Nelayan sedang mencari ikan di sungai Nil (Dokumentasi pribadi) |
Kairo. Kota ini terus berbenah. Berubah. Meninggi angkuh menantang langit. Namun di bawah, jauh dari perhatian manusia perkotaan, aku masih di sini. Di bawah jembatan, dalam aliran Nil, bersama perahu purba milikku. Waktu-waktuku hanya disibukkan dengan berburu ikan-ikan yang kini semakin pemalu.
Seperti yang kamu lihat. Jala tua peninggalan leluhurku belum bisa kuganti baru. Kadang-kadang ikan-ikan itu meledekku saat berhasil lolos dari jala yang bocor di sana-sini. Uang yang kudapatkan dari pagi hingga malam menjelang bahkan terkadang tidak bisa menutupi kebutuhan keluarga dan anak-anakku.
Akhir-akhir ini sungai terpanjang di dunia ini juga semakin tercemar. Ikan-ikan polos itu mulai enggan bercinta Nil. Kalaupun itu terjadi, telur-telur hasil cinta mereka bahkan busuk sebelum sempat menetas. Mereka bahkan tidak sempat membuka mata melihat gadis-gadis Kairo yang sok cantik itu.
Hari ini kulihat gadis cantik membuang sampah ke dalam sungai, nyaris mengenai perahuku. Aku berteriak. Ia langsung berlalu, bahkan tak menoleh sedikitpun. Gadis itu mungkin memang cantik, tapi akhlaknya itu membuatku muak dengan segala make-up dan lenggok-lenggok pinggul yang dibuat-buat itu.
Ingin rasanya kukeluarkan segala kosa kata makianku untuk gedung-gedung tinggi yang membuang limbah ke sungai ini. Ingin juga kulaknat semua manusia-manusia tak beretika yang membuang sampah seenaknya saja. Manusia-manusia berpendidikan tinggi yang seperti tak pernah diajarkan edukasi kebersihan dan menjaga lingkungan.
Melihat gadis cantik itu, aku teringat kisah Umar bin Khattab dan Amru bin Ash. Pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah dan Amru bin Ash sebagai gubernur Mesir, sungai Nil ini pada masa itu pernah kering.
Orang-orang Mesir pada waktu itu manyarankan kepada Amru bin Ash agar melemparkan seorang gadis cantik ke sungai Nil. Menurut tradisi kuno mereka, jika Nil kering maka harus dilemparkan gadis cantik ke dalamnya, biasanya mujarab dan air Nil kembali deras.
Amru bin Ash tidak menerima, Islam melarang hal demikian. Ia lantas mengirim surat kepada khalifah Umar bin Khattab. Mendengar hal itu, Umar bin Khattab menulis surat khusus yang ditujukan kepada Nil, bukan kepada penduduk Mesir. Surat singkat itu berisi:
“Wahai Nil, seandainya kamu itu mengalir karena kamu yang mengalirkan, aku tidak ingin kamu mengalir lagi. Namun, jika kamu mengalir karena kekuasan Allah, maka aku memohon kepada Allah agar kamu mengalir lagi.”
Amru bin Ash lantas melempar surat tersebut ke dalam sungai Nil, dan sungai ini kemudian mengalir lagi dengan izin Allah. Kisah ini sudah diceritakan turun-temurun. Aku tidak tahu kebenaran kisah ini, aku mendengarnya sejak kecil.
Kata temanku, kisah ini juga dimuat dalam kitab Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah. Entahlah, aku jarang membaca Al-Quran, apalagi kitab-kitab ulama. Waktuku sangat terbatas. Seharusnya mereka yang sering membaca Al-Quran, kitab dan buku-buku intelektual lebih bisa menghargai lingkungan.
Kata temanku, kisah ini juga dimuat dalam kitab Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah. Entahlah, aku jarang membaca Al-Quran, apalagi kitab-kitab ulama. Waktuku sangat terbatas. Seharusnya mereka yang sering membaca Al-Quran, kitab dan buku-buku intelektual lebih bisa menghargai lingkungan.
Seandainya mereka tahu bahwa setiap jengkal makhluk hidup atau mati itu bertasbih kepada Allah, maka mereka akan berhati-hati memperlakukannya secara tidak baik, termasuk membuang sampah sembarang.
Kalaulah boleh, rasanya aku juga ingin melempar orang-orang itu ke sungai Nil seperti tradisi kuno nenek moyangku. Biarpun tidak membuat Nil kembali jernih, setidaknya agar mereka paham betapa sungai ini sudah mulai tercemar oleh tangan-tangan jahil seperti mereka.
Entah mengapa, aku sangat kesal hari ini. Pun ikan belum banyak kudapat hari ini.
Entah mengapa, aku sangat kesal hari ini. Pun ikan belum banyak kudapat hari ini.
Aku masih harus bersyukur, setidaknya nasibku lebih baik dari kawan-kawanku yang lain. Bahkan nasibku lebih baik dari ikan-ikan yang kutangkap, setidaknya aku masih hidup dengan kualitas udara yang bersih. Berbeda dengan ikan-ikan Nil, mereka terpaksa hidup dengan kualitas air yang sudah tercemar.
Akhir-akhir ini, sering kali kudapati ikan dengan insangnya tidak lagi segar, insangnya kotor dengan butiran keruh pekat lengket di jaringan ingsangnya. Pernah juga kudapati ikan yang isi perutnya penuh butiran-butiran kecil styrofoam.
Aku ingin mengeluh, berteriak, memaki. Aku lelah...!
Siapa yang mau mendengarku selain tuhanku yang maha mendengar itu. Bagi orang-orang perkotaan di atas sana, aku hanyalah nelayan yang tidak penting bagi ekosistem metropolitan. Biarlah aku seperti ini, menjala ikan walau terkadang menjala sampah-sampah busuk yang dibuang manusia tak beradab.
Bagiku, cukuplah Allah saja yang melihatku, memberiku rezeki. Dengan kemampuanku yang lemah ini aku hanya bisa berdoa dan berharap ikan-ikan itu masih setia berenang di aliran Nil ini.
Dari bawah ini kulihat dua paras Melayu mengambil gambarku dengan perahu. Untuk apa? Untuk senang-senang? Untuk memberitahukan dunia bahwa di sini ada nelayan yang masih setia menjala ikan di tengah aliran Nil yang mulai kotor? Entahlah.
Aku bahkan tak pernah tahu alat yang mereka gunakan untuk memotretku. Dunia terlalu cepat berubah. Dan aku...? Seperti yang kamu lihat sekarang, bersama perahu bocor yang telah kutambal-tambal agar tetap mengapung.[]
Nelayan menjala ikan di sungai Nil (Dokumentasi pribadi). |
Note:
Tulisan ini sudah saya muat juga sebelumnya di akun Instagram saya @farhanjihadi beberapa waktu yang lalu.
EmoticonEmoticon