Berburu Durian Manis ke Waduk Brayeung

Objek wisata Brayeung di hari liburan (foto: merdeka.com)


“Ne dengan siapa ya…”

Hujan deras sedang mengguyur kulit bumi Banda Aceh saat sebuah pesan singkat muncul di handphone-ku. Setengah jam lalu, Nailul menghubungi Kak Nong melalui hp-ku. Kami bermaksud bertanya kondisi Waduh Brayeung hari ini. Waduk Brayeung? Selain terkenal dengan wisata air yang indah, Brayeung juga terkenal dengan rasa duriannya yang sedap.

“Meuah Kak, nyoe awak sereng jak u Brayeun. Peu kana ie di Brayeung kak, dan peu kana boh drien inan?” balasku. Aku bertanya apakah waduk sudah terisi air dan durian sudah mulai panen di objek wisata alam itu.

Beberapa minggu ini, Aceh memang dilanda kekeringan. Musim kemarau telalu lama bersahabat dengan Aceh, tak mau menyingkir untuk memberikan hujan segar bagi Tanoeh Indatu. Waduk Brayeung yang biasa menampung air dalam jumlah banyak pun airnya ikut menyusut, nyaris kering. Sebelumnya, beberapa media lokal Aceh memberitakan nasib menyedihkan Waduk ini yang mulai sepi pengunjung sejak kemarau panjang.

Di tengah hujan deras itu, aku dan Nailul baru singgah di salah satu warung kopi daerah Neuheun, Aceh Besar. Kami baru pulang dari wisata air panas Krueng Raya. Kami sangat kecewa dengan kondisi wisata air panas itu, terutama Nailul. Ia teramat kesal ketika mendapati wisata air panas terkenal di Aceh Besar itu tak seindah dulu, tak sebersih dulu.

Objek wisata Ie Suum kotor, kurang terawat, seperti gadis cantik yang tidak pernah mandi beberapa tahun. Kotor dan dekil. Kemudian, yang membuat kekecewaan Nailul bertambah, air kolam saat itu tidak hangat sedikit pun menurutnya.

"Kalau airnya tidak panas atau hangat sedikit pun, ini namanya bukan pemandian air panas. Ini yang malah membuat pengunjung panas dan dongkol," gerutuku dalam hati.

“Kiban cara tempat wisata kutoe meunoe, sep paloe,” Nailul ikutan dongkol setengah mati. Tidak masuk akal jika sebuah objek wisata kotor dan jorok. Lebih baik tutup saja, daripada malu-maluin. hahahaa


“Mungkin karena hari Senin, pasti pengelolanya sibuk mengurusi pengunjung Minggu kemarin,” Aku hanya bisa membatin.

Apa yang dikeluhkan Nailul tidak salah. Kami datang dari jauh-jauh di pagi hari hanya apa untuk melihat hal seperti ini? Hampir satu jam jarak tempuh ke mari dan kami harus langsung pulang dengan kekecewaan? Tanpa berendam sebentar di kolam yang airnya sama sekali tidak panas dan kotor hari ini? Tidak. Kami hanya bisa ber-husnudhan, datang di waktu yang tidak tepat barangkali. Kami pun kemudian memutuskan pulang.

Di saat pulang inilah hujan deras turun. Hujan pertama setelah sejak lama Aceh dilanda kekeringan. Bahkan di beberapa tempat ulama dan masyarakat mulai melakukan shalat Istisqa’, salah satunya di daerah Siem beberapa waktu lalu. Masyarakat meminta hujan, dan hari ini hujannya turun. Alhamdulillah. 

Hujan deras memaksa kami singgah sejenak di warung kopi pinggir jalan. Saat singgah di warung kopi inilah terbersit niat Nailul untuk mengajakku melanjutkan perjalanan ke objek wisata alam terkenal lainnya, Brayeung. Jaraknya pun bukan main, satu jam lebih dari tempat kami berada sekarang. Dalam kondisi hujan deras seperti ini bahkan bisa sampai 2 jam, karena jalanan cukup licin. Motor kami tidak bisa digas kencang.

Kalau mampus di tengah jalan, ini memalukan. Masak nama kami berdua harus dimuat di halaman muka koran lokal dengan judul "Demi durian, dua pemuda tewas ketika terobos hujan deras, simak beberapa fakta konyol tentang pemuda jomlo ini."

Nailul mengiming-imingi aku dengan durian manis Brayeung yang katanya salah satu durian yang cukup nikmat di Aceh. Nailul ini pantas jadi politisi. Ia lihai memprovokasi pikiran. Dengan ilmu cakologi-nya, pemuda yang pernah menjadi sales di sebuah perusahaan asuransi ini berhasil membuatku tergoda.

Di luar, hujan masih turun dengan lebat.

Setelah membalas pesan Kak Nong, hp-ku menyala lagi. “Lul, Kak Nong nelpon lagi nih.” Aku menyerahkan hp ke Nailul.

“An, dipeugah lee Kak Nong. Ie na tapi hana pah untuk manoe, boh drien pih na,”

Kata Nailul sambil masih berbicara dengan Kak Nong di handphone. Brayeung sudah dialiri air yang cukup banyak, tapi tidak cocok untuk mandi, dan durian juga masih banyak. Nailul menanyakan kesediaanku berangkat ke Brayeung di tengah hujan deras begini.

Aku siaaap, Lul. Droe pih hawa that boh drien ken?”

Memang, sudah beberapa hari yang lalu Nailul mengajakku ke Brayeung, ia ingin mencicipi durian Brayeung yang menurutnya enak dan harganya murah—karena baru diambil dari bawah pohon. Hutan Brayeung juga penuh dengan durian. Makan durian di Brayeung adalah satu kenikmatan, selain berenang dan menikmati indahnya waduk Brayeung.

Nailul memesan durian sebanyak lima puluh ribu rupiah dari Kak Nong. Jumlah yang lumayan untuk dimakan berdua. Aku sebenarnya tidak terlalu sedang ngidam durian seperti Nailul. Minggu lalu temanku Syahriadi memberiku lima buah durian gratis.

Melihat tekat Nailul untuk menerobos derasnya hujan—hanya untuk durian yang sebetulnya bisa dibeli di Darussalam atau di Tungkop—membuatku yakin ia sedang dipuncak sakau, dan hanya ini bisa dinetralisir dengan durian Brayeung. Aku bersedia menemaninya basah-basahan dalam hujan, seorang kawan haruslah setia. Begitu filosofi hidupku.

“An, lon lakee meuah. Aku punya jaket hujan, tapi cuma satu. satu tok.” katanya sambil mengeluarkan jas hujan yang hanya muat untuk satu orang. Kukira kami akan basah berdua, rupanya hanya aku yang menderitakan perihnya air hujan.

“Bak bangka keuh, Kau enak-enakkan anti hujan. Sedang aku basah-basahan. Keterlaluan. Tolong sambarkan petir ke tubuhnya ya Tuhan. Ke tubuhnya saja, aku jangan kenak.”

Setelah mengetahui hal ini, hanya aku yang akan basah sendiri, seperti ada rasa sesal sudah membuat pernyataan “Siaaap” saat pertama diajak menerobos hujan. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba Megy Z bernyanyi Sungguh teganya dirimu, teganya, teganya, teganya, teganya... Pada diriku... 

“Ternyata cuman aku saja yang menerobos hujan, basah-basahan kayak orang tolol. Aku kena tipu. Kampret” Aku cuma bisa membatin. “Maafkan aku ya Allah, sudah memaki dalam hati. Maafkan ketidaksetiakawanan ini. Semoga saja dia tidak mencalonkan diri menjadi politikus, kalau tidak, aku sendiri tidak mencoblosnya. Dia sudah terjangkit penyakit pejabat politik. PHP. Pemberi Harapan Palsu.” 

Aku berakhir duduk manis di atas motor Nailul, dengan wajah senyum-senyum bodoh—karena baru terkena kasus penipuan. Untuk menghibur diri, aku berusaha mengingat korban-korban penipuan lain yang lebih tragis. Bukan untuk menikmati nasib sial orang lain, tapi untuk merenung bahwa ditipu itu menyakitkan.

Di tengah perjalanan, Nailul sempat mengusulkan membawa mobilnya agar kami terhindar dari terpaan hujan. Dia mengusulkan itu setelah air hujan masuk hingga ke celana paling dalam yang kupakai. Setelah masuk ke celah paling sempit di tubuhku. Hanya sesaat setelah mengusulkan itu, ia kemudian meralatnya.

“Enggak usah saja, An. Mobil nanti bisa kotor dan kita pun sudah terlanjur basah sekarang.”

"Maaf ya, bukan kita yang basah, tapi aku. Aku yang basah. Kamu enggak basah. Kamu pakai jas hujan." Ini PHP yang kedua, dan tak kalah menyakitkan.

“Pencitraan ini, sungguh-sungguh menyakitkan hati… Oooh pencitraan ini, cuman modus penipuan... Kawan-kawan kenak tipu... kenak tipu...”

Aku hanya bisa menyanyi dengan lirik yang kubuat-buat tidak jelas. Nailul tidak mendengarnya. Hujan turun masih sangat deras. Di pikirannya sekarang barangkali cuma ada durian saja.

Kak Nong dan Brayeung

Perjalanan ke objek wisata alam Brayeung sedikit lebih jauh dari jarak Banda Aceh ke wisata Air Panas Krueng Raya. Brayeung terletak di daerah Leupung, Aceh Besar. Jika Air Panas ada di ujung timur Aceh Besar, maka Brayeung ada di ujung barat Aceh Besar. Untuk menuju ke sana, kami harus melintasi kota Banda Aceh. Seperti kataku, jaraknya jauh.

Namun, demi durian, hujan kami lawan.

Hujan turun masih cukup deras. Jalanan licin dan jarak pandang cuma beberapa meter. Kami tiba di Brayeung setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih di perjalanan. Langit masih gelap, belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku tidak lagi memperdulikan hujan mau berhenti atau tidak. Aku sudah basah sepenuhnya.

Samakin mendekati objek wisata Waduk Brayeung, semakin terdengar keras gemuruh air sungai yang mengalir cepat, sederas hujan yang dari tadi belum mau berhenti. Suasana Brayeung cukup sepi. Kios dan gubuk-gubuk yang berjajar di pinggir waduk terlihat kosong. Hanya kios Kak Nong yang buka. 

“Oman… Troeh cit, pikee Kak Nong hana jadeh troeh,” wanita yang memakai pakaian dominan merah itu menyapa. Kak Nong hampir tidak percaya kami datang dengan kondisi hujan-hujanan dari Banda Aceh.

Kak Nong langsung berbicara banyak hal, tentang musim durian, kemarau panjang, hingga aktifitas penebangan hutan di gunung dekat Brayeung. Ibu muda yang sudah memiliki beberapa anak ini terlihat sangat senang dengan kehadiran kami. Kak Nong sudah mengenal akrab Nailul. Jika Nailul dan kawan-kawan berwisata ke Brayeung, ia sering singgah di tempat Kak Nong. Wanita pekerja keras ini yang sudah berdagang di tempat wisata Brayeung sejak lima tahun lebih.

“Kak Nong ka limong thoen leubeh ka meukat inoe. Katrep,” ujar Kak Nong ketika aku bertanya berapa lama ia sudah menggelar lapak di Brayeung. Kak Nong bukan hanya menjual makanan dan minuman, ia juga menyewakan perahu bebek dan jasa lainnya. Ibu muda ini mengatakan, ia termasuk pedangan paling rajin dan paling cepat membuka lapak usaha.

“Saya pagi-pagi sudah buka, saya buka setiap hari kecuali hari Jum’at tok.”

Kak Nong bersyukur hari ini hujan turun dengan lumayan deras di Banda Aceh dan Aceh Besar, khususnya daerah Brayeung. Bagi Kak Nong yang mengais rezeki dari objek wisata air, hujan bagi Kak Nong adalah rezeki. Ia sempat mengeluh sepinya pengunjung saat musim kemarau lalu, terlebih saat air waduk menyusut hampir kering. Hari ini ia gembira, terlebih dengan kedatangan kami. Tanpa kehadiran kami pun rasaya ia selalu bisa bahagia dan gembira.

Na ureung, hana ureung, kakak tetap buka. Tanyoe udep harus sabee bersyukur,” ungkapnya.

Kak Nong tinggal di komplek perumahan menuju waduk Brayeung. Sebagai warga asoe lhoek (baca: warga setempat), ia bersahabat dengan baik dengan semua warga. Tak heran jika ia memiliki koneksi jaringan sosial yang luas, terutama petani dan pedagang durian. Poin terakhir ini yang sangat penting bagi kami, khususnya Nailul: durian.

“Sebelum Kalian pergi ke mari, jika ingin sekali makan durian Brayeung. Hubungi kakak dulu, biar kakak pesan dan simpan. Kalau ingin durian murah, jangan datang hari Sabtu atau Minggu. Dua hari ini hari khusus wisata, jadi harganya juga harga wisata. Kayak hari ini, Senin, biasaya harga durian murah. Bisa makan sepuasnya,” pesan Kak Nong.

Siap Kak Nong. Sebenarnya kami maunya durian gratis, karena yang gratis lebih nikmat. Namun, karena tidak ada, mungkin lebih baik kami pergi selain Sabtu dan Minggu.

Melihat kami datang, Kak Nong menghubungi lagi kawan langganan duriannya. Namun sayang, kami terlambat. Durian tersebut sudah habis. Sebagian besar sudah diborong mugee, pedagang pengumpul.

Wanita yang ramah senyum ini juga terlihat agak kecewa, ia mengusulkan agar kami membeli di persimpangan jalan menuju Brayeung, tempat petani menunggu para mugee. Tak menunggu lama, di tengah hujan, kami tancap gas lagi, menelusuri jalanan sempit Brayeung.

Akhirnya kami berhenti persimpangan jalan, pintu masuk menuju wisata Brayeung, di sana ada pria setengah tua yang sedang tertidur dengan tumpukan durian di sisinya. Setelah nego, kami berhasil membeli 6 buah durian sedang dengan harga tujuh puluh ribu. Harga yang sebetulnya standar, tapi ini jelas lebih murah dari harga durian di banyak tempat di Banda Aceh.

Seperti kata Nailul, durian Brayeung memang terkenal nikmat. Semua durian yang kami belah itu semua dagingnya tebal dan semua rasanya manis. Tidak ada yang isinya hambar dan mengecewakan. Ini benar-benar durian rasa 24 karat dibayar tunai. SAH!

Kak Nong dan Nailul Asfar (Dok. pribadi)
Tak lengkap kalau ke Brayeung jika tidak menceburkan badan ke sungai. Nailul mengajak mandi di waduk, aku langsung menyetujuinya. Air sungai saat itu berwarna kuning susu (entah susu kental manis atau susu kambing). Air hujan bercampur lumpur yang dibawa dari pegunungan dan hutan. Jika pada hari-hari biasa, air sungai dan waduk Brayeung jernih dan berwarna kehijau-hijauan jika dilihat dari jauh, pantulan pepohonan hijau yang menaungi waduk Brayeung.

“Jaaak. Ayoook”

“Jangan mandi di sebelah itu, air sungainya deras kali. Mandi di sebelah sana, di bawah, di pinggir-pinggir,” pesan Kak Nong sambil menunjuk ke sisi dalam waduk, kemudian tanggannya menunjuk sisi luar waduk, di bawah. Di daerah yang agak dangkal dan tidak terlalu deras airnya.

Ada satu hal yang harus dicicipi selain durian jika berkunjung ke Brayeung, gorengan Kak Nong, apalagi di suasana berhujan seperti hari ini. Sungguh nikmat yang luar biasa.

Sebelum pulang sempat terpikir olehku untuk menelusuri sungai dan waduk Brayeung memakai perahu bebek yang disewakan Kak Nong. Namun sialnya, bukan hanya arus yang deras. Ternyata aku pergi dengan kawan brewokan (bukan dengan seorang kekasih, bukan dengan seorang perempuan, istri mungkin). Sumpah, ini sial banget.

Akan sangat indah jika kita pergi ke sini membawa pasangan halal (Say no untuk bawa pacar ke sini ya. Say no untuk merusak kehormatan dan harga diri perempuan okey). Di sini, kita bukan hanya bisa menikmati wisata air, tapi juga wisata kuliner—menikmati durian dan makan gorengan Kak Nong salah satunya. 

Saranku, jika ingin berenang di objek wisata Brayeung, pastikan saat airnya sedang bersih dan jernih. Jangan ikut-ikutan seperti kami yang hanya bisa berenang di pinggir dan itu pun di air yang keruh.

Setelah berpuas diri makan durian, mandi, dan makan gorengan Kak Nong, kami izin pamit pulang.

“Besok-besok kalau datang bisa hubungi Kak Nong dulu seperti tadi,” ujar Kak Nong sambil menunjuk sebuah nomor handphone yang tercantum di dinding.

085361908923

“Itu nomor Kak Nong”

Terima kasih banyak Kak. Kamoe lakee izin dilee.”

Kami pun langsung pamit pulang, langit masih gelap. Hujan dan kabut menyelimuti Brayeung. Sudah terlalu lama rasanya Aceh ditimpa kemarau. 

Entah karena doa siapa sehingga Maha Pemberi Rahmat menurunkan hujan: hewan, tumbuh-tumbuhan, doa-doa para ulama, petani, pedagang, anak-anak, orang tua, wanita, atau entahlah siapa. Allah mendengar doa siapapun yang berharap turunnya hujan, termasuk doanya Kak Nong dan para pedagang yang menggantungkan hidupnya pada wisata air. 

Allah maha mendengar keluh kesah makhluknya. Maha Benar Allah dengan segala rahmat dan nikmatNya.[]

Brayeung hari ini. (Dok. pribadi)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »