(Image:leaderonomics.com) |
Bagaimana foto terakhir kita di pintu gerbang sebuah bandara yang kita ambil malu-malu? Masihkah seringkah Kamu memandangnya, lalu berharap aku pulang segera?
Aku selalu ingat, saat itu Kamu berkata, "Wajah kita mungkin akan menua, tapi di dalam foto ini, kita selalu muda dan bahagia". Lalu Kujawab, "Bahwa biarpun kita menua, tapi perasaanku padamu tetap sama. Tidak ada yang akan berubah, selain bertambah kuat".
Lalu kita mengaminkannya bersama.
Lalu kita mengaminkannya bersama.
Oh ya, aku ingin sedikit bercerita. Di sebuah ruangan yang luas, beberapa waktu lalu akhirnya aku disidang. Seperti biasa, Keluarga Aceh di sini selalu siap disibukkan, siap membantu melebihi yang diminta. Mengambil foto, video, dan bahkan mereka menyiapkan makanan untuk para undangan, jumlahnya tak tanggung-tanggung: ratusan.
Namun sayang, entah mengapa jumlah yang hadir pada saat itu tidak sampai setengahnya saja. Padahal, aku ingat saat kita dulu masih tinggal berdua di sini, saat jumlah kita tidak sampai dua ratusan, seluruh ruangan penuh, hingga meluap ke luar, ke lorong-lorong, hingga ke jalanan.
Sekarang jumlah kita lima ratusan, tapi sayangnya jumlah kursi yang terisi tak sampai setengah. Aku sempat sedih, tapi lantas berpikir jernih. Mungkin saja banyak yang sedang sibuk kuliah, talaqqi, atau sibuk yang lain. Mahasiswa sekarang memang punya terlalu kesibukan yang bermacam-macam, termasuk sibuk berdemonstrasi menuntut perubahan reformasi atau apalah namanya. Waktu yang mereka punya seakan tidak cukup.
Kondisi sekarang sudah berbeda seperti saat kita tiba di Mesir dulu. Dibandingkan duku, sekarang alhamdulillah sudah banyak mahasiswa yang berani lanjut S2 di sini. Mereka adalah calon-calon tokoh masyarakat dan pemuka agama ke depan.
Lihat saja, dalam satu bulan ada beberapa sidang munaqasyah. Dulu, Kamu tentu ingat, dalam satu tahun saja, belum tentu ada satu mahasiswa kita yang munaqasyah. Sekarang, sebentar-sebentar sidang, sebentar-sebentar munaqasyah, sebentar-sebentar selesai kuliah. Barangkali, hal ini juga membuat orang-orang mulai bosan menghadiri hal yang sama terus menerus. Berbeda sepertiku yang tidak pernah bosan merindukanmu.
Bukan hanya sidang sebenarnya, saat ada acara samadiyah pun orang-orang kayaknya sudah malas datang. Sepertinya, orang hanya datang jika yang terkena musibah adalah orang yang dia kenal atau orang terdekatnya saja. Selebihnya, aku hanya melihat ruang yang terlalu banyak menyisakan celah kosong. Padahal dulu, kenal enggak kenal, jika ada acara samadiyah selalu ramai orang-orang berdatangan.
Semoga asumsiku ini tidak benar. Sebenarnya aku tidak percaya bahwa rasa sosial kita sudah tergerus dan berkurang. Mungkin Kamu ingat kasus mahasiswa Aceh yang sakit dan akhirnya meninggal kemarin. Aku nyaris menangis melihat semangat sosial mahasiswa Aceh di sini. Ini belum termasuk dukungan dari berbagai pihak baik dari Aceh atau pun luar.
Aku lihat sendiri, bagaimana rumah sakit selalu penuh siang-malam. Ramai sekali yang datang. Sampai-sampai petugas rumah sakit menegur beberapa kali. Siang malam mereka berjaga menemani orang sakit. Perempuan-perempuan Aceh pun tanpa diminta membuat piket khusus masak. Tiap hari, tiga kali sehari mereka memasak untuk dibawa ke rumah sakit. Kami tak pernah kekurangan makanan di rumah sakit. Semua bahu-membahu membantu apa yang bisa dibantu. Di sinilah aku merasa bahwa penting sekali kita punya keluarga, apalagi di saat tengah krisis seperti ini.
Kuharap rasa sosial dan kebersamaan sebagai keluarga ini terus terjaga, sebagaimana kita yang selalu menjaga cinta kita ini.
Terus terang, memang banyak yang sudah berubah sejak Kamu pulang tiga tahun yang lalu, dan meninggalkanku bertarung sendirian di sini. Banyak yang sudah berubah, atau mungkin umurku yang memang sudah terlalu usang. Aku berharap dan berdoa ini perubahan ke arah yang baik.
Seorang kawanku yang juga akan disidang berubah lebih jauh lagi. Bukannya takut saat disidang tidak ada yang datang. Ia malah berniat tidak mengundang siapa pun dalam sidang munaqasyah. Ia akan sidang sendirian, tanpa suporter. Alasannya sederhana dan masuk akal juga tampaknya.
"Ini ruang sidang. Ini persidangan, bukan mau nonton bola, enggak perlu pakek suporter. Aku nanti tidak akan mengundang siapa pun," katanya tegas. Menarik juga idenya ini. Sangat kreatif pikirku.
Mengundang atau tidak mengundang saat sidang munaqasyah bukanlah masalah bagiku. Bahkan, jika yang datang tidak banyak juga bukanlah sesuatu yang harus ditangisi. Banyak hal yang jauh lebih penting yang perlu dipikirkan, melihatmu tertawa gembira misalnya.
Pun seperti tadi, tidak mengapa juga walau tidak banyak yang bisa tidak datang ketika munaqasyah, toh aku tahu mereka punya prioritas lebih penting. Aku yakin mereka juga mendoakanku untuk meraih nilai terbaik. Yah, buktinya saja, dalam persidangan yang berlangsung lima jam itu, aku memperoleh predikat mumtaz. Ini berkat doa orangtua, doamu di sepertiga malam, dan juga doa-doa mereka.
Namun, bukan mumtaz yang membuatku terlalu bahagia, bahkan ingin berteriak, jarak kita yang semakin dekat membuatku menangis bahagia setelah sidang usai. Sabar sebentar lagi, aku memang akan segera pulang. Rasa rindu sedang memberontak di tubuhku, ingin segera keluar dan memeluk buah hati kita. Aku kangen aroma tubuhnya yang mungil itu.
Seperti kataku tempo dulu, "Adalah jarak, musuh utama rasa bosan. Cinta memang mengharuskan kerinduan. Namun, apabila hati sudah memantapkan pilihan, semua bisa memenangkan pertarungan. Tak akan ada kehilangan. Pada orang-orang optimis, jarak adalah kekuatan."
Seperti biasa, setiap hari, jangan berhenti bersuara, walau hanya ucapan selamat pagi atau malam. Nanti, jika tak kuat menahan rasa, pejamkan mata, lalu tatap foto kita saat bersama. Ingat, selalu ada cinta di sana.[]
Note:
Bukan kisahku, dan sudah diposting beberapa bulan yang lalu di salah satu akun media sosial milikku.
EmoticonEmoticon