(Image: Dok. Pribadi) |
Salah satu kriteria bagusnya sebuah novel ialah berhasil membuat kita jatuh cinta pada bab-bab awal. Sebagai novelis kawakan, Andrea Hirata selalu berhasil membuatku jatuh cinta pada bab-bab pertama itu, dan terus mencintainya sampai akhir.
Di novel Sirkus Pohon ini misalnya, kita disuguhkan joke-joke satire ala Andrea Hirata yang menggelitik. Ia begitu pandai mengkritisi sosial dengan rasa humor segar. Hirata selalu sukses membuatku terpesona pada tulisan-tulisannya. Dalam hal ini, mungkin Hirata mirip Hinata, gadis malu-malu di manga Naruto yang membuatku jatuh cinta pada penampakan perdananya.
Aku mulai membaca ini dalam sebuah bus yang bertolak dari Sabi'-Hussein, hari ini. Seusai pengajian kitab Kharidah bersama Syekh Ayyub tadi siang, aku lanjutkan menyantap Sirkus Pohon ini. Namun kali ini dalam perjalanan sebaliknya, Hussein-Sabi'. Perjalanan menuju sekretariat Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir.
Dalam bus yang bergerak merayap bak cacing gemuk di atas pasir ini, aku biasanya memang suka menghabiskan waktu membaca buku di bangku paling belakang bus. Dibandingkan denganku, pemuda lain kulihat lebih suka membaca Al-Quran atau kitab-kitab. Mengulang-ulang hafalan atau sekedar mengisi waktu yang kosong. Mereka ini mungkin tipe idaman para orang tua dan mertua. Pemuda shaleh.
Kelompok pemuda lain lagi yang kulihat memilih melirik keluar jendela, menikmati pemandangan kota Kairo. Sesekali jika ada gadis Mesir berjalan di pinggir jalan, mata mereka mengikuti irama jalan gadis anggun itu. Mata mereka jelalatan. Sesaat, mereka seperti lupa pesan Rasulullah Saw tentang ghadhdhul bashar. Sebagai laki-laki aku paham mengapa ini terjadi. Dalam kasus ini, terkadang mereka sepertiku. Melirik tidak sengaja. Anggap saja begitu. Khilaf. Atau seperti kelompok pemuda yang lain lagi, mereka memilih bengong—yang aku tidak tahu mereka sedang berfikir apa. Pemuda-pemuda jenis ini merupakan calon korban idaman tuyul angkutan—yang menganggap barang orang lain sebagai miliknya.
Terkadang aku memilih membaca buku, sangat jarang aku membaca Al-Quran di dalam bus, kurang khusyuk. Kadang-kadang aku juga masuk golongan pemuda polos yang bengong. Tentang apakah aku masuk hitungan jelalatan mata? Biarlah menjadi rahasiaku atau kami para pemuda saja. Dan bagiku, tentu membaca buku lebih bermartabat dari jelalatan mata yang dilarang itu.
Dalam bus menuju Sabi', aku kembali membuka noverl Sirkus Pohon, terombang-ambing di samudera cerita Andrea Hirata dalam perut bus yang berjalan terhuyung-huyung. Aku ketagihan membaca kisah bodoh Sobrinudin dan Talipur.
Turun dari bus menuju KMA, aku memasukkan novel ini ke dalam tas. Aku berjalan cepat ke KMA. Otakku hanya berfikir bagaimana secepatnya melanjutkan kisah udik Sobrinudin.
Aku tidak tahu, hari ini ternyata KMA mengadakan pengajian kitab Waraqat. Saat masuk KMA, kulihat Syekh Ayyub masih mengajar Waraqat. Selain mengajar Kharidah di Hussein, Syekh Ayyub hari ini juga mengisi pengajian Waraqat di KMA.
Masuk KMA, aku langsung menyalami beliau penuh takzim. Sialnya, setelah itu, bukannya duduk bersama Syekh Ayyub. Aku malah langsung ambil jalur sirathal mustaqim ke bilik belakang, hanya menoleh sebentar, seadanya. Seharusnya, aku duduk sebentar untuk menghormati guru, walaupun tidak ikut belajar Waraqat. Otakku error saat itu.
Cinta dan keasyikan berlebih terhadap sesuatu memang seringkali membuat kita hilang ingatan. Dalam beberapa detik itu, novel Sirkus Pohon ini berhasil membuatku lupa bagaimana cara beradab dengan baik. Hari ini aku ikutan udik layaknya tokoh utama dalam fiksi Andrea Hirata. Bikin malu![]
Note:
Sudah saya muat jauh sebelumnya di Instagram milik saya @farhanjihadi pada 28 Oktober 2017 silam.
EmoticonEmoticon