Menikah, Mahar dari Orang Tua? Mengapa Tidak?

.missioncriticalintl.org
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah atas separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi)

Seorang kawan bercerita ia akan segera menikah. Hal menyenangkan mendengar seseorang menikah, apalagi itu kawan kita sendiri. Sebagai seorang sahabat, kita tentu harus mendukung niatnya untuk menyempurnakan separuh lagi imannya.

Menikah adalah ibadah. Dan salah satu tujuan pernikahan adalah menyempurnakan separuh agama seperti sabda Rasulullah Saw. di atas yang kerap diulas di ceramah-ceramah pernikahan. Sebagai teman, berita pernikahan ini pastilah sebuah berita gembira, walaupun hal-hal seperti ini terkadang membuat kita sedikit bawa-bawa perasaan atau baper.

(jujur saja, dia ini curhat kepadaku. Kepada kawan yang masih jomblo juga, kan enggak punya perasaan namanya. hahaa).

Menikah sejatinya menyempurnakan separuh iman, dengan tujuan akhir: kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Tujuannya bukan berakhir menyedihkan seperti lagu Mas Anang, “Separuh jiwaku pergi, memang indah semua tapi berakhir luka.” Tujuan pernikahan adalah keberkahan hidup dan kebahagiaan, tidak ada orang yang menikah dengan tujuan meraih kesengsaraan atau berakhir luka.



“An, apakah pernikahan yang maharnya diberikan orang tua tidak bermasalah. Masih mengandung keberkahan dan bisa membuat pernikahan berujung bahagia dunia akhirat?”

Kali ini ia bertanya dengan raut wajah serius. Aku diam sebentar, menatap matanya dalam-dalam seperti ingin menghipnotis. Sebenarnya saat itu, akulah yang sedang terpengaruh hipnotis kata-kata “nikah” darinya, dia mau nikah. lon pajaaan? hahahaa.


“Broe, nikah itu memang ibadah. Mengenai keberkahan dan kebahagiaan nanti dalam kehidupan berkeluarga, itu kembali kepada kita. Ke mana kita akan membawa keluarga kita, ke surga atau ke neraka. Berkaitan dengan sikap kita saat berkeluarga nanti. Kata pak ustad dalam ceramah nikah, menikah itu proses kesabaran. Sabar menerima kekurangan istri, termasuk sabar untuk tidak menggoda atau tergoda hal-hal yang bisa merusak rumah tangga. Ini kata pak ustad lho.”

Sebenarnya, ia bertanya kepada orang yang kurang tepat. Bagaimana mungkin ia bertanya kepada orang yang belum pernah berkeluarga. Bagaimana mungkin orang sepertiku tahu bagaimana keluarga dan kehidupan rumah tangga sebenarnya.

“Jadi masalah keberkahan dan kebahagiaan hidup berkeluarga itu bukan letaknya pada mahar, selama mahar itu diperoleh dari harta halal, bukan harta pungli, memalak orang atau harta korupsi,” lanjutku dalam bahasa Aceh sambil tertawa.

Sebagian kita masih beranggapan bahwa menikah dengan mahar yang diberikan orang tua adalah suatu yang asing atau aneh. Menikah kok maharnya dari orang tua? Menikah kok biayanya dari keluarga? Begitulah tanggapan sebagian kita. Kita seperti lupa dengan kisah Rasulullah Saw saat menikah dengan Siti Khadijah.

Saat menikah dengan Siti Khadijah. Bagaimana mahar Rasulullah Saw. saat itu?

Saat Nafisah binti Munyah menawari Rasulullah Saw. untuk menikahi Siti Khadijah—seorang wanita cantik, berwibawa, cerdas dan kaya raya—Rasulullah Saw. sempat berfikir dari mana beliau memperoleh harta untuk membayar mahar wanita semulia Siti Khadijah. “Ma biyadi ma atajawazu bihi, saya miskin dan tidak punya apapun untuk menikah,” begitulah kata Rasulullah Saw. Hal itu dijawab oleh Nafisah bahwa ia yang akan menanggungnya, lantaran Nafisah masih kerabat dekat Rasulullah Saw.

Mengetahui hal itu, keluarga Rasulullah Saw. juga berusaha membantu melangsungkan pernikahan dan memberikan mahar yang pantas kepada Siti Khadijah. Mahar Rasulullah Saw. ditanggung penuh oleh Abu Thalib, paman Rasul. 

Abu Thalib bahkan berkata dengan penuh kebanggaan terhadap pesta pernikahan laki-laki terbaik pada masa itu dengan perempuan mulia di kalangan Arab.

“Muhammad keponakanku ini tidak sebanding dengan pemuda mana pun. Ia memang bukan pemuda yang kaya, tapi bukankah kekayaan itu akan lenyap dan binasa. Dan hari ini Muhammad menikah dengan hartaku sebagai tanggungannya," begitulah kata-kata Abu Thalib. Rasulullah Saw menikah dengan mahar 20 ekor unta. Bukan jumlah yang sedikit, dan itu ditanggung oleh paman Rasulullah Saw., oleh keluarga beliau.

Shafwah ash Shafwah karya Ibnu Al-Jawzi hal.44

Mahar dari orang tua atau keluarga menunjukkan rasa cinta, kasih sayang dan kebersamaan dalam sebuah ikatan keluarga. Saat pernikahan inilah keluarga berperan apapun untuk memberi dukungan seperti yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. tersebut.

Mahar dari orang tua atau keluarga sangat membantu pada saat kita melakukan prosesi pernikahan, apalagi kita hidup di Aceh—negeri yang masih menerapkan prinsip mahar yang tinggi bagi seorang wanita.

Malah rasanya sangat beruntung bagi orang yang ingin menikah, lalu dibantu orang tuanya atau keluarganya (bukan hanya dalam urusan pesta, tapi juga perkara mahar).

“Jika maharmu itu nantinya adalah pemberian keluarga atau siapapun. Ambillah! Apalagi dari orang tua, yakinlah di sana ada keberkahan dan doa-doa orang tua kepadamu.” Hanya itu sedikit yang bisa kusampaikan kepadanya. Dia terlihat senang akan segera menikah. Saat aku menceritakan kisah Rasulullah Saw. wajahnya tampak segar berseri-seri. Sedang aku, malah terlihat murung, melihat kawan menikah. Seperti sabut kelapa dipijak-pijak. Nyesek di hati (Mohon jangan ditertawakan). Guwek kapaaan? hahahaa.

Di antara banyak pemuda di Aceh, ia pria yang beruntung. Sangat beruntung malah. Ia punya orang tua dan keluarga yang mampu menanggung maharnya untuk menikahi gadis yang dicintainya dan diimpikan siang malam. Banyak sekali pemuda lain harus pontang-panting, kerja siang malam, demi mayam-mayam emas yang tinggi itu. Mayam-mayam emas yang tinggi itu kerap kali menjadi beban tersendiri bagi pemuda Aceh.

Banyak sekali pemuda di Aceh yang terlambat menikah, atau paling parah tidak menikah sama sekali, hanya karena terkadang adat menjerat banyak leher pemuda dengan jumlah mahar yang terlampau tinggi. Tidak ada kompromi. Dan itu bagi sebagian pemuda sepertiku, seperti kami, rasanya SAKIT.[]

Baca juga: Mahar Berduri, Kisah Sulitnya Pemuda Aceh Menikah

Stop bertanya kapan nikah! Jadilah seperti Nafisah binti Munyah dan Abu Thalib, bawakan calonnya, berikan maharnya. Enak saja hanya tanya-tanya kapan nikah. Kami hanya mau yang enak saja. Berikan calon dan maharnya. Wahahahaa.

Salah satu foto bersama pengantin baru-baru ini (Kak Rizki Dhian Nushur). Cerita di atas sama sekali tidak ada hubungan dengan foto ini. Hahahaa. (foto: dokumentasi kamera Albar)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

3 comments

Write comments
June 20, 2019 at 7:55 PM delete

Hallo Akang dan Teteh Calon Penganten,

Masih bingung cari gedung pernikahan? Ingin menikah di gedung full carpet dengan fasilitas eksklusif? HIS Balai Sartika Bandung menjawab keinginanmu dengan konsep One Stop Wedding Service dan pilihan vendor-vendor profesional yang akan membuat pernikahanmu semakin berkesan. Dapat bonus-bonus menarik yaitu Logam Mulia 5 Gram dan Honeymoon di Bali!! Semua itu tanpa diundi looohhh…

Ingin info lebih lanjut bisa langsung hubungi :
Rosianti,
WA ( 085624295686 )
IG ( rosi.hisbalaisartika )
E-mail ( rosi.hiscorp@gmail.com )

Reply
avatar
March 4, 2020 at 7:29 PM delete

Nikah ama orang jawa aja..nrimo ing pandum

Reply
avatar
November 14, 2020 at 6:42 AM delete

Alhamdulillah, terjawab sudah kegundahan saya selama ini. Terimong geunaseh

Reply
avatar