"Hana peu-peu hai. Enggak apa-apa, apalagi kalau jauh."
Sebenarnya aku dan Muhib kawanku, memang sedang ingin sekali kopi kocok telur. Namun, karena aku pernah menjadi pelayan warung makan, aku tahu bagaimana terkadang repotnya mencari barang di luar yang kadang tidak tersedia atau sulit dicari.
Terlebih telur yang dimaksud pun, bukan telur biasa. Memang bukan telur emas, tapi telur ayam kampung yang hanya dijual di tempat tertentu. Untuk menghasilkan kopi kocok yang "joss", kualitas telur pun harus bagus. Lebih bagus, kalau langsung diambil setelah keluar dari perut si ayam. Jadi, memang enggak dijual di tempat sembarangan.
"Enggak apa-apa, Kamil. Saya pesan yang lain aja," kataku
"Enggak apa-apa, Bang. Hana jioh. Dekat dari sini. Sebentar ya..." katanya dengan sangat lembut sambil berlalu pergi. Meninggalkan aku yang membatu di depan meja kasir.
"Meutuah that ureung nyoe," batinku.
Aku memang terlalu sulit untuk jatuh cinta, tapi sangat mudah tersentuh dengan kebaikan-kebaikan yang dianggap kecil bagi sebagian orang. Menurutku simple saja, orang-orang yang peka terhadap hal kecil, akan lebih mudah peka terhadap hal besar (walaupun aku sendiri bukan tipe yang pekaan).
Hal yang terjadi malam itu, langsung mengingatkanku dengan situasi tak mengenakkan yang kualami dua hari berturut-turut di masjid. Kejadian yang juga mengingatkanku pada sebuah postingan lama yang pernah kubaca, tentang perbandingan pelayanan petugas masjid dengan kafe. Tentang bagaimana masjid memuliakan tamu, yang kerap berbanding terbalik dengan tujuan dan fungsi masjid itu sendiri.
Masjid bukan tempat berdebat adu urat leher. Sebelum ia tambah marah, karena harga dirinya merasa terpukul, dengan hati penuh rasa kesal, aku memutuskan keluar.
Sehari setelahnya atau zuhur berikutnya, aku ke Masjid Aq Sunqur atau kerap disebut Masjid Biru. Masjid yang dibangun pada abad ke-14 Masehi oleh Dinasti Mamalik. Hari itu, aku pergi berdua dengan Zarqali, kawan rumahku.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di sini. Awal masuk saja, kami sudah dimintai uang sebesar 20 pound atau sekitar 20 ribuan. Kami jelas menolak. Petugas masjid tetap bersikeras bahwa kami harus membayar, karena masjid tersebut menurutnya adalah tempat wisata.
"Semua masjid di Mesir ini tempat wisata, dari Masjid Al-Azhar, Husein, Amru bin Ash. Semua tempat wisata, tapi tak pernah dimintai uang masuk," kata kami. Memang, kami tahu ada masjid tertentu yang masuknya berbayar seperti Masjid Sultan Hasan dan Masjid Rifa'i.
Aku memang terlalu sulit untuk jatuh cinta, tapi sangat mudah tersentuh dengan kebaikan-kebaikan yang dianggap kecil bagi sebagian orang. Menurutku simple saja, orang-orang yang peka terhadap hal kecil, akan lebih mudah peka terhadap hal besar (walaupun aku sendiri bukan tipe yang pekaan).
Hal yang terjadi malam itu, langsung mengingatkanku dengan situasi tak mengenakkan yang kualami dua hari berturut-turut di masjid. Kejadian yang juga mengingatkanku pada sebuah postingan lama yang pernah kubaca, tentang perbandingan pelayanan petugas masjid dengan kafe. Tentang bagaimana masjid memuliakan tamu, yang kerap berbanding terbalik dengan tujuan dan fungsi masjid itu sendiri.
Dua hari sebelumnya aku menziarahi masjid Hakim bi Amrillah, salah satu masjid peninggalan era Fathimiah yang dibangun pada abad ke-11 Masehi. Selesai salat zuhur, aku langsung digiring keluar, bahkan dilarang mengambil foto dan video.
Petugas masjid memarahiku hanya karena mengambil beberapa gambar dan video. Aku disuruh keluar saat itu juga. Sedang di depanku, dua bule bersama seorang pemandu wisata asal Mesir sedang sibuk mengambil gambar menggunakan DSRL. Petugas masjid itu memberi izin kepada mereka. Aku protes.
"Eih da ya 'Am, tismah lighairil muslim dukhul masjid wa timna' muslim dukhul masjid bita'hu. Walllahi, haraaaam 'alaik ya Amm. Haram 'alaik."
Orang non-muslim dengan pakaian terbuka aurat diizinkan masuk masjid dan mengambil gambar. Sedang aku yang jelas muslim begini dilarang masuk.
"Yakhreib beit...!"
Petugas masjid memarahiku hanya karena mengambil beberapa gambar dan video. Aku disuruh keluar saat itu juga. Sedang di depanku, dua bule bersama seorang pemandu wisata asal Mesir sedang sibuk mengambil gambar menggunakan DSRL. Petugas masjid itu memberi izin kepada mereka. Aku protes.
"Eih da ya 'Am, tismah lighairil muslim dukhul masjid wa timna' muslim dukhul masjid bita'hu. Walllahi, haraaaam 'alaik ya Amm. Haram 'alaik."
Orang non-muslim dengan pakaian terbuka aurat diizinkan masuk masjid dan mengambil gambar. Sedang aku yang jelas muslim begini dilarang masuk.
"Yakhreib beit...!"
Astaqfirullah, mengapa juga aku mengumpat. Inilah jika mulut tak diberi akses ke pesantren kilat dan jarang makan asupan zikir dan ayat Al-Qur'an.
Masjid Hakim bi Amrillah. (Dok. Pribadi) |
Masjid bukan tempat berdebat adu urat leher. Sebelum ia tambah marah, karena harga dirinya merasa terpukul, dengan hati penuh rasa kesal, aku memutuskan keluar.
Sehari setelahnya atau zuhur berikutnya, aku ke Masjid Aq Sunqur atau kerap disebut Masjid Biru. Masjid yang dibangun pada abad ke-14 Masehi oleh Dinasti Mamalik. Hari itu, aku pergi berdua dengan Zarqali, kawan rumahku.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di sini. Awal masuk saja, kami sudah dimintai uang sebesar 20 pound atau sekitar 20 ribuan. Kami jelas menolak. Petugas masjid tetap bersikeras bahwa kami harus membayar, karena masjid tersebut menurutnya adalah tempat wisata.
"Semua masjid di Mesir ini tempat wisata, dari Masjid Al-Azhar, Husein, Amru bin Ash. Semua tempat wisata, tapi tak pernah dimintai uang masuk," kata kami. Memang, kami tahu ada masjid tertentu yang masuknya berbayar seperti Masjid Sultan Hasan dan Masjid Rifa'i.
Dengan berbagai alasan, ia tetap bersikeras bahwa kami harus bayar.
"Wallahi Amm, ihna ruh hina bas lis shalah waz ziyaarah. Mafisy ma'ana iyi fulus dilwakti. Kami pergi ke sini hanya untuk salat dan ziarah. Kami enggak bawa uang"
"Fi ma'aya khamshah geneh bas. Lau aisy da, khuz da. Sama aku cuma ada lima pound ini tok. Kalau mau, silahkan ambil ini saja," kataku lagi sambil menyerahkan lembaran lima pound kepadanya. Ia akhirnya menolak, dan memperbolehkan kami masuk dan mengambil gambar.
Ternyata perkara tidak berhenti di situ. Selesai salat zuhur, kami langsung diusir keluar, padahal pada saat itu, di dalam masjid masih ada rombongan wisatawan lain juga. Ia marah-marah pada kami. Berteriak dari jarak jauh agar kami keluar.
Kami ikut meninggikan suara juga. Wisatawan lain melihat ke arah kami. Kami memutuskan keluar agar tidak terjadi kegaduhan. Sebelum pulang, pemandu wisata berbisik padaku, "Kalau Kalian ingin masuk dengan nyaman besok-besok, jangan lupa kasih uang padanya."
Aku tersenyum dan mengiyakan. Hanya karena 20 pound yang tidak kami berikan, ia mengusir kami dari masjid. Betapa karena hanya uang yang tak seberapa dari mahasiswa seperti kami, ia telah menyiayiakan pahala dan keberkahan yang begitu besar.
Saat seperti inilah, aku merindukan masjid yang dikelola dengan baik. Masjid yang memuliakan tamu, seperti Kamil yang berkata lembut dan memastikan semua nyaman berada di tempatnya. Namun sayang, begitulah kondisi masjid yang kukunjungi.
"Wallahi Amm, ihna ruh hina bas lis shalah waz ziyaarah. Mafisy ma'ana iyi fulus dilwakti. Kami pergi ke sini hanya untuk salat dan ziarah. Kami enggak bawa uang"
"Fi ma'aya khamshah geneh bas. Lau aisy da, khuz da. Sama aku cuma ada lima pound ini tok. Kalau mau, silahkan ambil ini saja," kataku lagi sambil menyerahkan lembaran lima pound kepadanya. Ia akhirnya menolak, dan memperbolehkan kami masuk dan mengambil gambar.
Masjid Aq Sunqur atau Masjid Biru. (Dok. Pribadi) |
Ternyata perkara tidak berhenti di situ. Selesai salat zuhur, kami langsung diusir keluar, padahal pada saat itu, di dalam masjid masih ada rombongan wisatawan lain juga. Ia marah-marah pada kami. Berteriak dari jarak jauh agar kami keluar.
Kami ikut meninggikan suara juga. Wisatawan lain melihat ke arah kami. Kami memutuskan keluar agar tidak terjadi kegaduhan. Sebelum pulang, pemandu wisata berbisik padaku, "Kalau Kalian ingin masuk dengan nyaman besok-besok, jangan lupa kasih uang padanya."
Aku tersenyum dan mengiyakan. Hanya karena 20 pound yang tidak kami berikan, ia mengusir kami dari masjid. Betapa karena hanya uang yang tak seberapa dari mahasiswa seperti kami, ia telah menyiayiakan pahala dan keberkahan yang begitu besar.
Saat seperti inilah, aku merindukan masjid yang dikelola dengan baik. Masjid yang memuliakan tamu, seperti Kamil yang berkata lembut dan memastikan semua nyaman berada di tempatnya. Namun sayang, begitulah kondisi masjid yang kukunjungi.
Memang ada saatnya, saat kita mencintai sesuatu, tapi sesuatu yang lain yang membuat kita meninggalkannya. Kuharap ini tidak terjadi di masjid-masjid yang lain, termasuk di masjid tempat akad nikah kita nanti. 😅
Sungguh,dulu aku sangat muakdengan rumah suciyang ada orang kotordi dalamnya.Kemudian,aku sadarbahwa ituadalah diriku sendiri.
EmoticonEmoticon