Tawar Menawar Harga di Klinik Gigi

(Gigi Rahmat sedang diperiksa oleh Dokter Ahmad Abdurrahman)
"Sub'u miyah li sinnain. Dua gigi 700 pound," katanya sambil menghisap rokok elektronik di ruang yang di dalamnya terdapat alat-alat operasi gigi.

"Janganlah 700 pound, Dokter. Kami mahasiswa. 300 pound aja," kata Rahmat.

Ada-ada saja, kami minta kurang lebih dari setangah harga yang ditawarkan. Proses tawar mengingatkan pada ibuku saat meminta kurang harga baju di  Pasar Aceh. Pokoknya kalau belanja, kita harus minta kurang lebih setengah harga, dan nampaknya Rahmat sedang menerapkan prinsip ibuku yang barangkali juga ibunya. Aku sebenarnya agak heran, baru kali ini di sebuah klinik kesehatan kita bisa menawar harga seperti ini. 

"Hahahaha. La. La. Tidak bisa," kata dokter.

"Ihna fakir ya Duktur, wa huwa yatim. Kami ini fakir dan lihat kawanku itu, dia anak yatim," kata Rahmat lagi sambil menunjuk Martunis. Rahmat agaknya mulai keterlaluan, untuk apa ia membawa status yatim Martunis. Beruntung, ia tidak membawa-bawa namaku dengan berkata, "Lihat juga ini, Dokter, kawanku yang menyedihkan belum menikah. Kasihanilah kami, Dokter".

Rahmat dan Martunis ingin menambal dua giginya. Berbeda dengan Martunis, Rahmat ingin menambal gigi untuk istrinya. Katanya agar leluasa beribadah. Aku tak berani menanyakan lebih lanjut pada Rahmat tentang ibadah apa yang ia maksud. Aku hanya berusaha paham saja, tugasku hanya menemani saja, tidak lebih. 

"Ma'alaisy ya, Duktur. Kami mahasiswa Indonesia. Kami ini miskin, tidak seperti mahasiswa Malaysia. Mereka kaya-kaya. Untuk kami empat ratus pound saja," kataku ikut menawar harga dengan membawa identitas negara lain. Siapa tahu doi luluh, soalnya mahasiswa tetangga itu terkenal kaya raya, sedang mahasiswa Indonesia sebaliknya. 

"Masyi, dua gigi empat ratus pound," katanya s
etelah tertawa terbahak-bahak.

Dokter gigi yang membuka klinik di daerah Hayy Sabik ini memang sedikit kocak. Selama proses tawar menawar harga, beberapa kali doi bercanda dan tertawa terbahak-bahak. Aku sampai ragu, ini dokter apa pelawak atau jangan-jangan ia punya kerja sambilan sebagai stand-up comedy.

Setelah memutuskan harga, Martunis kemudian mengeluh kepada kami bahwa ia punya gigi geraham satu lagi yang juga berlobang dan perlu ditambal juga. Ia memutuskan harga 700 pound, dan kami kembali melakukan tawar menawar harga sehingga tiga gigi menjadi 500 pound. 

Harga ini termasuk murah, bahkan cukup murah dibandingkan dengan mahasiswa lain yang juga pernah menambal gigi di sini. Salah satu kawan kami, pernah menambal satu buah gigi di sini dengan harga 400 pound. Coba bandingkan dengan kawan kami Martunis yang menambal tiga gigi dengan harga 500 pound. Kan lumayan sekali bisa menghemat beberapa ratus pound. 

Hal yang paling penting ketika berinteraksi jual beli atau jasa dengan orang Mesir adalah tawar menawar harga. Yah, kalau aku mencintaimu itu enggak boleh ada tawar menawar lagi: udah mutlak i love you. Paling kalau boleh, nanti kita tawar menawar jumlah mahar aja.

Kita ini mahasiswa rantau, dan bukan orang kaya, hingga proses tawar harga adalah sebuah keharusan. Kalau ada musa'adah diburu, kalau lihat harga ditawar. Ini adalah rumus hidup di perantauan. Hal ini termasuk saat kita ke klinik dokter. Misalnya saja di klinik Dokter Gigi Ahmad Abdurrahman. Klinik ini tidak memiliki harga khusus. Harganya tergantung mood dan proses tawar yang kita lakukan. 

Walau begitu, bukan berarti klinik ini malayani pasien dengan asal. Klinik ini cukup terkenal di kalangan mahasiswa asing dan sejauh ini semua proses operasi yang berkaitan dengan gigi dijalankan dengan cukup profesional. 

"Enggak perlu ragu, Bang. Beliau alumni Cambridge University dan magister di Ain Syam University. Bukan kaleng-kaleng, lah," kata Rahmat meyakinkanku dan Martunis. 

"Yang betol, Mat. Kalau Cambridge abal-abal atau kalau beliau sering bolos kuliah pas mata kuliah praktek gigi, gimana? Nanti udah malapraktik pula?" 

"Tenang, Bang. Apa Abang enggak lihat. Coba lihat kepalanya tu. Masih muda udah gudul setengah. Itu salah satu bukti bahwa beliau banyak sekali belajar," kata Rahmat. Aku hanya tertawa. Geuthat peh tem kiraju.[]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »