Image: google |
Beberapa teman yang sudah menghadap petugas imigrasi diminta menunggu,
begitu pun denganku. Bersabar menunggu di ruang tunggu imigrasi yang kira-kira
luasnya sebesar lapangan sepak bola. Setengah jam berlalu, Zamzami dan Fikri
mencoba bertanya dan mengeluhkan masalah ini kepada awak petugas. Seharusnya
kami 11 orang yang sudah memiliki visa pelajar dan karneh (kartu
pelajar) di Universitas Liga Arab Cairo tidak memiliki hambatan di bagian
imigrasi.
Kondisi Mesir yang belum sepenuhnya stabil membuat Pemerintah Mesir cukup
berhati-hati menerima tetamu pendatang baru. Bisa saja kami dinilai ingin
menebar kebencian atau mungkin juga kami dianggap memiliki hubungan dengan
jaringan teroris, seperti ISIS yang sudah kini mewabah.
Ah tidak, kami tidak memiliki ciri-ciri teroris yang dimunculkan Amerika
Serikat itu. Semua ciri-cirinya mendiskreditkan Islam. Tidak ada di antara kami
yang memiliki jenggot lebat, selebat sarang lebah siap panen di kampungku.
Tidak ada. Rupanya bukan hanya kami, rombongan mahasiswa asal Padang juga mengalami hal
serupa, belasan pelajar yang ingin melanjutkan Strata Satunya di Al-Azhar
bernasib sama. Tertahan di bandara.
***
Sore itu, saat matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Setelah melalui
waktu dan jarak yang panjang, Etihad dengan nomor penerbangan EY 655 membelai
landasan Bandara Internasional Cairo, bersiap menumpahkan muatan berisi ratusan
manusia berbagai macam suku bangsa dan tujuan ke Negeri Piramid ini. Mulai dari
yang berbisnis, ada yang sekedar hanya untuk melancong, bertraveling dan banyak
juga yang ingin menengguk ilmu agama di negeri para Nabi ini.
Ya, selain dikenal dengan piramidnya, Mesir juga terkenal dengan Universitas
Al-Azhar yang sudah berdiri ribuan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih
melahirkan ulama-ulama terkemuka yang menjadi panutan setiap umat Islam.
Saat itu jam baru saja menunjukkan pukul 16:00 waktu Mesir. Puluhan
penumpang pesawat keluar dengan penuh rasa bahagia, ungkapan syukur tersirat
dari wajah mereka. Etihad mendarat dengan mulus. Sempurna. Berjam-jam lamanya
di atas angkasa memang terasa melelahkan, tapi Jiwa-jiwa itu tetap penuh
semangat, semangat untuk menjelajahi setiap bingkai keindahan Mesir, juga
semangat untuk melahab Ilmu Pengetahuan dari berbagai universitas yang ada di
Mesir, terutama ilmu agama yang mengalir dari sumber mata air suci bernama
Al-Azhar.
“Nil Mesir itu sebenarnya bukanlah sebuah sungai tapi kampus Al-Azhar,” kata
kawanku yang sudah menamatkan study strata satunya disana.
“Airnya jernih dan menyucikan jiwa kalau kita sungguh-sungguh dan ikhlas
menuntut Ilmu Agama disana,” ia menambahkan.
Itulah salah satu alasan mengapa Mesir khususnya Kairo disesaki manusia
dari berbagai belahan dunia. Al-Azhar bak Oase ditengah gurun yang menjadi
perhatian dan rebutan para musafir yang haus ilmu pengetahuan agama. Tak heran
jika Mesir telah menjadi salah satu negara dengan jumlah pelajar asing
terbanyak di dunia.
Hari ini Mesir mulai memasuki fase awal musim dingin.
Sebuah tulisan Arab terukir indah di atas pintu masuk bandara menuju ruang
imigrasi “Rabbij ‘al haza baladan amiena”. Wahai Tuhanku jadikanlah
negeri ini negeri yang aman. Kalimat itu jelas terbaca oleh setiap mata yang
baru saja melangkahkan kakinya di negeri itu. Kalimat itu merupakan potongan
ayat dari surat Al-Baqarah ketika Ibrahim berdoa kepada Allah agar menjadikan
Mekkah negeri yang penuh rahmat dan kedamaian. Mesir sepertinya juga tak mau
ketinggalan memakai ungkapan sarat doa dan hikmah ini.
“Setiap perkataan itu adalah doa,” begitulah pesan Rasulullah.
“Setiap perkataan itu adalah doa,” begitulah pesan Rasulullah.
Beberapa kaki melangkah, kami tiba di ruang imigrasi. sebuah pesan singkat
langsung saya kirimkan kepada orang tua bahwa kami telah tiba dengan selamat di
Mesir. Rencananya saya juga berkeinginan mengirimkan pesan kepada beberapa teman
terdekat, tapi setelah mengecek biaya pengiriman sms sebesar 9000 rupiah, niat
itu terabaikan. Sisa pulsa hampir habis. Harus hemat.
Waktu terus bergerak ke pukul 18:00, itu berarti Kami sudah dua jam
tertahan. Itu juga berarti shalat magrib waktu Mesir sudah tiba. Tidak ada
ruang shalat khusus di ruang imigrasi, kami harus berwudhu’ di westafel toilet,
itupun harus mewaspadai petugas kebersihan toilet.
Seorang temanku sempat dimarahi ketika dia berwudhu’ disana. Berwudhu’
sudah seperti bermain kucing-kucingan dengan petugas kebersihan. Kami shalat di
sudut ruang imigrasi di antara jejeran bangku. Membuat Mushalla darurat.
Diruang tunggu Imigrasi memang tidak disediakan tempat wudhu' khusus, begitu
juga dengan Mushalla.
“Benarkah ini Mesir…?”
“Kalau memang tidak diizinkan masuk, kenapa juga kedutaan Mesir di Jakarta
memberi kita visa pelajar, sudah 4 jam kita tertahan di sini. Peu tawoe mantong menyoe
lagee nyoe?” Kata seseorang yang sudah mulai bosan dengan logat Aceh yang
kental.
Dari kejauhan, dua orang berwajah Indo diselimuti jas rapi terlihat
berbicara dengan petugas imigrasi. Petugas KBRI (Kedutaan Besar Republik
Indonesia) datang menjemput. Kami beserta rombongan dari Padang diperbolekan
masuk Mesir akhirnya. Seorang mahasiswi dari Padang mulai membangunkan kawan
lainnya yang sebagian sudah tertidur pulas di atas bangku ruang tunggu.
“Adek kalau ngantuk, tidur di hati abang aja, masih kosong kok” Batinku.
Sepertinya Aku harus membetulkan niat. tujuanku kemari untuk menuntut ilmu
agama bukan ilmu asmara. Ini penyakit lama yang mesti segera dimusnahkan.
Di luar bandara ternyata kami sudah disambut dengan hangat oleh belasan
abang-abang dan kakak-kakak dari KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) Mesir. Mereka sudah
menunggu kedatangan kami dari setengah empat siang. Hampir 5 jam lamanya mereka
menunggu. Ini membuat kami cukup terharu.
“Ini belum seberapa, ke depan Kalian akan mendapati hal-hal aneh lainnya
yang sama sekali tidak ada dan tidak pernah Kalian lihat di Aceh” ujar Muhibbussabri Hamid selaku Ketua KMA.
“Ahlan, selamat datang u Meusee” lanjutnya lagi, sambil memeluk kami satu
persatu kecuali wanita. Ya, enggak mungkin juga di meluk wanita. Bukan mahram.[]
EmoticonEmoticon