamu. Aku melangkah masuk.

“An, Kamu udah baca berita hari ini belum.?”

“Berita apa...? Pilkada lagi? Aku malas kalau Pilkada. Ribut terus soalnya.”

“Bukan... Ini berita tentang kecelakaan motor tiga hari yang lalu. Dua orang cewek yang meninggal kemarin itu anak kampus kita.”

“Kecelakan...? kecelakaan dimana?

“Tu, di simpang enggak jauh dari sanggar kita ini. Masak kamu enggak tahu?”

“Namanya siapa...?”

“Satu namanya Rahmi, satu lagi namanya Rahmah. Katanya mereka kembar, An”

Aku terkejut. Kunci motor Supra X yang kupegang di tangan kanan jatuh. Isi pikiranku menguap entah ke langit mana. Yang terlintas di benakku hanya malam itu, malam gerimis. Aku duduk, menyadarkan tubuh ke dinding. Hujan gerimis mulai berjatuhan. Gerimis di saat udara cerah, hadirkan keanehan-keanehan. Wajahku pucat, sepucat wajah Rahmi dan Rahmah malam itu.[]



Penari Likok Pulo Sanggar Seni Seulaweuet
(image: sanggarseniseulaweuet.com)



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »