Tumpuk tengah. (Dok. Pribadi) |
Aku sedang di dapur saat sekelompok perempuan dari negeri entah-berentah tiba, lalu masuk ke ruangan khusus akhwat. Saat itu, aku sedang membantu di Cairo Resto, salah satu warung makan milik mahasiswa Indonesia yang cukup terkenal di kawasan Darrasah, Kairo.
Di samping terkenal dengan bumbu rempah yang kuat, warung ini juga terkenal dengan "Warung buka sebulan, tutup setahun". Slogan ini disematkan pelanggan yang kecewa lantaran sering tutup dapur.
"Salah satu ciri-ciri warung makan yang sukses memang seperti ini, buka sesuka dengkul. Bagai hidup enggan, mati tak mau. Kalau saja bukan karena makanan di sini terlalu nikmat, orang-orang barangkali sudah melupakannya."
Bagi perempuan pencinta kuliner dengan rempah yang kuat, sekaligus ingin tempat yang sedikit punya privasi, Cairo Resto adalah jawaban terbaik. Warung makan ini menyediakan ruangan khusus perempuan yang pintunya bisa dikunci dari dalam. Masalahnya, ruangan ini punya satu kekurangan: tidak kedap suara.
Tak berapa lama, setelah mereka masuk, terdengar suara tawa menggelegar. Tawa yang menggetarkan gendang telingaku dan dinding dapur. Aku nyaris memegang dadaku, aku khawatir jantung di dalamnya ikut bergetar.
Bagi sebagian orang, barangkali risih mendengar suara "rusuh" seperti ini atau setidaknya mempertanyakan "Perempuan kok ketawanya seperti ini?", aku malah tertarik. Mereka seperti punya inner beauty yang hanya dilepaskan di saat tertentu.
Adapun yang kemudian membuatku tersentuh adalah mereka melakukan apa yang dikenal dengan "tumpuk tengah" usai makan. Mereka mengumpulkan piring makan mereka, lalu menumpuknya di tengah dengan sangat rapi.
Sebenarnya, bukan kali ini saja aku melihat hal seperti ini. Pelanggan perempuan memang biasanya lebih peka terhadap pemilik atau pelayan warung makan, mereka terbiasa menyusun sendiri piring sisa makanan mereka, lalu menumpuk rapi di tengah.
Aku selalu mudah tersentuh dengan hal-hal kecil yang dianggap sederhana bagi orang lain, seperti tumpuk tengah ini misalnya. Lalu, bagaimana dengan masalah ngobrol keras ngalor ngidul cang panah dan suara tawa ngakak hingga ke mana-mana?
Hmmm, sebenarnya bagiku tidak terlalu masalah, toh mereka tidak sedang berada di perpustakaan, masjid, atau di rumah mertua. Mereka juga tidak tertawa di depan depan lawan jenis, hanya di ruangan khusus tertutup di antara sesama mereka. Jarang-jarang mereka berkumpul bersama, sehingga mereka tertawa seperti ini. Ini rasanya adalah tawa yang mahal dan tak mudah didapatkan.
Jujur, memang walaupun kita sering melakukannya, baik laki-laki atau perempuan, tertawa berlebihan memang tidak dianjurkan dalam Islam. Seorang ustaz menjelaskan bahwa hukum tertawa sendiri juga bersifat sangat kondisional.
Di mana ia tertawa? Apakah tawanya menyakiti orang lain? Siapa yang tertawa? Apakah ia sudah punya calon atau belum? Kalau belum, siapa namanya? Berapa nomor hp-nya? Bolehkah aku mengenalnya lebih dalam dan menjumpai orang tuanya? Lalu mari kita tertawa bersama hingga tua.[]
EmoticonEmoticon