Aksi massa menuntut pemerintah pusat mengesahkan bendera Aceh (2013) Sumber foto: tribunnews.com |
Selama hampir 30 tahun sejak 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi
simbol perlawanan dan kepahlawan baru Aceh. Melawan Jakarta, menentang
Indonesia. “GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah rakyat” Itulah semboyan yang mungkin
selalu kita dengar sejak 1976 hingga perjanjian Helsinki 2005.
4 Desember 1976 di gunung Halimun, Pidie. Tengku Hasan Muhammad Ditiro
memploklamirkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. GAM lahir di sini. Lahir sebagai
simbol perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
pemerintah pusat yang saat itu dipimpin Soeharto.
30 tahun bukanlah waktu singkat. Mungkin tidak semua mengetahui makna
perang, tapi semua rakyat Aceh merasakan dampaknya. Aceh hidup dalam
kekhawatiran dan ketakutan. Ribuan nyawa melayang, banyak yang masih hilang
hingga sekarang. Nyawa teramat murah. Saban hari hanya berita duka yang
menghiasi media.
Beberapa kali upaya perdamaian pemerintah pusat dengan GAM terjadi, tapi
selalu gagal. Tsunami terjadi, damai akhirnya tercipta. Tsunami seakan
mengandung berkah ajaib dari carut marut konflik Aceh yang seakan tidak
bertepi. 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat
mengakhiri permusuhan.
2007. Pasca damai, sebagian elit GAM mentranformasikan GAM menjadi partai
politik lokal, Partai Aceh. Sebagian kalangan GAM menentang nama sakral GAM digiring
ke ranah politik praktis. Perjuangan melalui partai politik dianggap tidak mulia.
Namun, sebagian besar justru menyetujuinya. Mereka berpendapat, perjuangan
mesti dilanjutkan. Partai politik adalah cara mulia untuk berjuang dalam
keadaan damai.
Lazimnya politik, hanyalah alat untuk berkuasa, demi kepentingan rakyat,
katanya. Nyatanya, hampir semua partai politik tidak benar-benar memperjuangkan
rakyat. Jikapun mereka memperjuangkan rakyat, itu hanyalah rakyat dalam
lingkungan politik mereka sendiri. Inilah potret politik di Indonesia,
khususnya Aceh. Politik itu jahat. Potret politik di Indonesia punya banyak wajah
munafik. Demikian juga Partai Aceh.
Tidak heran, jika kemudian ada yang kemudian membenci Partai Aceh. Partai
ini dianggap tidak lagi memperjuangan rakyat, seperti nama besar Aceh yang
melekat di nama partai lokal terbesar di Aceh itu. Hal ini sangatlah wajar.
Namun, langsung mengaitkan GAM dengan Partai Aceh kurang tepat, karena Partai
Aceh bukanlah representasi dari GAM.
Seiring berjalannya waktu, banyak elit GAM lantas mulai menjauh dari Partai
Aceh, bahkan mengkritik Partai Aceh. Partai Aceh dianggap telah menjauh dari
cita-cita pendiri GAM, Tengku Hasan Muhammad Ditiro. Menjauh dari visi dan misi
perjuangan GAM.
Menjadi GAM berarti menjadi pejuang. Tidak tunduk pada penjajahan, apapun
bentuknya. GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah GAM. GAM berjuang bersama
rakyat, rakyat bertarung bersama GAM. Jika kemudian ada orang Aceh yang malah
menjadikan politik sebagai alat untuk menjajah rakyat sendiri, apapun
partainya, apapun jenis politiknya, dia bukanlah GAM. Dia bukan Aceh.
Sebuah kalimat sangat menarik sering saya dengar saat saya kecil, kira-kira
begini bunyinya: bek sampee tanyoe ta reuloh pageu, reuloh bungoeng hana lee
guna. Jangan sampai kita merusak pagar, jika pagar rusak, bunga tidak lagi
berguna. Kata-kata ini konon katanya diucapkan oleh Tengku Abdullah Syafi’i,
panglima tertinggi GAM paling kharismatik.
Awalnya, saya heran mendengar kalimat tersebut. Mengapa Tengku Lah, sapaan
akrab Abdullah Syafi’i menggunkan istilah pagar untuk rakyat dan bunga sebagai
kelompok GAM. Seharusnya GAM diserupakan sebagai pagar yang melindungi bunga (rakyat).
Nyatanya saya salah. Tengku Lah sengaja berkata seperti itu, rakyatlah yang
melindungi GAM selama perang berlangsung, sehingga bunga indah bernama GAM itu
tidak mudah hancur.
Tengku Lah mengajarkan pasukan GAM bersikap ramah kepada masyarakat. Tidak
sewenang-wenang. Ia mengajarkan gerilyawan GAM mencintai rakyat, dan membuat
rakyat mencintai GAM. Bersama rakyat, GAM menjelma menjadi kekuatan yang sangat
sulit dihadapi.
Tengku Lah sangat paham, rakyatlah yang selalu mendukung perjuangan GAM
dengan ikhlas. Rakyat bahkan rela menjadi korban demi melindungi perjuangan
GAM. Ketika itu perjuangan GAM merupakan perjuangan bersama, sehingga muncullah
kata-kata: GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah GAM. Tanpa rakyat, mustahil
perjuangan GAM bertahan dari gempuran serdadu republik. Abdullah Syafi’i ini
akhirnya tewas tertembak pada tahun 2002. Perjuangan bersama rakyat tetap
dilanjutkan.
Aceh tidak pernah mengenal preman, apalagi premanisme politik. Menjadi GAM
berarti menjadi pejuang: menentang kesewenang-wenangan, penindasan dan
penjajahan, apapun bentuknya. GAM adalah rakyat, dan rakyat adalah GAM. GAM
berjuang bersama rakyat, rakyat bertarung bersama GAM. Lantas, jika kemudian
ada orang Aceh yang malah menjadikan politik sebagai alat untuk menjajah rakyat
sendiri, apapun partainya, apapun jenis politiknya, dia bukanlah GAM. Dia bukan
Aceh.
Menjadi sangat aneh, ketika yang bukan Aceh berkoar-koar, “Yang tidak
memilih kami, harap angkat kaki dari bumi Aceh...! Lalu menjadi pertanyaan
sekarang: sejak kapan yang bukan Aceh berani mengusir orang asli Aceh? Mereka
hanyalah kumpulan pecundang, siapapun mereka, apapun nama partainya, nama mulia
Aceh tak layak disematkan pada mereka. Tak pantas!
"Bendera" harus selalu berkibar, karena Aceh masih berjuang. Perjuangan tak pernah berakhir, sampai kapanpun, karena Aceh memang belum merdeka. Hanya elit yang merdeka. Elitnya PA, bukan rakyat jelata. Bukan kita.
_____
Berjuang dalam dekapan damai jauh lebih indah. GAM adalah kita, kita adalah GAM. Sampai kapanpun. Dirgahayu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-40. 4 Desember 1976 - 4 Desember 2016.
.
Kepada yang sudah pergi,
Allahummaghfirlahum,
war hamhum. Amien.
GAM adalah rakyat, rakyat adalah GAM. PA bukan rakyat, rakyat bukanlah PA. GAM bukan PA, PA bukan juga rakyat. PA hanyalah partai politik. Bukan GAM.
EmoticonEmoticon