Donor Darah Pertama di Mesir

Foto: dicek darah oleh petugas, terpaksa
saya harus pegang jantung agar tidak copot,
jatuh ke tangan petugas cantik dan shalehah ini.
“BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM... Bergabunglah bersama kami dalam berbuat kebaikan. Barang siapa menyelamatkan satu jiwa manusia seakan-akan telah menyelamatkan semua manusia. Sadaqallahul 'adhim”

Menjelang siang, sebuah corong pengeras suara yang melekat di sebuah mobil milik kementrian kesehatan Mesir untuk urusan pelayanan tranfusi darah masih meraung-raung, bersemangat mengajak manusia di seputaran Mugammak dan Tahrir agar bersedia menyumbangkan darahnya.

Kalimat itu terus diulang-ulang tanpa jeda, agar makin banyak yang berminat untuk mendonorkan darahnya membantu sesama. Sebuah petikan indah dari surat al-Maidah ayat 32 makin membuat seruan itu menarik.
“Barang siapa menyelamatkan satu jiwa manusia seakan-akan telah menyelamatkan semua manusia”

Dua pemuda berparas Arab di sana juga tak kalah bersemangat, bergerilya di antara kerumunan orang, mengajak orang berdonor. Persis sales yang sedang menawarkan produknya.

“Donor darah Pak, donor darah Bu...” Lebih kurang seperti itu.

Sebuah gedung tinggi berwarna coklat muda dengan bentuk melengkung setengah lingkarang tertancap megah di sisi barat bundaran Tahrir. Mereka menyebutnya Mugammak, kantor pusat pelayanan administrasi dan imigrasi.

Ribuan orang setiap hari datang silih berganti dengan segala urusannya. Hampir segala rupa dari berbagai negara bisa dilihat berlalu-lalang di seputaran Mugammak; mulai dari mata sipit, mata siput, mata lebar; kulit hitam, kulit putih, kulit abu-abu; rambut lurus bak diribonding, rambut keriting bagai indomie kering, hingga rambut kayak sabut kelapa ada di sini. Umumnya mereka mengurus perpanjangan visa, sama seperti kami.

Mobil pelayanan tranfusi darah biasanya mangkal di halaman Mugammak, kecuali hari Jum’at dan Sabtu. Mengajak masyarakat berbagi sedikit darah untuk kebaikan.

Sudah dua bulan, sejak awal Desember lalu saat pertama bertemu salah seorang dari pemuda yang mengajak saya agar mau berdonor darah. Saat itu, bahu saya disentuh saat baru saja keluar dari gedung Mugammak ketika mengurus perpanjangan visa. Dia merayu agar bersedia berdonor. Saya minta maaf dan menjelaskan bahwa baru saja melakukan donor darah 2 bulan yang lalu. Itu artinya satu bulan lagi baru idealnya bisa berdonor kembali. Bang Mukhlis yang saat itu bersama saya juga mengatakan tidak bisa donor. Saya hanya berjanji bahwa akan datang lagi sebulan kemudian.

Hari ini, setelah dua bulan saya kembali tiba di Mugammak ditemani Ahmad Yani. Tentu saja dalam keadaan lebih sehat. Seorang wanita cantik duduk di meja registrasi dekat mobil tranflusi darah yang terparkir di halaman depan Mugammak. Senyumnya terlihat ramah saat menyambut kami.

“Kalau begini, bukan hanya satu kantong, satu gonipun darah saya siap di donor. ambil semua darahku Kak. Asal saya bisa tetap melihat senyum indah itu. Kalaupun darah saya habis, saya siap dikubur di hatimu Kak,” batinku berkelakar.

Sama seperti di Indonesia, di meja registrasi saya ditanya banyak hal tentang data diri dan riwayat penyakit. Saya menjelaskan bahwa kami berasal dari Indonesia dan ini donor pertama saya di Mesir, sebelumnya saya sering donor rutin tiga bulan sekali, ini donor saya yang ke-16 kali. Data saya ditulis lengkap di selembar kertas. Tekanan darah dan kadar hemoglobin dicek.

“Saya sehat Kak, baik...?? Boleh donor...??”

“Okey, bagus...bisa,” katanya tersenyum. Sangat indah.

Senyum itu membuat orang sakit jadi sehat. Orang sehat jadi semangat. Mungkin senyum seperti inilah yang bernilai ribuan sedekah. Sebuah senyum yang seakan membuat darah keluar sendiri sebelum ditusuk jarum. Saya sangat yakin, hemoglobin yang keluar dari jari saya saat ditusuk jarum ketika diperiksa kakak ini berbentuk hati. Sepertinya tubuh saya rela jika harus donor darah setiap hari.

Setelah dinyatakan memenuhi syarat sebagai pendonor, Saya dipersilahkan menuju ke dalam mobil tranfusi. Tidak ada yang menarik dari mobil ini, untuk kategori mobil pelayanan tranfusi darah tingkat ibukota negara seperti Kairo, mobil ini tergolong sederhana.

Jika dibandingkan mobil unit pelayanan tranfusi darah milik PMI kota Banda Aceh, mobil ini tertinggal jauh. Mobil milik PMI Banda Aceh sudah tergolong cukup modern, berupa mini bus bermerek elit Mercedes Benz. Lebih luas, ber-AC, lebih bersih dan nyaman berada di dalamnya, bahkan ada televisi di dalamnya untuk memanjakan pendonor. “Mewah” ujarku beberapa tahun lalu saat pertama memasukinya.

Mobil transfusi darah yang terparkir di depan Mugammak ini tidak berupa mini bus,  lebih mirip mobil ambulan yang beroperasi di Indonesia dalam ukuran lebih besar. Melihat dari wujudnya tidak ada hal yang terlalu menonjol di dalam mobil ini. Terlihat ada empat kursi panjang berbalut busa yang disediakan sebagai tempat berbaring pendonor, dua kotak penyimpanan kantong darah dan pelaratan tranfusi lainnya. Walaupun begitu mobil ini telah berjasa besar dalam proses kemanusiaan, ditambah keramahan luar biasa dari petugasnya.

Pintu mobil sengaja dibuka, saya dan Ahmad Yani yang berdiri di luar bertanya beberapa hal kepada petugas. Dia menjelaskan bahwa mereka biasa mengambil darah 400cc perkantong perorang. Mendengar itu saya kemudian bertanya lagi bahwa biasa darah saya diambil 350 cc sesuai berat tubuh, apa tidak berbahaya.

“Tidak apa-apa, asal tidak melebihi 500 cc,” katanya meyakinkan.

Dia juga menuturkan bahwa di Mesir, masyarakat harus membayar 120 Pound Mesir untuk mendapatkan satu kantong darah. Jumlahnya setara 210.000 Rupiah Indonesia lebih kurang. Tidak berbeda dengan Indonesia yang juga harus membayar untuk mendapatkan sekantong darah. Ini sebenarnya hanya biaya pemeliharaan darah, agar darah tetap dalam kondisi segar seperti dalam tubuh.

Dulu saya sempat heran, mengapa ambil darah harus bayar, kita donor darah secara cuma-cuma, tapi saat perlu kita harus membayar. Petugas PMI Banda Aceh menjelaskan dengan cukup baik, biaya ini merupakan biaya pemeliharaan; biaya kantong darah; biaya alat-alat yang digunakan saat cek darah seperti jarum, kapas dan sebagainya; juga biaya pemeriksaan darah setelah di donor, layak didonorkan atau tidak, berpenyakit atau tidak.

Biaya ini tidak disubsidi oleh pemerintah, jadi wajar kalau dikenakan biaya saat pengambilan sekantong darah. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan PMI menjual darah. Tentu itu tidak benar kalau kita tau alasannya dengan tepat. Saya tidak tahu, apakah pemerintah Mesir juga tidak mensubsidi biaya kesehatan terkait darah ini.

Pembicaraan kami terhenti saat seorang wanita mulai masuk mobil, ia juga ingin melakukan donor darah. Petugas itu mulai melayaninya, hanya ada satu petugas di dalam mobil. Ini membuatnya harus membagi waktu untuk kami berdua. Disaat itu saya hanya menikmati darah yang turun melewati selang tranfusi lalu masuk memenuhi kantong yang terletak di bawah.

Ia terlihat lebih senang melayani wanita itu. Mereka bercerita, tertawa bersama, saya dengan jarum masih di tangan mungkin sudah dilupakannya. Wajar, itu sifat lahiriah laki-laki. Sebagai sesama laki-laki saya sedikit paham, mungkin ia juga dalam masa mengejar jodoh. Yang penting ia tidak merebut senyum kakak petugas tadi, itu saja. Saya sangat tidak rela jika senyum itu jadi milik umum.

Ahmad Yani yang melihat petugas laki-laki itu tersenyum ke arah saya, “Bang nyan cukop meu-agam meunan...”

Tak lama, kantong darah mulai penuh. Petugas itu mencabut jarum tranfusi yang tertancap di lengan kiri. Ia memberikan sebuah minuman kotak rasa guava, sebagai penyegar dan penambah sedikit protein baru. Saya berpamitan, ia tersenyum sambil mengucap terima kasih.

Di saat seperti ini, Saya jadi teringat wajah ramah kakak-kakak PMI Banda Aceh di unit tranfusi darah. Keramahan merekalah yang membuat saya yakin dengan keputusan menjadi pendonor rutin setiap 3 bulan sekali. Saya sangat salut dengan usaha mereka dalam misi kemanusiaan. Tak terhitung berapa nyawa telah terselamatkan dengan jasa mereka.

“BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM... Bergabunglah bersama kami dalam berbuat kebaikan. Barang siapa menyelamatkan satu jiwa manusia seakan-akan telah menyelamatkan semua manusia. Sadaqallahul 'adhim.” Corong itu terus berteriak-teriak penuh semangat bak pendemo menolak kenaikan harga mahar yang terus tinggi di Provinsi Aceh”

Seruan kalimat itu mulai terdengar melemah saat kaki kami melangkah menjauhi mobil unit tranfusi darah, walau begitu gema semangatnya tak pernah padam.

Lhee buleun teuk lon akan balek keunoe...” Tiga bulan lagi insya Allah saya akan kemari lagi, jumpa kakak shalehah dengan kemampuan senyuman yang menggoncangkan darah.

“Droekeuh donor cit sigoe goe mangat pijuet bacut...haha,” ujarku kepada Ahmad Yani.

Foto: di depan mobil donor darah milik kementrian kesehatan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
December 20, 2016 at 4:03 PM delete

Hahaha....
Semoga semoga semoga aja deh bg farhan....
Semoga ada yang tergerakkan hatinya tik mendonor darah dalam waktu dekat ini...ingat ya mendonorkan darah..!!! Bukan mendonorkan perasaan dan cinta.. Haha

Reply
avatar