Puisi: Doa Cinta

Image: google

Tuhan,
Mengapa Engkau hanya ciptakan hati yang bisa merasa...?
Tapi tidak mendengar. Tidak juga melihat.
Apalagi bicara...

Tuhan,
Seandainya hati bisa mendengar.
Tentu banyak isak tangis yang menggema.
Jerit putus asa dimana-mana.
Pekakkan telinga.

Tuhan,
Seandainya hati bisa melihat...
Pastilah Dia melihat banyak melihat tumpahan air mata tak terbendung asa.
Darah dan bangkai manusia yang tertindas tak berdosa.
Nyawa tak lagi berharga.
Dia akan tau, Mereka dianianya manusia...

Tuhan,
Seandainya hati bisa berbicara...
Pasti tidak ada lagi kata dusta.
Kepura-puraan berselimut durja.
Tidak ada lagi saling cela.
Karena hati hanya berbicara cinta..

Tuhan,
Ayat-ayatmu mengajarkan banyak cinta.
Tapi banyak manusia merasa tak pernah diajarkan cinta.
Mereka saling menghina. Mencela.
Bahkan membunuh sesama.

Agar kasih sayang tercipta,
Agar cinta berwujud sempurna.
Untuk itulah hati ada bagi manusia.
Bukankan seperti itu Tuhan...?

Tuhan,
Manusia tidak tahu,
Padahal Engkau sudah menciptakan sebuah hati yang sempurna.
Hati yang bisa merasa segalanya.
Melihat, mendengar, berbicara.
Semuanya sempurna.

Tidak Tuhan,
Kami tahu Engkau tak pernah cacat dalam mencipta.
Engkau maha kuasa.
Juga maha penuh cinta.

Ya Allah,
Ya Tuhanku,
tuntunlah kami untuk saling mencintai sesama.
hidupkanlah kami dengan cintaMu.
Matikan kami saat benar-benar mencintaiMu...
Hanya padaMu-lah kami pantas Jatuh cinta...


____________
Farhan Jihadi
Kattameya, New Cairo. 2014
Saat negeri Arab masih dalam amukan konflik yang seakan tak bertepi

Belanja Buku Di Cairo International Book Fair

Iskandar, Muttaqin dan  Bang Zamzami
di pintu gerbang pameran buku.
Sekelompok gadis berwajah melayu baru saja keluar saat kami tiba di gerbang utama, tangan mereka membawa koper dan sebagian lainnya yang juga baru keluar terlihat dengan tas besar dipunggungnya. Beberapa orang lainnya juga terlihat menjinjing kantong plastik besar. 

Dari sini aku mulai heran, antrian masuk panjang mengular, terpisah antara laki-laki dan perempuan. Pintu masuk dijaga cukup ketat. Harus melewati pintu metal detektor, tas diperiksa dengan teliti. Tak cukup itu, seorang petugas berpakaian hitam dengan pistol di pinggangnya ikut menggeledah tubuhku, seakan khawatir ada benda berbahaya bersamaku. 

“Enta min en (kamu dari mana)...??”

“Andonesi” jawabku pasti.

“I am Farhan Khan, I am not Terrorist Okey” Tapi sayang itu hanya suara batinku. Mulutku membisu. Lidahku kaku. Tak lagi bersuara.

Suhu politik yang belum kondusif tidak menyurutkan niat pemerintah Mesir untuk tetap menyelenggarakan Ma'radh Alqahirah Adduwali lil Kitab (Cairo International Book Fair), pameran buku international yang merupakan ajang tahunan Pemerintah Mesir yang sudah diadakan puluhan tahun yang lalu. Tahun ini merupakan tahun ke-46 terselenggarakanya pameran yang ternyata telah ditetapkan sebagai pameran buku terbesar kedua di dunia, setelah Pameran Buku Frankfurt Jerman.

Keamanan Mesir masih dalam keadaan belum stabil paska dua revolusi lalu yang mengguncang negeri. Pada tahun 2011 pameran bahkan tidak terlaksana karena bertepatan dengan revolusi Rakyat Mesir ketika menggulingkan Husni Mubarak, sampai sekarang keadaannya masih belum pulih sepenuhnya.

Hampir saban jum'at surat kabar setempat memberitakan aksi demontrasi di berbagai daerah yang memakan korban jiwa, hal ini cukup memberikan alasan bagi Pemerintah Mesir berhati-hati menjaga keamanan dan kenyamanan demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.


Sudah menjadi kewajiban Pemerintah Mesir menjamin event yang bertaraf internasional tahunan ini berlangsung aman, nyaman dan lancar. Pemeriksaan teliti terhadap para pengunjung menjadi hal yang mutlak dilakukan, panitia dan pemerintah tidak ingin hal-hal yang tidak diinginkan mengganggu kesuksesan acara.

Foto: koleksi pribadi
Untuk mendukung pelaksanaan acara, sebuah tempat khusus telah lama disiapkan, Lahan seluas lebih tiga hektar yang terletak di Nasr City berdekatan dengan Fakultas Kedoktoran Universitas Al-Azhar diperuntukkan khusus untuk event tahunan ini, namanya Ardul Ma'aridh, yang berarti tanah pameran.

Tempatnya cukup luas. Dua gerbang yang masing-masing terletak di utara dan selatan berdiri megah menyapa puluhan ribu pengunjung haus ilmu pengetahuan yang setiap hari berdatangan. Di dalamnya terdapat belasan tenda berukuran cukup besar yang digunakan sebagai stand percetakan buku dari berbagai negara.

Bayangkan saja, satu tenda besar bisa hampir seluas lapangan bola, belum lagi puluhan tenda serupa dengan ukuran lebih kecil tersusun rapi di seantero pameran membuatnya pantas dikukuhkan sebagai salah satu pameran buku terbesar di dunia.

Tahun ini pameran berlangsung antara tanggal 28 Januari hingga 12 Februari, tidak jauh berbeda dari sebelumnya yang juga turut dimeriahkan puluhan negara dunia, khususnya negara arab dan beberapa negara eropa. Kali ini Arab Saudi mendapat kesempatan sebagai tamu kehormatan.

Ratusan penerbit besar dari berbagai negara Arab tak pernah absen berpartisipasi, entah benar atau tidak banyak yang menyatakan “Jika ada buku yang kamu cari tidak ditemukan di pameran ini, itu berarti kemungkinan besar juga sulit didapatkan di berbagai negara Arab”.

Selain buku, berbagai kegiatan lain juga turut diadakan untuk memeriahkan acara seperti diskusi dan seminar tentang pendidikan dan budaya.

Pesta buku internasional ini bukan hanya momen indah bagi masyarakat Mesir yang biasanya datang bersama keluarga, tapi juga bagi mahasiswa Asing yang menuntut ilmu di Mesir. Buku dengan beragam genre bertaburan di seantero pameran, khususnya buku-buku agama. Beragam buku karya para ulama besar islam dengan mudah didapatkan, baik buku-buku klasik maupun kontemporer.

Jenis buku juga beragam, dari buku balita hingga buku dewasa, buku sastra hingga buku agama, Fiksi dan non fiksi berbagai jenis mudah didapatkan. Tentu saja mayoritasnya berbahasa arab, walaupun ada juga buku yang berbahasa asing lainnya. Jumlahnya jauh lebih sedikit.

Tentu saja ini juga merupakan kabar gembira bagi mereka penggila buku, kutu buku atau bagi mereka yang hanya hobi mengoleksi buku. Buku berkualitas dengan potongan harga khusus pastinya menjadi target utama penikmat buku. Tak jarang mereka pulang dengan membawa puluhan buku sekali jalan. Ada juga yang khusus membawa koper untuk diisi buku seperti beberapa mahasiswi berwajah melayu yang kulihat di pintu gerbang tadi.

“Yuuk, kalau sudah beres kita pulang, semua sudah beres kan...??” Ujar Bang Zamzami dengan kedua tangannya memeluk belasan buku membuyarkan kekagumanku.

Aku dan Iskandar hanya membeli beberapa buku, hanya Muttaqin yang belum mendapat buku yang dicari. Butuh empat jam bagi kami, hanya untuk mencari buku di satu tenda besar yang berisi beberapa penerbit itu.

“Buku yang pantas untuk dibaca, pantas untuk dibeli” mungkin pendapat Jhon Ruskin, seorang penulis inggris ini sepertinya harus dijadikan patokan jika berniat berkeliling pameran megah ini. Dan hendaknya juga jangan lupa menulis daftar buku yang diinginkan agar bisa menghemat waktu dan tidak tergiur dengan buku lainnya yang terkadang tidak terlalu dibutuhkan.

“Gilaa... Tidak cukup hanya satu dua hari mengelilingi ini semua” Teriakku kagum. Mereka tertawa.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, sejam lagi pameran tutup, bahkan beberapa stand sudah tidak lagi menerima pengunjung . Seandainya punya waktu lebih, mungkin bisa mengunjungi stand makanan.

Bang Zamzami menjelaskan bahwa disini juga tersedia beragam stand makanan dari beberapa negara. Kalaulah memungkinkan Aku ingin makan di stand makanan Asia yang katanya orang Indonesia yang mengelolanya. Kami bertekat untuk datang kembali, masih banyak stand yang belum kami kunjungi. Masih banyak rak penuh buku belum kami jelajahi.

Malam kian larut, purnama di atas memberi Kairo sedikit warna. Indah. Walau tak seindah indocress dipakai di jari-jemari lelaki Aceh, mungkin.

_____
Elmarq Jadidah, Cairo.

Selasa, 3 Februari 2015

Foto: Teuku Iskandar, Bang Zamzami dan Muttaqin di stand toko buku al-Ahram
Foto: bersama Teuku Iskandar

Pudarnya Pesona Kampung Aceh Kattameya

Aku masih meragukan ide Bang Mujek, idenya terkadang aneh. Sekarang ia mengatakan agar semua baju-baju bagus yang tak lagi ada pemiliknya itu diletakkan di pinggir jalan dalam komplek apartemen kami. Ia sudah dianggap sesepuh oleh para mahasiswa di sini, kami semua sepakat memanggilnya Bang Mujek. Ia sudah terlalu banyak makan asam garam dan asam sunti di daerah ini, hingga segala perkataannya merupakan nasehat yang harus didengar.

Butuh 2 jam lebih bagi kami untuk memilah dan memilih pakaian-pakaian berbagai jenis mulai dari kaus oblong, kemeja, sweater, jaket, jalabiyah (baju kurung khas arab) hingga ada beberapa selimut tebal musim dingin. Kini delapan kantong besar seukuran goni 50 kg penuh berisi bahan penutup tubuh itu berhasil terkumpul.

Semula kami mengusulkan agar itu semua disumbangkan ke Mesjid an-Nur, biar nantinya mereka yang membagikannya. Tapi kemudian Bang Mujek berubah pikiran.

“Kita letakkan saja di persimpangan pinggir jalan komplek” Pesan Bang Mujek. Bukan hanya aku, sebagian yang lain juga mempertanyakan idenya itu.

“Apa ada yang mau ambil nanti kalau diletakkan sembarangan seperti itu”

Adaa Tambahnya santai.

Kattameya, tepatnya di daerah Masakin. Daerah yang terletak di pinggiran Kairo ini dulunya terkenal sebagai kampungnya orang Aceh di antara mahasiswa Indonesia lainnya di Mesir. Dulu, lebih seratusan mahasiswa Aceh tinggal disini. Bang Mujek mengisahkan bahwa dulu ada sekitar 30 sya-ah (flat), satu flat atau rumah kami menyebutnya biasa ditempati 4 hingga 6 orang.

Harga sewa rumah yang murah dan suasana nyaman menjadikan Kattameya pilihan mahasiswa Aceh di Mesir. Dibandingkan daerah lainnya di seputaran Kairo, tingkat kebersihan disini tergolong baik. Kejahatan seperti pencurian juga tergolong rendah.

“Dulu, hampir tiap sore kami sering bermain bola di sekitar sini. Halaman Mesjid An-Nur sudah seperti miliknya orang Aceh. Kami sering menghabiskan petang dengan bermain disana. Tak jarang juga diadakan lomba persahabatan dan turnamen futsal, Aceh sering keluar sebagai pemenangnya. Aceh juga terkenal dengan pemain bolanya” Kisah Bang Mujek mengenang memori kejayaan mahasiswa Aceh di Kattameya.

Beberapa tahun berlalu, Setelah banyak yang menyelesaikan studinya, pesona Kattameya mulai pudar. Mahasiswa baru tidak lagi menjadikan Kattameya sebagai pilihan tempat tinggal. Mereka lebih memilih tinggal di Distrik Matarea, Hayyu Asyir dan Distrik Hussein. Satu persatu rumah ditinggal pemiliknya. keramaianpun mulai meninggalkan daerah ini.

Walaupun semua serba murah dan mudah di sini. Namun, bukan berarti Kattameya luput dari kekurangan. Jarak telah menjadi kendala dan hambatan tersendiri bagi mahasiswa. Akses yang jauh dari pusat pendidikan Al-Azhar telah membuat mereka berfikir ulang untuk tinggal dan bertahan di Kattameya.

Satu dua orang pindah, yang lain juga ikut menyusul. Mereka lebih memilih daerah Husein sebagai pilihan. Lokasi itu memang punya pesona tersendiri. Di sanalah berdiri universitas Al-Azhar, yang berarti dekat dengan kampus dan pengajian-pengajian talaqqi yang saban hari diadakan di mesjid Al-Azhar dan mesjid daerah Husein lainnya.

Talaqqi yang dibimbing langsung oleh syeikh Al-Azhar dan ulama-ulama Mesir menjadi hal yang tak boleh dilewatkan oleh para penuntut ilmu di Mesir. Untuk urusan pendidikan agama islam Husein memang tiada lawannya. Disanalah pusat tambang permata mesir yang sesungguhnya. pusat pendidikan dan kebudayaan Islam yang tak pernah lekang terkikis zaman.

Di Kattameya yang puluhan kilometer dari Distrik Husein.

Delapan plastik besar berisi berbagai pakaian siap diletakkan di tempat yang dimaksud bg Mujek. Rumah harus dikosongkan hari ini juga. Masa sewanya sudah habis, hampir sepuluh tahun rumah ini menjadi salah satu tempat bernaung mahasiswa Aceh di negeri ini. Tak terhitung berapa kali sudah berganti pemilik.

Baju-baju dalam kantong plastik hitam itu buktinya. Berbagai jenis barang penghuni sebelumnya yang ditinggal dan tertinggal sudah menggunung. Rumah yang sudah merekam banyak hal, setiap goresan di tubuhnya punya kisahnya sendiri. Senang dan sedih hidup di perantauan dia ikut jadi saksinya.

Kami adalah penghuni terakhir, tiga bulan yang lalu kami tinggal di sini. Harga sewa yang sudah dinaikkan hampir dua kali lipat membuat kami tak lagi nyaman berlama-lama menetap di sya-ah ini.

Bang Mujek mengusulkan agar kami pindah ke rumahnya, rumahnya juga sudah sepi ditinggal beberapa orang yang sudah pulang ke Aceh. Jaraknya tak jauh dari rumah kami sekarang, masih di satu komplek. Ia sekarang tinggal berdua dengan Teuku. Bang Mujek, Bang Saidul, Teuku dan beberapa teman yang lain hari ini datang, ikut membantu membersihkan dan mengosongkan sya-ah.

“Kita tidak boleh meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan, Mesir menganggap orang Indonesia ramah dan baik. Kita wajib menjaga nama baik kita dan ini salah satunya” Katanya beberapa hari yang lalu. Saya sangat salut dengan ucapannya ini.

Bang Mujek dan Teuku mulai mengangkat kantong-kantong itu, masing-masing membawa dua kantong plastik hitam itu.

“Yang betol Bang, apa mungkin ada yang ambil baju-baju ini Bang.” Tanyaku masih ragu. Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki berat keluar sya-ah yang terdengar, ia menghilang bersama kantong penuh baju-baju bekas yang dipikulnya.

Setelah beberapa jam setelah kami meletakkan baju di tempat yang dimaksud Bang Mujek. Aku kembali untuk melihat dan benar, baju itu sudah tak bersisa. Rasa syukur tiada terkira saat tau bahwa barang-barang itu diambil oleh mereka yang membutuhkannya. Pemilik sebelumnya juga pasti bahagia jika tau bahwa barang mereka kembali berguna bagi orang lain.

Kali ini Aku salah, kami salah telah meragukan Bang Mujek. Bahwa Kairo adalah ibukota negara yang sama seperti Jakarta, dan banyak yang masih hidup kurang beruntung. Aku masih baru disini, belum paham betul arus kehidupan di negeri para nabi ini. Terkadang pendapat "Dunia memang tak seindah yang terlihat" ada benarnya.

____
Kattameya,

Selasa, 3 Februari 2015



Bang Junaidi, Bang Saidul dan Bang Muzek di komplek perumahan Kattameya

Donor Darah Pertama di Mesir

Foto: dicek darah oleh petugas, terpaksa
saya harus pegang jantung agar tidak copot,
jatuh ke tangan petugas cantik dan shalehah ini.
“BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM... Bergabunglah bersama kami dalam berbuat kebaikan. Barang siapa menyelamatkan satu jiwa manusia seakan-akan telah menyelamatkan semua manusia. Sadaqallahul 'adhim”

Menjelang siang, sebuah corong pengeras suara yang melekat di sebuah mobil milik kementrian kesehatan Mesir untuk urusan pelayanan tranfusi darah masih meraung-raung, bersemangat mengajak manusia di seputaran Mugammak dan Tahrir agar bersedia menyumbangkan darahnya.

Kalimat itu terus diulang-ulang tanpa jeda, agar makin banyak yang berminat untuk mendonorkan darahnya membantu sesama. Sebuah petikan indah dari surat al-Maidah ayat 32 makin membuat seruan itu menarik.
“Barang siapa menyelamatkan satu jiwa manusia seakan-akan telah menyelamatkan semua manusia”

Dua pemuda berparas Arab di sana juga tak kalah bersemangat, bergerilya di antara kerumunan orang, mengajak orang berdonor. Persis sales yang sedang menawarkan produknya.

“Donor darah Pak, donor darah Bu...” Lebih kurang seperti itu.

Sebuah gedung tinggi berwarna coklat muda dengan bentuk melengkung setengah lingkarang tertancap megah di sisi barat bundaran Tahrir. Mereka menyebutnya Mugammak, kantor pusat pelayanan administrasi dan imigrasi.

Ribuan orang setiap hari datang silih berganti dengan segala urusannya. Hampir segala rupa dari berbagai negara bisa dilihat berlalu-lalang di seputaran Mugammak; mulai dari mata sipit, mata siput, mata lebar; kulit hitam, kulit putih, kulit abu-abu; rambut lurus bak diribonding, rambut keriting bagai indomie kering, hingga rambut kayak sabut kelapa ada di sini. Umumnya mereka mengurus perpanjangan visa, sama seperti kami.

Mobil pelayanan tranfusi darah biasanya mangkal di halaman Mugammak, kecuali hari Jum’at dan Sabtu. Mengajak masyarakat berbagi sedikit darah untuk kebaikan.

Sudah dua bulan, sejak awal Desember lalu saat pertama bertemu salah seorang dari pemuda yang mengajak saya agar mau berdonor darah. Saat itu, bahu saya disentuh saat baru saja keluar dari gedung Mugammak ketika mengurus perpanjangan visa. Dia merayu agar bersedia berdonor. Saya minta maaf dan menjelaskan bahwa baru saja melakukan donor darah 2 bulan yang lalu. Itu artinya satu bulan lagi baru idealnya bisa berdonor kembali. Bang Mukhlis yang saat itu bersama saya juga mengatakan tidak bisa donor. Saya hanya berjanji bahwa akan datang lagi sebulan kemudian.

Hari ini, setelah dua bulan saya kembali tiba di Mugammak ditemani Ahmad Yani. Tentu saja dalam keadaan lebih sehat. Seorang wanita cantik duduk di meja registrasi dekat mobil tranflusi darah yang terparkir di halaman depan Mugammak. Senyumnya terlihat ramah saat menyambut kami.

“Kalau begini, bukan hanya satu kantong, satu gonipun darah saya siap di donor. ambil semua darahku Kak. Asal saya bisa tetap melihat senyum indah itu. Kalaupun darah saya habis, saya siap dikubur di hatimu Kak,” batinku berkelakar.

Sama seperti di Indonesia, di meja registrasi saya ditanya banyak hal tentang data diri dan riwayat penyakit. Saya menjelaskan bahwa kami berasal dari Indonesia dan ini donor pertama saya di Mesir, sebelumnya saya sering donor rutin tiga bulan sekali, ini donor saya yang ke-16 kali. Data saya ditulis lengkap di selembar kertas. Tekanan darah dan kadar hemoglobin dicek.

“Saya sehat Kak, baik...?? Boleh donor...??”

“Okey, bagus...bisa,” katanya tersenyum. Sangat indah.

Senyum itu membuat orang sakit jadi sehat. Orang sehat jadi semangat. Mungkin senyum seperti inilah yang bernilai ribuan sedekah. Sebuah senyum yang seakan membuat darah keluar sendiri sebelum ditusuk jarum. Saya sangat yakin, hemoglobin yang keluar dari jari saya saat ditusuk jarum ketika diperiksa kakak ini berbentuk hati. Sepertinya tubuh saya rela jika harus donor darah setiap hari.

Setelah dinyatakan memenuhi syarat sebagai pendonor, Saya dipersilahkan menuju ke dalam mobil tranfusi. Tidak ada yang menarik dari mobil ini, untuk kategori mobil pelayanan tranfusi darah tingkat ibukota negara seperti Kairo, mobil ini tergolong sederhana.

Jika dibandingkan mobil unit pelayanan tranfusi darah milik PMI kota Banda Aceh, mobil ini tertinggal jauh. Mobil milik PMI Banda Aceh sudah tergolong cukup modern, berupa mini bus bermerek elit Mercedes Benz. Lebih luas, ber-AC, lebih bersih dan nyaman berada di dalamnya, bahkan ada televisi di dalamnya untuk memanjakan pendonor. “Mewah” ujarku beberapa tahun lalu saat pertama memasukinya.

Mobil transfusi darah yang terparkir di depan Mugammak ini tidak berupa mini bus,  lebih mirip mobil ambulan yang beroperasi di Indonesia dalam ukuran lebih besar. Melihat dari wujudnya tidak ada hal yang terlalu menonjol di dalam mobil ini. Terlihat ada empat kursi panjang berbalut busa yang disediakan sebagai tempat berbaring pendonor, dua kotak penyimpanan kantong darah dan pelaratan tranfusi lainnya. Walaupun begitu mobil ini telah berjasa besar dalam proses kemanusiaan, ditambah keramahan luar biasa dari petugasnya.

Pintu mobil sengaja dibuka, saya dan Ahmad Yani yang berdiri di luar bertanya beberapa hal kepada petugas. Dia menjelaskan bahwa mereka biasa mengambil darah 400cc perkantong perorang. Mendengar itu saya kemudian bertanya lagi bahwa biasa darah saya diambil 350 cc sesuai berat tubuh, apa tidak berbahaya.

“Tidak apa-apa, asal tidak melebihi 500 cc,” katanya meyakinkan.

Dia juga menuturkan bahwa di Mesir, masyarakat harus membayar 120 Pound Mesir untuk mendapatkan satu kantong darah. Jumlahnya setara 210.000 Rupiah Indonesia lebih kurang. Tidak berbeda dengan Indonesia yang juga harus membayar untuk mendapatkan sekantong darah. Ini sebenarnya hanya biaya pemeliharaan darah, agar darah tetap dalam kondisi segar seperti dalam tubuh.

Dulu saya sempat heran, mengapa ambil darah harus bayar, kita donor darah secara cuma-cuma, tapi saat perlu kita harus membayar. Petugas PMI Banda Aceh menjelaskan dengan cukup baik, biaya ini merupakan biaya pemeliharaan; biaya kantong darah; biaya alat-alat yang digunakan saat cek darah seperti jarum, kapas dan sebagainya; juga biaya pemeriksaan darah setelah di donor, layak didonorkan atau tidak, berpenyakit atau tidak.

Biaya ini tidak disubsidi oleh pemerintah, jadi wajar kalau dikenakan biaya saat pengambilan sekantong darah. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan PMI menjual darah. Tentu itu tidak benar kalau kita tau alasannya dengan tepat. Saya tidak tahu, apakah pemerintah Mesir juga tidak mensubsidi biaya kesehatan terkait darah ini.

Pembicaraan kami terhenti saat seorang wanita mulai masuk mobil, ia juga ingin melakukan donor darah. Petugas itu mulai melayaninya, hanya ada satu petugas di dalam mobil. Ini membuatnya harus membagi waktu untuk kami berdua. Disaat itu saya hanya menikmati darah yang turun melewati selang tranfusi lalu masuk memenuhi kantong yang terletak di bawah.

Ia terlihat lebih senang melayani wanita itu. Mereka bercerita, tertawa bersama, saya dengan jarum masih di tangan mungkin sudah dilupakannya. Wajar, itu sifat lahiriah laki-laki. Sebagai sesama laki-laki saya sedikit paham, mungkin ia juga dalam masa mengejar jodoh. Yang penting ia tidak merebut senyum kakak petugas tadi, itu saja. Saya sangat tidak rela jika senyum itu jadi milik umum.

Ahmad Yani yang melihat petugas laki-laki itu tersenyum ke arah saya, “Bang nyan cukop meu-agam meunan...”

Tak lama, kantong darah mulai penuh. Petugas itu mencabut jarum tranfusi yang tertancap di lengan kiri. Ia memberikan sebuah minuman kotak rasa guava, sebagai penyegar dan penambah sedikit protein baru. Saya berpamitan, ia tersenyum sambil mengucap terima kasih.

Di saat seperti ini, Saya jadi teringat wajah ramah kakak-kakak PMI Banda Aceh di unit tranfusi darah. Keramahan merekalah yang membuat saya yakin dengan keputusan menjadi pendonor rutin setiap 3 bulan sekali. Saya sangat salut dengan usaha mereka dalam misi kemanusiaan. Tak terhitung berapa nyawa telah terselamatkan dengan jasa mereka.

“BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM... Bergabunglah bersama kami dalam berbuat kebaikan. Barang siapa menyelamatkan satu jiwa manusia seakan-akan telah menyelamatkan semua manusia. Sadaqallahul 'adhim.” Corong itu terus berteriak-teriak penuh semangat bak pendemo menolak kenaikan harga mahar yang terus tinggi di Provinsi Aceh”

Seruan kalimat itu mulai terdengar melemah saat kaki kami melangkah menjauhi mobil unit tranfusi darah, walau begitu gema semangatnya tak pernah padam.

Lhee buleun teuk lon akan balek keunoe...” Tiga bulan lagi insya Allah saya akan kemari lagi, jumpa kakak shalehah dengan kemampuan senyuman yang menggoncangkan darah.

“Droekeuh donor cit sigoe goe mangat pijuet bacut...haha,” ujarku kepada Ahmad Yani.

Foto: di depan mobil donor darah milik kementrian kesehatan.

Ahlan, Welcome To Mesir

Image: google
Beberapa teman yang sudah menghadap petugas imigrasi diminta menunggu, begitu pun denganku. Bersabar menunggu di ruang tunggu imigrasi yang kira-kira luasnya sebesar lapangan sepak bola. Setengah jam berlalu, Zamzami dan Fikri mencoba bertanya dan mengeluhkan masalah ini kepada awak petugas. Seharusnya kami 11 orang yang sudah memiliki visa pelajar dan karneh (kartu pelajar) di Universitas Liga Arab Cairo tidak memiliki hambatan di bagian imigrasi.

Kondisi Mesir yang belum sepenuhnya stabil membuat Pemerintah Mesir cukup berhati-hati menerima tetamu pendatang baru. Bisa saja kami dinilai ingin menebar kebencian atau mungkin juga kami dianggap memiliki hubungan dengan jaringan teroris, seperti ISIS yang sudah kini mewabah.

Ah tidak, kami tidak memiliki ciri-ciri teroris yang dimunculkan Amerika Serikat itu. Semua ciri-cirinya mendiskreditkan Islam. Tidak ada di antara kami yang memiliki jenggot lebat, selebat sarang lebah siap panen di kampungku. Tidak ada. Rupanya bukan hanya kami, rombongan mahasiswa asal Padang juga mengalami hal serupa, belasan pelajar yang ingin melanjutkan Strata Satunya di Al-Azhar bernasib sama. Tertahan di bandara.

***
Sore itu, saat matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Setelah melalui waktu dan jarak yang panjang, Etihad dengan nomor penerbangan EY 655 membelai landasan Bandara Internasional Cairo, bersiap menumpahkan muatan berisi ratusan manusia berbagai macam suku bangsa dan tujuan ke Negeri Piramid ini. Mulai dari yang berbisnis, ada yang sekedar hanya untuk melancong, bertraveling dan banyak juga yang ingin menengguk ilmu agama di negeri para Nabi ini.

Ya, selain dikenal dengan piramidnya, Mesir juga terkenal dengan Universitas Al-Azhar yang sudah berdiri ribuan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih melahirkan ulama-ulama terkemuka yang menjadi panutan setiap umat Islam.

Saat itu jam baru saja menunjukkan pukul 16:00 waktu Mesir. Puluhan penumpang pesawat keluar dengan penuh rasa bahagia, ungkapan syukur tersirat dari wajah mereka. Etihad mendarat dengan mulus. Sempurna. Berjam-jam lamanya di atas angkasa memang terasa melelahkan, tapi Jiwa-jiwa itu tetap penuh semangat, semangat untuk menjelajahi setiap bingkai keindahan Mesir, juga semangat untuk melahab Ilmu Pengetahuan dari berbagai universitas yang ada di Mesir, terutama ilmu agama yang mengalir dari sumber mata air suci bernama Al-Azhar.

“Nil Mesir itu sebenarnya bukanlah sebuah sungai tapi kampus Al-Azhar,” kata kawanku yang sudah menamatkan study strata satunya disana.

“Airnya jernih dan menyucikan jiwa kalau kita sungguh-sungguh dan ikhlas menuntut Ilmu Agama disana,” ia menambahkan.

Itulah salah satu alasan mengapa Mesir khususnya Kairo disesaki manusia dari berbagai belahan dunia. Al-Azhar bak Oase ditengah gurun yang menjadi perhatian dan rebutan para musafir yang haus ilmu pengetahuan agama. Tak heran jika Mesir telah menjadi salah satu negara dengan jumlah pelajar asing terbanyak di dunia.

Hari ini Mesir mulai memasuki fase awal musim dingin.

Sebuah tulisan Arab terukir indah di atas pintu masuk bandara menuju ruang imigrasi “Rabbij ‘al haza baladan amiena”. Wahai Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman. Kalimat itu jelas terbaca oleh setiap mata yang baru saja melangkahkan kakinya di negeri itu. Kalimat itu merupakan potongan ayat dari surat Al-Baqarah ketika Ibrahim berdoa kepada Allah agar menjadikan Mekkah negeri yang penuh rahmat dan kedamaian. Mesir sepertinya juga tak mau ketinggalan memakai ungkapan sarat doa dan hikmah ini.

“Setiap perkataan itu adalah doa,” begitulah pesan Rasulullah.

Beberapa kaki melangkah, kami tiba di ruang imigrasi. sebuah pesan singkat langsung saya kirimkan kepada orang tua bahwa kami telah tiba dengan selamat di Mesir. Rencananya saya juga berkeinginan mengirimkan pesan kepada beberapa teman terdekat, tapi setelah mengecek biaya pengiriman sms sebesar 9000 rupiah, niat itu terabaikan. Sisa pulsa hampir habis. Harus hemat.

Waktu terus bergerak ke pukul 18:00, itu berarti Kami sudah dua jam tertahan. Itu juga berarti shalat magrib waktu Mesir sudah tiba. Tidak ada ruang shalat khusus di ruang imigrasi, kami harus berwudhu’ di westafel toilet, itupun harus mewaspadai petugas kebersihan toilet.

Seorang temanku sempat dimarahi ketika dia berwudhu’ disana. Berwudhu’ sudah seperti bermain kucing-kucingan dengan petugas kebersihan. Kami shalat di sudut ruang imigrasi di antara jejeran bangku. Membuat Mushalla darurat. Diruang tunggu Imigrasi memang tidak disediakan tempat wudhu' khusus, begitu juga dengan Mushalla.

“Benarkah ini Mesir…?”

“Kalau memang tidak diizinkan masuk, kenapa juga kedutaan Mesir di Jakarta memberi kita visa pelajar, sudah 4 jam kita tertahan di sini. Peu tawoe mantong menyoe lagee nyoe?” Kata seseorang yang sudah mulai bosan dengan logat Aceh yang kental.

Dari kejauhan, dua orang berwajah Indo diselimuti jas rapi terlihat berbicara dengan petugas imigrasi. Petugas KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) datang menjemput. Kami beserta rombongan dari Padang diperbolekan masuk Mesir akhirnya. Seorang mahasiswi dari Padang mulai membangunkan kawan lainnya yang sebagian sudah tertidur pulas di atas bangku ruang tunggu.

“Adek kalau ngantuk, tidur di hati abang aja, masih kosong kok” Batinku.

Sepertinya Aku harus membetulkan niat. tujuanku kemari untuk menuntut ilmu agama bukan ilmu asmara. Ini penyakit lama yang mesti segera dimusnahkan.

Di luar bandara ternyata kami sudah disambut dengan hangat oleh belasan abang-abang dan kakak-kakak dari KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) Mesir. Mereka sudah menunggu kedatangan kami dari setengah empat siang. Hampir 5 jam lamanya mereka menunggu. Ini membuat kami cukup terharu. 

“Ini belum seberapa, ke depan Kalian akan mendapati hal-hal aneh lainnya yang sama sekali tidak ada dan tidak pernah Kalian lihat di Aceh” ujar Muhibbussabri Hamid selaku Ketua KMA.

“Ahlan, selamat datang u Meusee” lanjutnya lagi, sambil memeluk kami satu persatu kecuali wanita. Ya, enggak mungkin juga di meluk wanita. Bukan mahram.[]