Apakah Kita Akan Menyambut Ramadhan Dengan Kebencian?

mexatk.com


Rasanya saya mulai merindukan lagi masa-masa awal menggunakan media sosial. Time line saat itu hanya penuh dengan hal-hal yang berbau romantis, status cinta kegalauan anak muda, kata-kata bijak, kebanyakan sahabat di media sosial terutama facebook malah berlomba menciptakan dan menyebarkan kebaikan.



Sekarang, sebagian kita sedang diliputi rasa kebencian yang tak terkontrol. Kita seolah-seolah lupa bagaimana caranya bersikap baik tanpa menyakiti hati yang lain. Kita merasa bahwa cuman hati dan perasaan kita yang harus dijaga.



Dulu orang-orang suka melampiaskan rasa cinta melalui status, terkadang terkesan lebay hingga membuat kita tersenyum sendiri. Sekarang, orang-orang seakan lebih suka menggunakan media sosial sebagai tempat pelampiasan amarah, tempat menumpahkan kata-kata kotor. Puisi-puisi cinta lalu berubah caci maki. 


Facebook, Twitter, Instagram, hingga grup-grup WA penuh dengan perdebatan tak lagi sehat dan mencerdaskan. Media sosial berubah menjadi tempat penampungan kata-kata sampah. Sialnya lagi, layaknya kebaikan, kebencian juga menular. Maka tak heran banyak di antara kita semakin terseret dalam lingkar kebencian tak bertepi ini.

Saya sempat berharap bahwa pasca Pilkada dan pemutusan vonis, dunia maya sedikit mendingin dan segar. Namun, ternyata sebaliknya. Kisruh dan pertikaian berlanjut, semakin menjadi-jadi. 

Sekarang coba lihat, sekumpulan kita berubah seperti sekump ulan manusia yang doyan mencekik sesama. Lebih keji lagi, sebagian dengan seperti senang melahap daging saudaranya sendiri. Sarapan kita hanya berupa pertikaian demi pertikaian, caci maki, saling kutuk, melempar laknat, fitnah-fitnah, dan entah apa lagi.

Kita barangkali umat yang sedang sekarat, terluka. Sakit. Kita ini hidup dan bertumbuh dalam lingkungan ajaran Rahmatan lil ‘alamin. Namun, akhir-akhir ini rasanya ungkapan laknat melaknat lebih dominan terdengar daripada rahmat. Kita seperti berkeyakinan bisa meraih keagungan Tuhan dengan setiap postingan saling hina dan melempar laknat. Padahal, sebentar lagi kita akan berjumpa Ramadhan, bulan sakral yang penuh rahmat dan maghfirah. Sampai kapan kita akan terus begini? 

Melihat Mesir

Di Mesir, menjelang Ramadhan seperti sekarang, geliat kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah semakin terlihat. Jalanan, toko, rumah dan mesjid-mesjid berhias; mesjid-mesjid dipenuhi jamaah yang beri’tikaf, shalat dan mengaji. Kebersamaan antar sesama masyarakat Mesir terlihat. Banyak Mesjid mengadakan buka puasa bersama Senin-Kamis, seperti di mesjid Sayyidina Husein.

Beberapa waktu lalu kami berkunjung ke Rumah Matarea. Rumah ini dihuni puluhan mahasiswa Aceh yang sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar. Ketika itu beberapa orang Mesir juga datang bertamu, mereka memberikan bantuan berupa makanan pokok hari-hari untuk menyambut Ramadhan. Mereka bahkan menyatakan akan datang lagi untuk memberi bantuan lainnya.

Dalam perjalanan pulang menggunakan Metro, saya menyaksikan banyak orang khusyu’ membaca Al-Quran. Hari biasa, saya hanya melihat satu dua orang yang membaca Al-Quran. Namun, di bulan Sya’ban antusias beribadah warga Mesir mulai terlihat, lebih-lebih saat tibanya Ramadhan.

Di saat rakyat Mesir bergembira, berpesta menyambut Ramadhan dengan semangat beribadah yang kian gencar. Di saat Mesir menyambut Ramadhan dengan meningkatkan nilai ibadah dan menjalin rasa kebersamaan, apakah kita akan menyambut Ramadhan dengan rasa kebencian? Jika politik bisa mengoyak nilai persaudaraan, mengapa Islam dan Indonesia tidak bisa menyatukan? Atau mengapa Islam dan datangnya bulan Ramadhan belum bisa mengeratkan ukhuah islamiyah dan ukhuah indunisiah kita.

Saat ini kita masih dalam atmosfir Sya’ban dan jarak Ramadhan hampir tersisa hitungan jari-jari tangan. Rasulullah Saw pernah menyebutkan bahwa Sya’ban adalah bulan untuk mengagungkan Ramadhan. Nah, bagaimana caranya kita akan mengagungkan Ramadhan, jika sekarang kita saling merendahkan?



Suasana berbuka puasa bersama Senin-Kamis di Mesjid Sayyidina Hussein





Note:
Meskipun menulis ini, bukan berarti saya tak pernah marah. Salah besar bila menganggap saya tak pernah marah, memaki, mencela dan sebagainya. Sebagai manusia saya pernah melewati batas, bahkan lebih parah. Namun, bukan berarti saya tak boleh menulis hal seperti ini.

Anggap saja ini ditulis sebagai pengingat dan renungan diri sendiri, tidak salah juga jika ada yang ingin menganggap ini sebagai pencitraan. Mungkin suatu saat saya akan mendaftar sebagai Caleg, atau seperti harapan paling kecil saya "Semoga saja ada calon mertua yang membacanya."


Jika ingin mengkritik, kritiklah tanpa harus memaki atau melaknat, apalagi memfitnah. Selamat menyambut Ramadhan. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan, disengaja atau tidak.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »