Gadis Likok Pulo

Penari Likok Pulo (image: acehonline.info)


Awal Desember. Sore itu awan pekat melumuri seluruh langit Banda Aceh, gelap juga menyelimuti matahari yang seharusnya sebentar lagi tenggelam di ujung timur. Hujan baru berhenti saja saat sebuah pesan pendek masuk ke ponsel.

“An, sudah sehat? Malam ini di Taman Budaya ada acara pentas seni, Rapai Seulaweuet tampil pembukaan acara.”

“Alhamdulillah udah mulai mendingan, insya Allah aku datang.”

Hah... kenapa sakit selalu datang di waktu tak tepat.

Beberapa hari yang lalu, hujan turun saat aku pulang dari kampus. Beberapa kendaran kulihat mulai menepi, menghindari hujan, takut kebasahan. Hujan itu rahmat, seharusnya disyukuri, dinikmati. Begitu pikirku. Dengan sombongnya, aku memilih menerobos hujan. Besoknya, Allah seolah murka, aku demam sampai hari ini. Empat hari aku tidak pergi kemana-mana.

Biarpun kondisi badan belum begitu sembuh, tidak ada salahnya menonton. Menyaksikan penampilan Tari Seulaweuet bisa menjadi kebahagiaan tersendiri. Kawan-kawan Seulaweuet yang tidak tampil sepertiku juga pasti bakalan datang. Menonton dan menyemangati. Ini sudah menjadi tradisi Sanggar Seni Seulaweuet sejak dilahirkan. Hal seperti inilah yang selalu kusuka dari sanggar yang katanya sudah berdiri sejak tahun 1996.

***

Selepas Isya, motor Supra X kupacu menuju markas Seulaweuet. 

Dari jalan, rumah pinggir jalan yang menjadi pusat aktivitas mahasiswa yang bergelut dalam bidang tari tradisi Aceh itu tampak sepi. Bukankah malam ini katanya ada penampilan? Seharusnya sekarang masih ramai.

Aku menepikan motor, masuk ke dalam. Seorang tampak buru-buru memasukkan perlengkapan baju tradisi Aceh ke dalam tas. Aku menyapa.

“Kemana orang-orang ne, Dan”

“Semua udah pergi, kita tampil perdana, aku yang tertinggal rombongan. Aku pergi dulu, An. Jangan lupa, kalau nanti pergi, pintu sanggar dikunci. Akhir-akhir ini banyak maling katanya.” Setelah berpesan ini, Dani langsung pergi meninggalkanku sendiri bersama alat-alat kesenian Aceh di ruangan itu.

“Okey, aku shalat dulu. Nanti langsung nyusul” Teriakku. Dani tampaknya tak lagi mendengar lagi kata-kataku. Ia sudah menghilang. Dihisap jalanan.

Seharusnya aku datang lebih cepat. Jelas-jelas tadi Dani sms bahwa tari Rapai Geleng Seulaweuet akan tampil sebagai tarian pembuka acara. Aku harus bergegas, shalat Isya, langsung pergi, telat sedikit saja momen penampilan Seulaweuet tidak bisa kusaksikan. Artinya, sebagai anggota fanatik aku telah gagal mendukung tim kesayangan.

Rumah ini terlalu sepi. Beberapa lemari bersandar di dingin, penuh dengan baju-baju tradisi Aceh. Televisi 23 inch masih menyala, menampilkan iklan obat nyamuk produk dalam negeri. Musim hujan seperti ini, obat nyamuk lumayan laris di pasaran.

Dua orang serentak memberi salam mengejutkanku saat pintu markas Seulaweuet kututup. Dua gadis dengan wajah serupa berdiri di hadapanku. Selain baju dengan warna berbeda, aku tidak bisa membedakannya. Wajah mereka sedikit pucat. Mungkin kehujanan, kedinginan.

“Wa’alaikum salam, ada apa ya...?

“Maaf Bang. Kami mahasiswi UIN Ar-Raniry. Rencana kami mau minta bantu untuk diajari beberapa gerakan tarian tradisi Aceh, seperti Likok Pulo.”

Haduh... Kenapa pula mereka datang malam-malam seperti ini. Mana mau berangkat lagi. Tidak tahu orang lagi sibuk saja.

“Mohon maaf juga Bang. Kami datangnya malam-malam. Soalnya kami agak buru-buru juga. Besok kami ikut seleksi pertukaran pemuda nasional. Ya, minimal kami harus bisa beberapa gerakan tari tradisi Aceh. Ngak perlu banyak Bang, beberapa gerakan saja yang mudah diingat.” Kata gadis satunya lagi dengan nada sedikit memelas. Mereka tersenyum.

Dalam kondisi seperti ini biasanya aku sangat kesal. Kalau saja yang datang itu laki-laki, aku pasti mengabaikan mereka. Setelah berfikir sejenak, aku luluh. Senyum mereka berhasil menghancurkan niatku malam ini. Sebagai laki-laki yang sangat menjaga perasaan wanita, aku harus menyanggupi permintaan mereka.

Masalahnya, biarpun di pinggir jalan besar. Rumah ini sepi. Sangat tidak pantas di negeri syariat Islam ini aku berada bersama gadis yang bukan mahram, walaupun bertiga. 

Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik. Sesekali angin berhembus ke rumah kesenian, menggerakkan hijab yang mereka kenakan. Aku memutuskan mengajari mereka berdua di teras yang sedikit luas. Mereka duduk bersimpuh.

Dingin mulai menghampiri tubuhku. Mungkin wajahku juga pucat seperti mereka. Biarpun pucat, wajah mereka tetap kelihatan menarik, bak pualam yang disinari cahaya pagi. Cantik. Wajah mereka kembar, hanya warna baju yang membedakannya.

“Nama saya Rahmi, Bang.” Gadis yang memakai baju merah muda memperkenalkan diri.

“Kalau saya Rahmah, Bang. Rahmi ini kakak saya. Kami ini kembar.” Ujar gadis satu lagi yang mengenakan baju merah gelap.

“Kalau ada adik laki-laki satu lagi, mungkin akan dikasih nama Rahmat ya...? Kataku melucu. Mereka diam, hanya tersenyum sedikit. Garing mungkin. Aku tidak pandai melawak, apalagi di depan dua gadis cantik. Kalau pandai melawak, mungkin aku sudah dikontrak bermain di film lawak Aceh yang tidak tamat-tamat, konon mereka ingin menyaingi episode sinetron Tukang Kubur Naik Haji.

Rahmi dan saudara kembarnya Rahmah mengaku kuliah di Fakultas Dakwah Universitas Islam Ar-Raniry, tapi aku tidak pernah melihat mereka. Aku memang jarang ke kampus. Rencananya, Rahmi dan Rahmah ingin ke markas Sanggar Seni Seulaweuet siang tadi, tapi tidak memungkinkan. Hujan turun cukup deras.

Malam ini mereka memaksa pergi ke markas, besok mereka akan mempraktekkan beberapa gerakan tarian Aceh di seleksi pertukaran pemuda Indonesia yang diselenggarakan pemerintah pusat.

Aku sedikit menceritakan asal usul tarian Likok Pulo yang berasal dari Pulo Aceh ini. Mereka ternyata sudah tahu banyak tentang tarian ini. Aku langsung mengenalkan gerakan per-gerakan; mulai dari salam; gerakan Lahen; gerakan Sen; dan seterusnya. 

Mereka menangkap setiap gerakan tarian Likok Pulo dengan cepat. Tiga gerakan awal yang baru kuperlihatkan, langsung dikuasai dengan baik. Sebenarnya aku hanya akan mengajari tiga atau empat gerakan saja. Mereka meminta tambah gerakan selanjutnya hingga gerakan penutup. Dua jam berlalu, dan mereka sudah menguasai semuanya.

Semula aku sempat heran, bagaimana mungkin mereka bisa menguasai semua gerakan Likok Pulo dalam sekejap? Lantas, aku menyuruh mereka mengulangi gerakan dari awal hingga akhir. Aku terkejut. Daya tangkap mereka luar biasa. Semua gerakan dipraktekkan dengan sangat baik.

Tangan dan anggota badan mereka bergerak cukup lincah dan gesit seperti penari Likok Pulo profesional. Sebagai wanita, mereka bukan hanya cantik, tapi amazing. Selama aktif di Sanggar Seni Seulaweuet dan sudah melatih beberapa group kesenian sekolah, aku tidak pernah menyaksikan hal seperti ini. Aku masih tidak percaya.

“Ternyata tidak terlalu sulit ya...?” Ucap Rahmah penuh semangat.

Beeh... Tidak terlalu sulit katanya? Jangan bercanda, aku saja butuh waktu dua minggu full latihan baru bisa lancar. Terlalu menghina ini cewek. Atau aku saja yang terlalu bodoh?

“Kalian sudah pernah belajar tarian Likok Pulo sebelumnya ya...? Di sekolah atau di mana?”

“Belum Bang. Kalau lihat tarian Likok Pulo sering, tapi belum pernah belajar langsung.”

“Tarian ini memang sedikit lebih mudah daripada tarian tradisi yang lain, tapi biasanya kami perlu 3 hari latihan rutin tiap hari, baru bisa seluruh gerakan. Itupun kalau latihannya di-press. Kalau enggak bisa seminggu baru lancar.” Ujarku dengan raut wajah masih kebingungan.

“Enggak tahu juga, Bang. Mungkin karena waktunya lagi sekarat aja kadang. Mau tidak mau kami harus bisa tarian ini malam ini.” Aku hanya mengangguk, masih tak percaya.

Aku menyarakan, seharusnya mereka bergabung di grup kesenian tradisi Aceh seperti Sanggar Seni Seulaweuet. Mereka punya ketertarikan dan bakat di bidang kesenian. Kalau mereka bergabung di Sanggar Seni Seulaweuet, aku yakin mereka bisa cepat melampaui kakak-kakak yang lebih senior.

“Bang...” Suara Rahmi membuyarkan lamunanku.

“Bang Farhan, kami sepertinya harus pamit. Alhamdulillah semua gerakan Likok Pulo yang diajarkan juga sudah bisa kami kuasai, walau hanya sedikit.” Ucap Rahmi merendah, padahal mereka sudah menguasai seluruh gerakan tarian Likok Pulo. Semuanya.

“Iya Bang, terima kasih banyak atas semuanya.” Rahmah menambahkan. Wajah mereka yang disinari cahaya lampu masih terlihat pucat, bak pualam putih disinari mentari pagi. Pucat, tapi begitu indah.

Aku mengangguk. Jika saja mereka tidak datang malam hari, tentu aku akan mencegah meraka pulang, membicarakan banyak hal.

“Sama-sama. Semoga tarian Likok Pulo ini bisa membantu besok saat seleksi. Enggak tunggu hujannya reda dulu...?”

“Enggak apa-apa Bang. Kami tinggal dekat-dekat sini kok. Di persimpangan jalan tidak jauh dari sini.”

“Besok-besok, kami boleh ke sini lagi kan...?”

“Boleh-boleh, dengan senang hati. Siang-siang lebih bagus.” Rahmi dan Rahmah saling menatap, lalu terseyum ke arahku.

Mereka melangkah pulang, meninggalkanku sendiri lagi di rumah kesenian ini. Aku membuka HP. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk.

“Seulaweuet udah tampil, kok belum sampai-sampai? Ngak jadi datang ya, An...?”

“Udah telat kali. Enggak jadi datang lagi kayaknya. Hahahaa...” Aku membalas pesan Dani.

Aisss... Aku lupa minta nomor hp mereka lagi. Enggak apa. Kalau jodoh pasti akan jumpa lagi. Jumpa-jumpa mirah lon lhat bak sanggoei, tanda hatee lon dek, lon jok keu gata.

Gerimis meresapkan ragam perasaan ke ulu hati. Walaupun tidak bisa menyaksikan penampilan tarian Rapai Geleng Sanggar Seni Seulaweuet, setidaknya malam ini aku punya kisah indah untuk dikenang. Gerimis datangkan kesejukan-kesejukan hingga ke dasar hati.


***

Hari ini langit cerah. Hangat. Tidak seperti kemarin; tidak ada awan gelap yang melaburi langit; pun tidak ada awan gelap yang menyelimuti matahari, menutupi keindahannya. Banda Aceh terlihat lebih indah saat terkena pantulan matahari. Aku membelokkan motorku ke halaman markas Sanggar Seni Seulaweuet. Beberapa orang terlihat tengah serius bercerita di ruang tamu. Aku melangkah masuk.

“An, Kamu udah baca berita hari ini belum.?”

“Berita apa...? Pilkada lagi? Aku malas kalau Pilkada. Ribut terus soalnya.”

“Bukan... Ini berita tentang kecelakaan motor tiga hari yang lalu. Dua orang cewek yang meninggal kemarin itu anak kampus kita.”

“Kecelakan...? kecelakaan dimana?

“Tu, di simpang enggak jauh dari sanggar kita ini. Masak kamu enggak tahu?”

“Namanya siapa...?”

“Satu namanya Rahmi, satu lagi namanya Rahmah. Katanya mereka kembar, An”

Aku terkejut. Kunci motor Supra X yang kupegang di tangan kanan jatuh. Isi pikiranku menguap entah ke langit mana. Yang terlintas di benakku hanya malam itu, malam gerimis. Aku duduk, menyadarkan tubuh ke dinding. Hujan gerimis mulai berjatuhan. Gerimis di saat udara cerah, hadirkan keanehan-keanehan. Wajahku pucat, sepucat wajah Rahmi dan Rahmah malam itu.[]



Penari Likok Pulo Sanggar Seni Seulaweuet
(image: sanggarseniseulaweuet.com)



Puisi: Tuhan dan Kemanusiaan


abdelmoaty.info 


Musibah datang,
Kamu berkata,"Tenang. Ambilkan sajadah!"

Bencana datang,
Kamu berteriak, "Sujudlah…! Berdoalah…!"

Ketika musibah datang,
Sajadah menjadi tujuan
Saat bencana datang,
Sujud menjadi kebutuhan

Ketika musibah datang,
Doa menjadi harapan
Saat malapetaka datang,
Tuhan selalu menjadi jalan pulang

Sajadah, sujud dan doa
Cukupkah untuk merayu Tuhan?
Kemana manusia?
Dimana kemanusiaan?

Tuhan tidak saja merindukan sujud dan doa-doa
Tuhan juga mencintai kemanusiaan
Manusia mengagungkan Tuhan
Tuhan kemudian mengajarkan kemanusiaan

Ketika Tuhan telah dibuang,
Kemana manusia akan pulang?
Jika kemanusiaan hilang,
Bagaimana manusia menggapai cinta Tuhan?

"Selama manusia ingin terus hidup dan menjadi khalifah di bumi, kemanusiaan tidak boleh lenyap. Dan selama manusia masih mau mengagungkan Tuhan, selalu terbuka jalan terbaik. Bukan jalan terbalik. Tuhan jangan dicampakkan, kemanusiaan jangan sampai lenyap."



"Dalam setiap musibah, Allah selalu punya cara misterius untuk mengajarkan hikmah-hikmah kepada manusia. Ingalah! Bukan hanya darah dan air mata, hikmah juga berceceran dimana-mana. Maha kaya Allah dengan segala hikmah-Nya."


___

Farhan Jihadi,
Kattameya, Cairo.
14 Desember 2016 (15 Rabi'ul Awwal 1438)

Metro Tv dan Sebagian Kita yang Terlanjur Hilang Ingatan

Metro Tv (google image)

Apa benar kita ini bangsa pelupa? Bangsa tak tahu terima kasih? Kalau kita dianggap bangsa pelupa dan tidak tahu berterimakasih, saya tidak sepakat. Kalaupun masih ada yang menganggap seperti itu, ya sudahlah! Coz everything gonna be okey seperti kata sebuah lagu. Karena tidak semua kita seperti itu, tidak semua kita seperti yang dituduhkan. Hanya sebagian kecil manusia yang tak tahu bagaimana menghargai, tak tahu cara berterima kasih. Hanya sebagian kecil yang memang tidak beradab.

Beberapa hari yang lalu, musibah gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter melanda Pidie-Aceh. Memporak-porandakan bangunan, menewaskan ratusan jiwa, ratusan lain kehilangan tempat tinggal. Atas nama kemanusiaan, berbagai pihak datang menolong. Memberikan bantuan. Mulai dari pribadi, kelompok, LSM, pemerintah, hingga stasion televisi nasional.

Media televisi datang membantu Aceh, meliput agar orang tersentuh hatinya untuk tergerak membantu. Menyalurkan bantuan. Banyak media nasional turun langsung ke lapangan memberitakan kondisi real di tempat kejadian. Membuka rekening amal, membuka posko bantuan. Peran media dalam bencana alam seperti ini sangat besar.

Merekalah pihak yang membantu menggerakkan orang lain atas dasar kemanusiaan untuk membantu. Melaporkan berita terupdate, keluhan korban, kebutuhan korban agar kondisi real di lapangan tersampaikan dan dapat terus menyentuk orang lain membantu.

Apakah mereka ikhlas datang membantu...? Bukankah mereka sering memberitakan hal-hal konyol? Bukankah itu media yang memberitakan hal tidak berimbang tentang Islam? Begitulah jenis-jenis pertanyaan yang ditanyakan terhadap sebuah media.

Mereka ikhlas. Begitulah yang terlihat. Kalaupun mereka tidak ikhlas, meliput hanya demi kepentingan  untuk mendonkrak rating media. Terserah. Kita manusia tidak berhak menilai ikhlas atau tidaknya manusia. Urusan niat dan hati, hanya Allah yang pantas menghakiminya. Kita hanya berhak berhusnudhan bukannya bersu’udhan, apalagi menghina orang yang memberi bantuan.

Saya benar-benar kecewa dan malu. Saat mereka membantu, lantas ada segelintir orang malah menghina dan mengejek sebuah media nasional yang terlibat membantu. Mentro Tv. Saat ini, di media sosial sebagian kita sedang sibuk nyinyir dan menyebarkan ujaran terkait kebencian, menghina dan caci maki. Dan lebih aneh lagi mereka merasa bangga dengan melakuka kehinaan seperti itu. Apakah pantas, orang atau lembaga yang datang dengan niat membantu, malah kita hina? afalaa ta’aqiluun...? Tidakkah kita sudah berfikir dengan cerdas (bukan dengan kebencian)?

Perkara Metro Tv dianggap telah mencederai Islam dengan pemberitaan yang tidak berimbang terkait gubernur Jakarta. Cukup. Biarkan masalah itu untuk kasus Jakarta. Cukup sampai di situ! Saat Metro Tv kemudian memilih datang ke Aceh, lalu memberikan bantuan, lantas kita hina, kita caci. Apakah pantas kita berkelakuan seperti itu Say? Kita merasa berhak untuk melecehkan, menghina. Begitukah yang diajari agama Islam saat seseorang ditolong...? Begitukah orang Aceh selama ini menjalankan syariat Islam...? Mari jawab dengan hati yang jernih Say, karena because i love you.

Perkara kasus gubernur Jakarta, mari tinggalkan dulu. Mari luangkan pikiran dan hati kita untuk melihat musibah Pidie, membantu sesama. Jika ada yang membatu mari kita sambut dengan lapang dada, bukan dengan nyinyiran, cacian ataupun hinaan. Sangat tidak pantas disaat saudara kita ditimpa bencana dan musibah, kita bukannya membantu, malah menghina orang yang menolong. Sangat tidak beradab rasanya. Benarkan...?

Dengan kasus memalukan ini, saya takut bangsa kita akan dicap bangsa pelupa, bangsa tak tahu terima kasih. Tahu malu. Tidak Say...! Saya tidak mau itu terjadi. Itu bukan tabiat bangsa kita yang terhormat. Kita tidak diwarisi tabiat seperti itu dari indatu moyang kita. Nyan ken peukateun tanyoe bangsa teuleubeh ateuh rung donya. Bangsa mulia ateuh rung donya. Itu bukan tabiat kita Aceh!

Biarlah mereka menyebut Metro Tv dengan Metro Tivu atau Metro Mini atau Metropolutan atau Metro Metro yang lain. Membuat meme aneh-aneh yang menurut mereka lucu bahkan menghina dengan kalimat tak pantas. Tak apa, biarkan saja mereka seperti itu. Walaupun mereka tahu Metro Tv sekarang sedang ikhlas membatu Aceh. Biarkan saja.

Mungkin ada sebagian sangat amat kecil dari kita yang tidak paham atau mungkin sudah lupa atau hilang ingatan. Mereka bisa saja dengan mudah melupakan kontribusi Metro Tv selama Tsunami Aceh. Ini terjadi karena ingatan manusia tidaklah bertahan lama, apalagi jika sudah bercampur aroma kebencian. Dalam politik, perang dan cinta semua jalan dianggap halal, tapi tidak dalam kemanusiaan. Cinta saja bisa berubah benci dalam sekejap. Leubeh get jinoe tapikee kiban cara tabagun nanggroe sama-sama. 

Jika masih ada juga diantara kita yang lupa atau terlanjur hilang ingatan akibat termakan provokasi kebencian, biar saya ingatkan sedikit saja. Saya hanya ingin coba bertanya, dan berharap pertanyaan ini bisa mengembalikan ingatan sebagian kita yang telah hilang. Jawablah dengan pikiran jernih dan hati yang bersih.

Pertama, media manakah yang pertama meliput kasus Tsunami Aceh sehingga musibah maha dahsyat itu menyebar hingga ke seluruh dunia, mengguncang hati manusia dunia luar untuk membantu...? Saya masih ingat saat tayangan program “Indonesia Menangis” diputar berulang-ulang setiap hari, berkali-kali. Membuat orang berduyun-duyun membantu Aceh, dari dana hingga menjadi relawan kemanusiaan.

Kedua, berapa banyak bantuan Metro Tv dalam berbagai bentuk yang disalurkan ke Aceh? Mulai dari makanan, pakaian hingga bagunan fisik. Berapa puluh miliar dana yang disalurkan Metro Tv saat itu untuk korban tsunami 2004...? Bahkan Metro Tv ikut mencerdaskan anak-anak Aceh mendirikan beberapa sekolah di Aceh yang masih aktif hingga sekarang. Saat itu Metro Tv seakan menjadi pahlawan kemanusiaan di Aceh.

Itu semua belum dihitung berita-berita baik dan bermanfaat yang selalu ditayangkan Metro Tv. Kenapa kita menutup mata mengenai hal ini? Paken hana taseumikee troeh keunan?

Donasi sementara untuk korban gempa Pidie-Aceh yang masuk ke rekening Media Group
(Sumber image; foto salah satu kawan di Facebook) 

Dan untuk musibah gempa Pidie-Aceh sekarang saja, donasi untuk korban gempa Pidie-Aceh sedikit lagi mencapai angka 4 miliar dan akan terus bertambah. Tidakkah semua hal itu mampu membuat kita bersikap adil dan terhormat? Tidak malukah kita terhadap bantuan yang telah diberikan Metro Tv selama ini? Tidak malukah kita terhadap anak-anak Aceh yang sudah dididik Metro Tv melalui yayasan Sukma Bangsa hingga sekarang?

Terlepas dari apapun, orang atau siapapun yang datang dengan niat baik selayaknya diterima dengan lebih baik. Dijamu dengan lebih baik, diperlakukan dengan hormat. Bukankah begitu yang diajarkan indatu moyang kita di Aceh yang sudah hidup dalam tradisi Islam yang kental...?

Seharusnya kita lebih paham arti berterimakasih. Tak dianggap dan tak dihargai itu sakit sekali. Kenapa Aceh memberontak dulu. Ya, karena tak dianggap dan tak dihargai oleh pusat. Pusat dianggap tak tahu berterimakasih dan tak tahu balas budi kepada Aceh. Akhirnya Aceh memilih memberontak.

Kita seharusnya lebih dewasa dan lebih bijak bersikap. Kitalah yang seharusnya mengajarkan orang lain bagaimana caranya berterimakasih; cara menghormati orang. Sejarah Aceh sangat jauh dari kata-kata “tak berterimakasih”. Atau jangan-jangan, Kamu yang suka menghina pihak yang sudah menolong kita itu bukan orang Aceh...? Memalukan saja. Bit-bit Peumalee-malee kaom mantong!

Kuharap Kamu tidak termasuk dalam golongan itu Say...!

"Mari terus ulurkan bantuan kepada saudara-saudara kita di Pidie dan Pidie Jaya, walau hanya berupa sebaris doa. Berhentilah nyinyir apalagi mencela kepada siapapun yang datang  dengan niat menolong, karena bukan hanya malaikat, Allah saja benci melihatnya."

Puisi: Subuh Buta

Jalan yang retak akibat gempa Pidie. (aceh.tribunnews.com) 

Subuh buta,
Anak-anak berteriak: maak ee, maak ee
Manusia terjaga, mencari asal suara
Gempa menjerit,
Nyawa-nyawa telah terenggut

Subuh buta,
Gedung-gedung kesakitan, roboh mencumbui bumi
Suara-suara meraung, memanggil Tuhan
"Tuhan, Engkau dimana?"
Manusia kembali mengingat sujud, mencari sajadah, mendatangi Tuhan

Goncangan itu mengeluarkan air mata
Menyemburkan darah
Melenyapkan nyawa
Goncangan itu menghancurkan segalanya
Juga hempaskan dosa-dosa dan keangkuhan manusia

Kata Allah,
Tuhanku yang Maha Perkasa,
Setelah kesusahan, ada keberkahan

Dalam sedih, dalam duka
Diantara jasad dan jenazah
Hikmah harus ditemukan

____
Darrasah, Kairo, 10 Rabi’ul Awal 1438
9 Desember 2016
 “Turut berduka sedalam-dalamnya atas musibah gempa Pidie. Semoga korban diberi ketabahan dan kesabaran oleh Allah.  Semoga musibah ini lebih mendekatkan kita kepada sesama manusia (khususnya sesama rakyat Aceh yang saat ini sedang panas dengan isu Pilkada), dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Selalu ada hikmah luarbiasa yang telah Allah siapkan.” 

Tentang Gadis Bernama Rahmah

Sumber image: magic4walls.com

Hujan baru berhenti saat Agam selesai menyantap makan malam di sebuah rumah makan di daerah Lampriet, Banda Aceh. Saat hendak keluar dari warung makan, ia melihat seorang gadis cantik berdiri termenung di bawah pohon dekat rumah makan. Naluri laki-laki mengatakan, ia harus menghampiri gadis ini. Siapa tahu gadis ini membutuhkan pertolongan.

Agam mendekatinya. Gadis itu tersenyum. Agam menyapa, gadis itu tersenyum lebih manis lagi. Sama sekali tidak tampak rasa khawatir di wajah gadis itu saat melihat Agam. Senyum yang dibungkus make up tebal, semakin menggenapkan kecantikannya.

“Assalamu’alaikum... Lagi nungguin siapa, Dek...?”

“Lagi ngak nungguin siapa-siapa, Bang”

Jalanan di seputaran Lampriet masih ramai. Geliat kendaraan masih padat di jalanan. Agam mencoba menemani gadis ini, bertanya banyak hal. Ia tak tega membiarkan gadis secantik dirinya berdiri di bawah pohon sendirian di malam hari, walau cahaya lampu cukup terang saat itu.

Agam memang bertanya banyak hal. Namun, banyak hal juga yang tidak ia mengerti dari jawaban gadis itu. Bagi Agam, wanita memang sulit dimengerti. Ia tak peduli, berbicara dengan seorang wanita merupakan hal yang indah baginya. Sebuah jahitan bordir terlihat jelas di baju yang dikenakan gadis itu.

“Oh ya Dek, namanya Rahmah ya...? Tanya Agam sambil melihat ke arah bordiran nama yang melekat di baju gadis itu.

“Tahu darimana, Bang?

“Karena kamu itu rahmatullah, rahmat yang Allah turunkan untuk dunia. Khususnya dunia abang nanti.”

Walaupun basi, Agam mencoba merayu. Pengalaman Agam membuktikan. Wanita selalu suka dipuji, pujian selalu sukses karena wanita melihat dengan telinga.

“Ahhh... Abang bisa aja” Katanya sambil tersipu malu. Wajahnya dipalingkan kanan kiri. Tubuhnya goyang. Nyaris kehilangan gravitasi bumi. Kedua tangannya didekapkan di dada, terjadi gempa sekian skala righter di dadanya. Wajahnya mulai kemerah-merahan. Ia meloncat-loncat bak vampir dalam sinetron Korea. Sebelum roboh dengan gombalan pemuda, ia melanjutkan kalimatnya kepada Agam.

Abang hebat juga ya?

Hebat kenapa Dek...?

“Iya hebat, Abang bisa menebak tepat. Tadi katanya nama saya Rahmah, trus Abang bilang Rahmatullah. Seumur hidup saya baru Abang yang pinter nebak nama saya. Nama saya dua Bang. Kalau malem kayak gini nama saya Rahmah. Nah, kalau siangnya nama saya Rahmatullah, Bang.” Sambungnya malu-malu. Suaranya sekarang tidak lagi lembut. Matanya menatap liar.

Agam terhenyak. Ia berontak.

“Busyet dah, itu bukan Rahmatullah. Itu namanya Laknatullah.” Agam berteriak kencang. Ia merasa mual, bagai terombang-ambing di gelombang tsunami. Tidak, bahkan baginya ini lebih menyakitkan. Agam muntah-muntah. Udang yang dimakan tadi magrib muncrat keluar.

“Aduh Bang, kok si Abang jadi kasar banget.” Kata Rahmah. Kemudian ia melanjutkan, 

“Makanya kalau makan jangan berlebihan Bang. Berlebihan itu sifatnya setan. Tuh kan, muntah-muntah.” Ucap Rahmah sambil menepuk punggung Agam. Ia menepuk punggung Agam dengan sangat lembut. Hawa sejuk musim hujan menerpa wajah Rahmah. Tidak dengan Agam, ia ditimpa hawa neraka. Makin lembut Rahmah menepuk punggungnya, muntah Agam semakin parah.

“Ya Tuhan, tragedi apa yang terjadi malam ini. Aku seperti kehilangan jiwa. Sebelumnya ada kebahagiaan meledak di hati, sekarang aku seperti mau mati. Kutukan apa ini.” Agam membatin dalam hati. Agam nyaris kehilangan kesadaran. Ia tak lagi menghiraukan Rahmah. Baginya dunia terlalu kejam malam itu.

Saat itu Agam sadar, cover secantik apapun itu tetap bisa menipu. Bagi seorang pemuda seperti dirinya, ini tipuan paling terkutuk di dunia. Cuma berita-berita hoax kebencian di media sosial yang mampu mengalahkannya. Jika saja kabar hoax itu disebarkan oleh Rahmah jadi-jadian ini, tambah terkutuklah dunia. Dunia sudah sangat kotor, lebih kotor dari muntahan makanan Agam.

Agam masih terpaku di tempat melihat kelakuan ajaib gadis ini. Dari kejauhan, tampak dua orang berseragam sama berlari menghampiri Agam. Lalu dengan cepat memegang tangan Rahmah atau Rahmatullah. 

“Maaf Bang, ini pasien kami, tadi lepas pas mau minum obat. Sekali lagi maaf, Bang.”

Agam termenung. Ia melihat sebuah tulisan di seragam yang dikenakan dua orang itu dengan jelas, Pusat Rehabilitasi Psikologi Banda Aceh.”

Sebelum membawa pergi Rahmah, salah satu petugas itu kembali menghampiri Agam. 

“Bang, dia itu hampir sembuh. Kalau Abang suka, bisa kami kenalkan dengan orang tuanya” Bisiknya kepada Agam sambil menunjuk ke arah Rahmah. 

“Besok, kalau dia sembuh, gantian aku yang akan masuk ke panti rehab itu. Aku perlu direhab juga kayaknya." Jawab Agam dengan nada putus asa. Agam butuh istirahat. Malam itu, terlalu kejam baginya. Nyaris saja ia terjebak, tersesat dalam lakon tak biasa.[]


____
Cairo, Mesir.
Ditulis tengah malam di malam dingin yang menusuk perasaan. Sebuah cerita yang dibuat tak serius, hanya untuk mengasah kembali semangat menulis yang mulai padam. Saya meminta maaf jika terdapat kesamaan nama tokoh dan karakter. Tidak ada niat sama sekali untuk menghina ataupun merendahkan seseorang.

Ditulis bukan untuk mengenang Rahmah, gadis manis cerdas nan shalehah permata khatulistiwa. Bukan juga untuk mengenang Rahmah yang lain, yang sekarang sedang berperan sebagai makhluk halus film horor Indonesia. Apalagi untuk mengenang Rahmah jadi-jadian.

Ini juga bukan tentang Rahmah, mantan kekasih hati kawanku yang memutuskan menikah dengan laki-laki lain. Sakit memang. Makanya jauh-jauh hari aku menyarankan, jangan pacaran! Islam tidak mengenal pacaran. Yah, walaupun ada yang namanya hijab syar’i, tidak ada namanya pacaran syar’i. Kalau ada pasti MUI langsung mengeluarkan label "halal" pacaran. Namun, nasehatku itu tidak digubris.

Pacarnya dinikahi orang lain, sedang ia menikahi dinding kamar, dengan mahar air mata. Berbulan madu dengan kegalauan dan kesendirian. Melihat pemuda seperti dia menangis membuatku khawatir.  Bisa-bisa tangisannya merubah dia menjadi seperti Rahmah di atas. Hilang kasih sayang, mencari kasih sayang dengan cara lain. Di panti rehab.

 “Galau sih galau Bro... Tapi hidup harus tetap dijalani. Aku ngak mau Kau terus seperti itu. Aku ngak tega Kau berubah bentuk menjadi seperti Rahmah di atas. Kalau gara-gara itu, nanti Kau berubah seperti itu, aku ngak tahan untuk tidak melemparimu batu. Hahahaa.”

Maaf, kok kesannya saya malah jadi curhat begini. Anggap saja angin lalu. :D



Puisi: Di Sini

Sumber image: wallpaperscraft.com


Di sini,
Gedung-gedung dibangun tinggi
Manusia-manusia direndahkan

Di sini,
Uang diagung-agungkan
Bak surga, tahtapun diperebutkan
Cara-cara neraka, cara setan, halal digunakan

Di sini,
Agama dicari, lalu diperdagangkan
Didendangkan sesuai nafsu, syahwat kekuasaan
Tuhan dan nabi dijadikan dalih kebencian

Di sini,
Yang bukan ulama, angkuh berfatwa
Yang ulama malah dikutuk, dilaknat
Jika perlu disetankan.

Di sana,
Binatang dimanusiakan
Di sini,
Manusia malah dibinatangkan


_____
Darrasah, Cairo. 5 Rabi'ul Awwal 1438
5 Desember 2016

GAM dan Partai Politik

Aksi massa menuntut pemerintah pusat mengesahkan bendera Aceh (2013)
Sumber foto: tribunnews.com

Selama hampir 30 tahun sejak 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi simbol perlawanan dan kepahlawan baru Aceh. Melawan Jakarta, menentang Indonesia. “GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah rakyat” Itulah semboyan yang mungkin selalu kita dengar sejak 1976 hingga perjanjian Helsinki 2005.

4 Desember 1976 di gunung Halimun, Pidie. Tengku Hasan Muhammad Ditiro memploklamirkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. GAM lahir di sini. Lahir sebagai simbol perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintah pusat yang saat itu dipimpin Soeharto.

30 tahun bukanlah waktu singkat. Mungkin tidak semua mengetahui makna perang, tapi semua rakyat Aceh merasakan dampaknya. Aceh hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan. Ribuan nyawa melayang, banyak yang masih hilang hingga sekarang. Nyawa teramat murah. Saban hari hanya berita duka yang menghiasi media.

Beberapa kali upaya perdamaian pemerintah pusat dengan GAM terjadi, tapi selalu gagal. Tsunami terjadi, damai akhirnya tercipta. Tsunami seakan mengandung berkah ajaib dari carut marut konflik Aceh yang seakan tidak bertepi. 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri permusuhan.

2007. Pasca damai, sebagian elit GAM mentranformasikan GAM menjadi partai politik lokal, Partai Aceh. Sebagian kalangan GAM menentang nama sakral GAM digiring ke ranah politik praktis. Perjuangan melalui partai politik dianggap tidak mulia. Namun, sebagian besar justru menyetujuinya. Mereka berpendapat, perjuangan mesti dilanjutkan. Partai politik adalah cara mulia untuk berjuang dalam keadaan damai.

Lazimnya politik, hanyalah alat untuk berkuasa, demi kepentingan rakyat, katanya. Nyatanya, hampir semua partai politik tidak benar-benar memperjuangkan rakyat. Jikapun mereka memperjuangkan rakyat, itu hanyalah rakyat dalam lingkungan politik mereka sendiri. Inilah potret politik di Indonesia, khususnya Aceh. Politik itu jahat. Potret politik di Indonesia punya banyak wajah munafik. Demikian juga Partai Aceh.

Tidak heran, jika kemudian ada yang kemudian membenci Partai Aceh. Partai ini dianggap tidak lagi memperjuangan rakyat, seperti nama besar Aceh yang melekat di nama partai lokal terbesar di Aceh itu. Hal ini sangatlah wajar. Namun, langsung mengaitkan GAM dengan Partai Aceh kurang tepat, karena Partai Aceh bukanlah representasi dari GAM.

Seiring berjalannya waktu, banyak elit GAM lantas mulai menjauh dari Partai Aceh, bahkan mengkritik Partai Aceh. Partai Aceh dianggap telah menjauh dari cita-cita pendiri GAM, Tengku Hasan Muhammad Ditiro. Menjauh dari visi dan misi perjuangan GAM.

Menjadi GAM berarti menjadi pejuang. Tidak tunduk pada penjajahan, apapun bentuknya. GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah GAM. GAM berjuang bersama rakyat, rakyat bertarung bersama GAM. Jika kemudian ada orang Aceh yang malah menjadikan politik sebagai alat untuk menjajah rakyat sendiri, apapun partainya, apapun jenis politiknya, dia bukanlah GAM. Dia bukan Aceh.

Sebuah kalimat sangat menarik sering saya dengar saat saya kecil, kira-kira begini bunyinya: bek sampee tanyoe ta reuloh pageu, reuloh bungoeng hana lee guna. Jangan sampai kita merusak pagar, jika pagar rusak, bunga tidak lagi berguna. Kata-kata ini konon katanya diucapkan oleh Tengku Abdullah Syafi’i, panglima tertinggi GAM paling kharismatik.

Awalnya, saya heran mendengar kalimat tersebut. Mengapa Tengku Lah, sapaan akrab Abdullah Syafi’i menggunkan istilah pagar untuk rakyat dan bunga sebagai kelompok GAM. Seharusnya GAM diserupakan sebagai pagar yang melindungi bunga (rakyat). Nyatanya saya salah. Tengku Lah sengaja berkata seperti itu, rakyatlah yang melindungi GAM selama perang berlangsung, sehingga bunga indah bernama GAM itu tidak mudah hancur.

Tengku Lah mengajarkan pasukan GAM bersikap ramah kepada masyarakat. Tidak sewenang-wenang. Ia mengajarkan gerilyawan GAM mencintai rakyat, dan membuat rakyat mencintai GAM. Bersama rakyat, GAM menjelma menjadi kekuatan yang sangat sulit dihadapi.

Tengku Lah sangat paham, rakyatlah yang selalu mendukung perjuangan GAM dengan ikhlas. Rakyat bahkan rela menjadi korban demi melindungi perjuangan GAM. Ketika itu perjuangan GAM merupakan perjuangan bersama, sehingga muncullah kata-kata: GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah GAM. Tanpa rakyat, mustahil perjuangan GAM bertahan dari gempuran serdadu republik. Abdullah Syafi’i ini akhirnya tewas tertembak pada tahun 2002. Perjuangan bersama rakyat tetap dilanjutkan.

Aceh tidak pernah mengenal preman, apalagi premanisme politik. Menjadi GAM berarti menjadi pejuang: menentang kesewenang-wenangan, penindasan dan penjajahan, apapun bentuknya. GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah GAM. GAM berjuang bersama rakyat, rakyat bertarung bersama GAM. Lantas, jika kemudian ada orang Aceh yang malah menjadikan politik sebagai alat untuk menjajah rakyat sendiri, apapun partainya, apapun jenis politiknya, dia bukanlah GAM. Dia bukan Aceh.


Menjadi sangat aneh, ketika yang bukan Aceh berkoar-koar, “Yang tidak memilih kami, harap angkat kaki dari bumi Aceh...! Lalu menjadi pertanyaan sekarang: sejak kapan yang bukan Aceh berani mengusir orang asli Aceh? Mereka hanyalah kumpulan pecundang, siapapun mereka, apapun nama partainya, nama mulia Aceh tak layak disematkan pada mereka. Tak pantas!

"Bendera" harus selalu berkibar, karena Aceh masih berjuang. Perjuangan tak pernah berakhir, sampai kapanpun, karena Aceh memang belum merdeka. Hanya elit yang merdeka. Elitnya PA, bukan rakyat jelata. Bukan kita.

_____

Berjuang dalam dekapan damai jauh lebih indah. GAM adalah kita, kita adalah GAM. Sampai kapanpun. Dirgahayu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-40. 4 Desember 1976 - 4 Desember 2016.
.
Kepada yang sudah pergi,
Allahummaghfirlahum, war hamhum. Amien.


GAM adalah rakyat, rakyat adalah GAM. PA bukan rakyat, rakyat bukanlah PA. GAM bukan PA, PA bukan juga rakyat. PA hanyalah partai politik. Bukan GAM.