Aku masih meragukan ide Bang Mujek, idenya terkadang aneh. Sekarang ia
mengatakan agar semua baju-baju bagus yang tak lagi ada pemiliknya itu
diletakkan di pinggir jalan dalam komplek apartemen kami. Ia sudah dianggap
sesepuh oleh para mahasiswa di sini, kami semua sepakat memanggilnya Bang
Mujek. Ia sudah terlalu banyak makan asam garam dan asam sunti di daerah ini,
hingga segala perkataannya merupakan nasehat yang harus didengar.
Butuh 2 jam lebih bagi kami untuk memilah dan memilih pakaian-pakaian
berbagai jenis mulai dari kaus oblong, kemeja, sweater, jaket, jalabiyah (baju
kurung khas arab) hingga ada beberapa selimut tebal musim dingin. Kini delapan
kantong besar seukuran goni 50 kg penuh berisi bahan penutup tubuh itu berhasil
terkumpul.
Semula kami mengusulkan agar itu semua disumbangkan ke Mesjid an-Nur, biar
nantinya mereka yang membagikannya. Tapi kemudian Bang Mujek berubah pikiran.
“Kita letakkan saja di persimpangan pinggir jalan komplek” Pesan Bang Mujek. Bukan hanya aku, sebagian yang lain juga mempertanyakan idenya itu.
“Apa ada yang mau ambil nanti kalau diletakkan sembarangan seperti itu”
“Adaa” Tambahnya santai.
Kattameya, tepatnya di daerah Masakin. Daerah yang terletak di pinggiran
Kairo ini dulunya terkenal sebagai kampungnya orang Aceh di antara mahasiswa
Indonesia lainnya di Mesir. Dulu, lebih seratusan mahasiswa Aceh tinggal
disini. Bang Mujek mengisahkan bahwa dulu ada sekitar 30 sya-ah (flat),
satu flat atau rumah kami menyebutnya biasa ditempati 4 hingga 6 orang.
Harga sewa rumah yang murah dan suasana nyaman menjadikan Kattameya pilihan
mahasiswa Aceh di Mesir. Dibandingkan daerah lainnya di seputaran Kairo,
tingkat kebersihan disini tergolong baik. Kejahatan seperti pencurian juga
tergolong rendah.
“Dulu, hampir tiap sore kami sering bermain bola di sekitar sini. Halaman
Mesjid An-Nur sudah seperti miliknya orang Aceh. Kami sering menghabiskan
petang dengan bermain disana. Tak jarang juga diadakan lomba persahabatan dan
turnamen futsal, Aceh sering keluar sebagai pemenangnya. Aceh juga terkenal dengan
pemain bolanya” Kisah Bang Mujek mengenang memori kejayaan mahasiswa Aceh di
Kattameya.
Beberapa tahun berlalu, Setelah banyak yang menyelesaikan studinya, pesona
Kattameya mulai pudar. Mahasiswa baru tidak lagi menjadikan Kattameya sebagai
pilihan tempat tinggal. Mereka lebih memilih tinggal di Distrik Matarea, Hayyu
Asyir dan Distrik Hussein. Satu persatu rumah ditinggal pemiliknya. keramaianpun
mulai meninggalkan daerah ini.
Walaupun semua serba murah dan mudah di sini. Namun, bukan berarti
Kattameya luput dari kekurangan. Jarak telah menjadi kendala dan hambatan
tersendiri bagi mahasiswa. Akses yang jauh dari pusat pendidikan Al-Azhar telah
membuat mereka berfikir ulang untuk tinggal dan bertahan di Kattameya.
Satu dua orang pindah, yang lain juga ikut menyusul. Mereka lebih memilih
daerah Husein sebagai pilihan. Lokasi itu memang punya pesona tersendiri. Di
sanalah berdiri universitas Al-Azhar, yang berarti dekat dengan kampus dan
pengajian-pengajian talaqqi yang saban hari diadakan di mesjid Al-Azhar dan
mesjid daerah Husein lainnya.
Talaqqi yang dibimbing langsung oleh syeikh Al-Azhar dan ulama-ulama Mesir
menjadi hal yang tak boleh dilewatkan oleh para penuntut ilmu di Mesir. Untuk
urusan pendidikan agama islam Husein memang tiada lawannya. Disanalah pusat
tambang permata mesir yang sesungguhnya. pusat pendidikan dan kebudayaan Islam
yang tak pernah lekang terkikis zaman.
Di Kattameya yang puluhan kilometer dari Distrik Husein.
Delapan plastik besar berisi berbagai pakaian siap diletakkan di tempat
yang dimaksud bg Mujek. Rumah harus dikosongkan hari ini juga. Masa sewanya
sudah habis, hampir sepuluh tahun rumah ini menjadi salah satu tempat bernaung
mahasiswa Aceh di negeri ini. Tak terhitung berapa kali sudah berganti pemilik.
Baju-baju dalam kantong plastik hitam itu buktinya. Berbagai jenis barang
penghuni sebelumnya yang ditinggal dan tertinggal sudah menggunung. Rumah yang
sudah merekam banyak hal, setiap goresan di tubuhnya punya kisahnya sendiri.
Senang dan sedih hidup di perantauan dia ikut jadi saksinya.
Kami adalah penghuni terakhir, tiga bulan yang lalu kami tinggal di sini.
Harga sewa yang sudah dinaikkan hampir dua kali lipat membuat kami tak lagi
nyaman berlama-lama menetap di sya-ah ini.
Bang Mujek mengusulkan agar kami pindah ke rumahnya, rumahnya juga sudah
sepi ditinggal beberapa orang yang sudah pulang ke Aceh. Jaraknya tak jauh dari
rumah kami sekarang, masih di satu komplek. Ia sekarang tinggal berdua dengan
Teuku. Bang Mujek, Bang Saidul, Teuku dan beberapa teman yang lain hari ini
datang, ikut membantu membersihkan dan mengosongkan sya-ah.
“Kita tidak boleh meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan, Mesir
menganggap orang Indonesia ramah dan baik. Kita wajib menjaga nama baik kita
dan ini salah satunya” Katanya beberapa hari yang lalu. Saya sangat salut dengan ucapannya ini.
Bang Mujek dan Teuku mulai mengangkat kantong-kantong itu, masing-masing
membawa dua kantong plastik hitam itu.
“Yang betol Bang, apa mungkin ada yang ambil baju-baju ini Bang.” Tanyaku
masih ragu. Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki berat keluar sya-ah
yang terdengar, ia menghilang bersama kantong penuh baju-baju bekas yang
dipikulnya.
Setelah beberapa jam setelah kami meletakkan baju di tempat yang dimaksud
Bang Mujek. Aku kembali untuk melihat dan benar, baju itu sudah tak bersisa.
Rasa syukur tiada terkira saat tau bahwa barang-barang itu diambil oleh mereka
yang membutuhkannya. Pemilik sebelumnya juga pasti bahagia jika tau bahwa
barang mereka kembali berguna bagi orang lain.
Kali ini Aku salah, kami salah telah meragukan Bang Mujek. Bahwa Kairo
adalah ibukota negara yang sama seperti Jakarta, dan banyak yang masih hidup
kurang beruntung. Aku masih baru disini, belum paham betul arus kehidupan di
negeri para nabi ini. Terkadang pendapat "Dunia memang tak seindah yang
terlihat" ada benarnya.
____
Kattameya,
Selasa, 3 Februari 2015
Bang Junaidi, Bang Saidul dan Bang Muzek di komplek perumahan Kattameya |
EmoticonEmoticon