Nikah Muda, Dilema Baru Mahasiswa Milenial

(Image: muslimmedicine.net)
Saya duduk bersandar di dinding, terkadang tertawa bersama seratusan anak muda yang duduk menyimak kisah hidup dan materi yang disampaikan. Dalam cuaca dingin, dari sebuah ruangan yang menampung sekitar dua ratusan orang, tiga mahasiswa sedang berbagi kisah inspiratif dalam talk show bertema "Jomblo yang Inspiratif dan Produktif". Ruangan lantai satu di gedung jalan Ibrahim Naji, Madinat Nasr, malam itu sesak.

Saya bergabung bersama mahasiswa yang ingin melawan pernikahan sebagai sebuah solusi nyata atas setiap problematika anak muda. Namun, apakah acara “Jomblo yang Inspiratif dan Produktif” kemudian melarang anak muda untuk menikah di usia muda? Tidak. Acara ini digagas sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir, untuk membuka wawasan dan merubah pola pikir mahasiswa bahwa tugas utama mereka saat ini bukanlah menikah tapi belajar, dan bukannya menginspirasi orang lain untuk menikah di usia muda.

Masa mahasiswa adalah masa produktif. Dalam usia ini kita dituntut untuk menjadi pribadi lebih baik, aktif, kreatif, bertanggung jawab, pintar mengelola emosi dan mulai berpikir cerdas menata masa depan. Masa mahasiswa bukan masa silang sengkarut, yang hanya diliputi rasa galau, memikirkan pangeran atau bidadari masa depan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, apalagi niat awal mereka menuntut ilmu, bukannya menikah. 

Hal sebaliknya terjadi dalam lingkaran kehidupan mahasiswa zaman now yang seharusnya fokus dalam dunia pendidikan. Mahasiswa sekarang malah sibuk menggalau manja dengan status di media sosial seputar penghulu, pelaminan dan pertanyaan “kapan nikah?”. Seakan-seakan pertanyaan seputar nikah menjadi momok menakutkan, dianggap musuh bersama bagi seorang musafir ilmu. 

Dalam bus yang bergerak ke acara talk show bertema jomlo ini, saya menyempatkan diri mengunggah sebuah status gurauan di Whatshap. 

"Sebelum tiba di talk show jomblo inspiratif, saya sarankan untuk beristighfar 99 kali, bershalawat 99 kali, lalu berdoalah 100 kali dengan menyebut nama orang kamu cintai. Lakukan dengan khusyuk dan niat yang ikhlas. Setelah melakukan amalan ini dan pulang dari talk show itu, tapi Kamu masih jomlo, maka Kamu memang belum beruntung. Kamu memang ditakdirkan menjadi jomlo. Selamat menyambung hidup dalam kesepian," kataku dalam status. 

Dalam sekian menit, seseorang membalas status tersebut. "Istighfar, bershalawat, dan berdoalah agar semakin tabah ketika di-bully," yang lain berkomentar "Menikah terus, tunggu apalagi" dengan menambahkan emoji tawa air mata. 

Kerap kali musuh kejam mahasiswa dan orang-orang yang tengah berkonsentrasi di pendidikan adalah godaan berumah tangga yang dihembuskan oleh orang tak bertanggung jawab dengan bertanya "kok masih jomlo? kapan menikah? orang lain pada menikah tuh?" dan pertanyaan jahiliah lainnya. 

Orang-orang mempersepsikan bahwa memilih menjadi jomlo saat kuliah adalah sebuah aib, sehingga boleh dihina dan direndahkan. Bagi mahasiswa absurd, definisi jomlo kemudian berubah menjadi suatu penyakit yang harus dijauhi dan dibinasakan. Devinisi ini kemudian tersebar bagai penyakit menular, seperti kampanye yang menistakan jomlo yang rutin dilakukan kelompok Indonesia Tanpa Pacaran. Bagi akun ini, kesuksesan anak muda berbanding lurus dengan cepatnya ia menikah. Mahasiswa zaman sekarang seakan-akan dituntut perkara lain selain menyelesaikan pendidikan dengan baik dan lancar, yaitu menikah.

Hal berbeda terjadi pada Maudy Ayunda. Ia mengunggah sebuah dilema indah. Aktris dan penyanyi ini sukses membikin publik Indonesia guncang dengan mampu menembus dua universitas terkemuka dunia sekaligus: Harvard dan Stanford University. 

Berbeda dengan Maudy, yang harus kebingungan memilih kampus mana yang akan dipilih untuk melanjutkan studi S-2, kita malah gelisah memikirkan jawaban atas pertanyaan "Kapan nikah?" Sungguh sebuah dilema yang sangat pahit. 

Dengan memposting hal itu di Instagram @maudyayunda, perempuan yang juga menjadi aktivis pendidikan ini seakan sedang menertawai kegalauan tak penting tentang pernikahan di dunia maya. Bagi mahasiswa seperti Maudy, menyelesaikan kuliah jauh lebih penting daripada menangis di media sosial dengan status-status galau minta jodoh atau mengunggah foto-foto alay dengan wajah dimonyong-monyongin enggak jelas. 

Kita harus berterima kasih kepada Maudy, ia sudah berjuang menginspirasi anak muda, terutama perempuan, dengan menaikkan standar kesuksesan dalam masa pendidikan. Ia mampu membawa dirinya berbahagia dan membahagiakan negara. Maudy Ayunda berhasil menampar pipi Indonesia Tanpa Pacaran, akun kelompok penista jomlo. Di saat akun ini beranggapan seakan-akan satu-satunya jalan menghindari zina di kalangan anak muda adalah dengan nikah muda, Maudy malah mengejek mereka dengan cara belajar dan berprestasi. 

Bagi beberapa manusia, Maudy Ayunda bukanlah anak muda berprestasi, karena tubuhnya tidak berhijab dan jauh dari nilai-nilai islami. Kata mereka, Maudy hanya sukses di dunia, di akhirat ia belum tentu sesukses itu. Bisa jadi malah Maudy nanti dilemparkan ke neraka terkutuk. Mereka menyarankan Maudy mendaftar di pesantren, bukannya kampus seperti Harvard atau Stanford.

Untuk itu, kita pinggirkan dulu ikhtilaf pendapat tentang Maudy ini. Mari sejenak abaikan perempuan manis yang tidak menutup aurat dan jauh dari hal-hal islami ini. Bagi muslim garis putih abu-abu seperti saya, Maudy tidak bisa menjadi role model anak muda muslim inspiratif. 

Dalam talk show "Jomblo yang Inspiratif dan Produktif" yang kuikuti malam itu, seorang pemateri sempat menyinggung kitab fenomenal, “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj”. Penulis kitab ini mengupas biografi dan kisah-kisah inspiratif para ulama dan cendikiawan muslim yang tidak menikah hingga akhir hayat. Mereka mengarungi khazanah keislaman, hingga mendahulukan ilmu daripada pernikahan. Ulama-ulama yang memilih menikahi ilmu, hingga lupa mempersunting seorang perempuan shalehah. 

Para ulama yang disinggung dalam kitab ini dengan kecintaan yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan, telah rela meninggalkan salah satu fitrah manusia dan sunah Rasulullah Saw. lalu memilih wafat dengan tetap setia berkhitmat kepada umat dengan mencintai ilmu hingga ajal menjemput. 

Sebagai mahasiswa yang tengah sibuk belajar, kita tidak perlu galau dan khawatir dengan pertanyaan “Kapan nikah?”. Jika para ulama terdahulu, seperti Imam Nawawi misalnya, hanya sibuk memikirkan omongan tetangga nakal dengan pertanyaan itu, kita tidak pernah mengenal Imam Nawawi yang kita kenal sekarang sebagai salah satu ulama tersohor dalam mazhab Imam Syafii. 

Kita tentu bukan seperti ulama-ulama besar dalam kitab itu yang berkhidmat kepada umat hingga lebih mementingkan akhirat daripada dunia mereka sendiri. Namun, setidaknya kita bisa berkaca pada kisah mereka yang menjadikan masa muda sebagai masa penuh inspiratif, dan bahwa nikah bukan satu-satunya jalan kesuksesan, apalagi saat status kita masih sebagai mahasiswa. 

Saya sangat setuju kepada pemateri yang menyebutkan bahwa pernikahan bukanlah ajang perlombaan sehingga harus dilakukan dengan buru-buru. Kita semua punya fase dan pertimbangan sendiri dalam menilai hidup. Jangan sampai karena godaan berumah tangga yang dihembuskan dengan liar, kita melupakan tujuan penting sebagai mahasiswa yaitu belajar sebaik mungkin. 

Selagi masih muda, terlalu banyak hal positif yang bisa lakukan sebagai mahasiswa, hingga akhirnya kita bisa menjawab pertanyaan “kapan nikah?” dengan baik. Untuk sementara kita bisa menjawab dengan belajar dengan tekun atau dengan karya-karya inspiratif seperti para ulama dalam kitab “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj” atau mungkin juga seperti Maudy Ayunda, itu pun jika kita menganggapnya pantas menjadi inspirator. 

Malam itu, 4 Mei 2019, saya mengamati ruangan KMA Mesir dipenuhi seratusan anak muda yang begitu bersemangat mengikuti talk show bertema jomlo inspiratif. Seperti saya, mereka menyimak baik-baik materi yang disampaikan dengan penuh antusias, kemudian mengajukan pertanyaan menarik dan serius, walau sebagian terlihat malu-malu bertanya. 

Acara ini cukup bermanfaat bagi mahasiswa yang tengah fokus belajar, agar mereka dapat memaksimalkan potensi diri dan tidak larut dalam rayuan apa pun yang mampu merusak konsentrasi belajar. Siapa yang akan tahu, mereka yang hadir malam itu akan menjadi anak muda inspiratif yang kemudian kisah hidup mereka dicatat dalam buku fenomenal, seperti kitab “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj”. Siapa tahu kan? 

Mahasiswa zaman dulu, berperang melawan penjajahan memakai bambu runcing, sebagian lagi melawan propaganda kolonialis dengan tulisan dan pemikiran. Di usia muda, mereka memiliki ghirah dan semangat tinggi untuk berjuang demi agama dan bangsa. Kita ini, jangankan berperang pakai bambu runcing, melihat undangan nikah kawan satu angkatan saja, sudah cukup bikin galau dan berurai air mata. Sayangnya, terkadang kita tak pernah menangisi nilai ujian yang buruk. Betapa mirisnya kehidupan mahasiswa kita.

Nah, tanpa mengesampingkan kawan-kawan yang sudah menikah, tapi tetap mampu menyelesaikan kuliah dengan baik, saya ingin menyampaikan bahwa ukuran sukses seorang mahasiswa adalah saat ia berhasil mengkhatamkan studinya dengan baik dan lancar, bukan pernikahan. 

Walaupun begitu dan cukup jarang terjadi, jika siapa pun memang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu plus menikah, itu pun juga sebuah prestasi luar biasa. Namun, dengan berbagai kondisi dan alasan, selalu saja ada orang-orang kurang beruntung. Kuliah tidak selesai, tidak berprestasi, dan sialnya nikah pun tidak. Sayang sekali. Saya pun takut. Semoga saya dan kita semua, tidak termasuk dalam katagori terakhir ini.[]

Note:
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Kmamesir.org pada awal Maret 2019.

Membaca Novel Orang-orang Biasa Karya Andrea Hirata

Novel Orang-orang Biasa Andrea Hirata. (Image: Dok. pribadi)

Aku mulai membaca novel ini dalam bus bernomor muka 80. Sebuah moda transportasi umum yang melayani penumpang dari Darrasah ke Hayy Asyir. Dalam bus bergerak dari Darrasah menuju Hayy Asyir yang berjarak sejam perjalanan itulah aku duduk di bangku belakang bus, tempat duduk favoritku. Di sini tempat nyaman untuk tidur tanpa ada yang menggangu, mendengar musik, mengotak-atik hape sambil membaca status di media sosial orang lain, membaca buku dan Al-Quran; atau hanya sekadar melamun saja.

Hari itu aku memilih membaca novel Orang-orang Biasa. Aku mulai tertawa saat membaca bab-bab awal novel milik Andrea Hirata ini. Aku tersenyum sendiri, seperti orang dimabuk cinta yang membaca balasan pesan pujaan hatinya. Bahwa ia penulis top yang mampu memadukan sastra dan humor dengan baik, adalah benar adanya. Wajahku tersenyum-senyum sendiri saat membaca narasi dan kisah kocak yang ditulis Andrea. Tidak peduli aku dengan sekitar, jika saja ada yang melihatku senyam-senyum tidak jelas di belakang bus, biarkan saja. Yang jangan mereka melihatku menangis.

Aku berhenti membaca saat tiba di Hayy Asyir. Kututup Orang-orang Biasa dengan berat hati. Ketika pulang kembali ke Husein, aku duduk lagi di bangku favoritku. Kubuka kembali novel yang sama. Namun, kelucuan di bab sebelumnya berhenti sebentar. Kelucuan itu tak bertahan lama. Ia berubah menjadi mendung yang membuat mataku basah dan gerimis.

Masih untung, siang itu aku memakai kacamata hitam ala Shah Rukh Khan seperti milik Inspektur Abdul Rojali dalam novel Orang-orang Biasa; jika pun aku mengeluarkan sedikit air mata, tidak ada yang tahu, bahkan orang di sampingku yang sibuk dengan gadgetnya. Jika orang-orang melihatku tersenyum sendiri atau tertawa sendiri, tidaklah mengapa. Aku tidak peduli dan tidak malu. Namun, ini lain perkara. 

Aku tak ingin mengeluarkan air mata di depan orang-orang. Aib besar bagi laki-laki yang memuja diri sendiri dengan sebutan cool dan macho sepertiku ini membiarkan wajah mendung dan kehujanan di tengah terik matahari Kairo. Pantang bagi laki-laki mengeluarkan air mata.

Aneh memang, orang-orang terlanjur berpikir bahwa air mata hanya diciptakan bagi perempuan, dan situasi ini membuatku tidak nyaman. Mana ada laki-laki di dunia ini yang menangis; yang menangis hanyalah anak-anak, dan perempuan; selebihnya hanya kelompok banci kaleng. Keterlaluan! Sungguh tidak adil dunia ini, untuk perkara air mata saja begitu merepotkan. Atau jangan-jangan aku yang terlalu sendu dan mendramatisir keadaan. Entahlah. 

Bagaimana tidak sedih, di halaman muka saja, Andrea Hirata menulis sebuah persembahan yang haru: mereka yang ingin belajar, tak bisa diusir. "Kupersembahkan untuk Putri Belianti, anak miskin yang cerdas, dan kegagalan yang getir masuk Fakultas Kedokteran, Universitas Bengkulu."

Alhasil, aku menutup buku, menarik nafas dalam-dalam, agar mataku tidak kembali basah. Aku meyakinkan diri bahwa buku ini tidak dibaca di tempat umum.

Bukan main novel ini. Setelah kubaca di rumah, bukan lagi kesedihan yang kuresapi, tapi narasi kocak dan adegan mengocok isi perut yang kudapat. Insting bercerita Andrea yang sudah kocak sejak dari dalam kandungan, malah melahirkan kelucuan demi kelucuan. Aku tergelak. Terbahak-bahak di atas kasur.

Melalui novel ini, Andrea berhasil menjadi pelawak artistik yang membuatku terpingkal-pingkal dengan cara bercerita kisah konyol dan tolol Orang-orang Biasa. Benar-benar kampreto nomero uno.

Bagiku, novel Orang-orang Biasa milik Andrea Hirata ini bukan sekadar novel. Meskipun banyak hal kocak yang mampu membuat mulut ngakak terbahak-bahak, novel ini mampu semangat idealis seperti layaknya buku pembangun jiwa. Ada tawa, ada bahagia, ada luka, ada tangis, dan ada air mata.

Jauh daripada itu, di sini ada sesuatu yang sangat berharga: ada harga diri dan wibawa. Sesuatu yang sangat berharga, yang tak bisa ditukar dengan apa pun, termasuk permata paling mahal harganya. Aku selalu kagum cara Andrea membangun kritik sosial dalam cerita. Di sini kita banyak mendapati untaian-untaian hikmah sarat nilai sosial yang mungkin sudah ditinggalkan banyak orang. Amazing.[]

Orang-orang Biasa Andrea Hirata. (Imange: Dok. pribadi)

Membaca Novel Sirkus Pohon Andrea Hirata

(Image: Dok. Pribadi)

Salah satu kriteria bagusnya sebuah novel ialah berhasil membuat kita jatuh cinta pada bab-bab awal. Sebagai novelis kawakan, Andrea Hirata selalu berhasil membuatku jatuh cinta pada bab-bab pertama itu, dan terus mencintainya sampai akhir.

Di novel Sirkus Pohon ini misalnya, kita disuguhkan joke-joke satire ala Andrea Hirata yang menggelitik. Ia begitu pandai mengkritisi sosial dengan rasa humor segar. Hirata selalu sukses membuatku terpesona pada tulisan-tulisannya. Dalam hal ini, mungkin Hirata mirip Hinata, gadis malu-malu di manga Naruto yang membuatku jatuh cinta pada penampakan perdananya. 

Aku mulai membaca ini dalam sebuah bus yang bertolak dari Sabi'-Hussein, hari ini. Seusai pengajian kitab Kharidah bersama Syekh Ayyub tadi siang, aku lanjutkan menyantap Sirkus Pohon ini. Namun kali ini dalam perjalanan sebaliknya, Hussein-Sabi'. Perjalanan menuju sekretariat Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir. 

Dalam bus yang bergerak merayap bak cacing gemuk di atas pasir ini, aku biasanya memang suka menghabiskan waktu membaca buku di bangku paling belakang bus. Dibandingkan denganku, pemuda lain kulihat lebih suka membaca Al-Quran atau kitab-kitab. Mengulang-ulang hafalan atau sekedar mengisi waktu yang kosong. Mereka ini mungkin tipe idaman para orang tua dan mertua. Pemuda shaleh. 

Kelompok pemuda lain lagi yang kulihat memilih melirik keluar jendela, menikmati pemandangan kota Kairo. Sesekali jika ada gadis Mesir berjalan di pinggir jalan, mata mereka mengikuti irama jalan gadis anggun itu. Mata mereka jelalatan. Sesaat, mereka seperti lupa pesan Rasulullah Saw tentang ghadhdhul bashar. Sebagai laki-laki aku paham mengapa ini terjadi. Dalam kasus ini, terkadang mereka sepertiku. Melirik tidak sengaja. Anggap saja begitu. Khilaf. Atau seperti kelompok pemuda yang lain lagi, mereka memilih bengong—yang aku tidak tahu mereka sedang berfikir apa. Pemuda-pemuda jenis ini merupakan calon korban idaman tuyul angkutan—yang menganggap barang orang lain sebagai miliknya. 

Terkadang aku memilih membaca buku, sangat jarang aku membaca Al-Quran di dalam bus, kurang khusyuk. Kadang-kadang aku juga masuk golongan pemuda polos yang bengong. Tentang apakah aku masuk hitungan jelalatan mata? Biarlah menjadi rahasiaku atau kami para pemuda saja. Dan bagiku, tentu membaca buku lebih bermartabat dari jelalatan mata yang dilarang itu. 

Dalam bus menuju Sabi', aku kembali membuka noverl Sirkus Pohon, terombang-ambing di samudera cerita Andrea Hirata dalam perut bus yang berjalan terhuyung-huyung. Aku ketagihan membaca kisah bodoh Sobrinudin dan Talipur. 

Turun dari bus menuju KMA, aku memasukkan novel ini ke dalam tas. Aku berjalan cepat ke KMA. Otakku hanya berfikir bagaimana secepatnya melanjutkan kisah udik Sobrinudin. 

Aku tidak tahu, hari ini ternyata KMA mengadakan pengajian kitab Waraqat. Saat masuk KMA, kulihat Syekh Ayyub masih mengajar Waraqat. Selain mengajar Kharidah di Hussein, Syekh Ayyub hari ini juga mengisi pengajian Waraqat di KMA. 

Masuk KMA, aku langsung menyalami beliau penuh takzim. Sialnya, setelah itu, bukannya duduk bersama Syekh Ayyub. Aku malah langsung ambil jalur sirathal mustaqim ke bilik belakang, hanya menoleh sebentar, seadanya. Seharusnya, aku duduk sebentar untuk menghormati guru, walaupun tidak ikut belajar Waraqat. Otakku error saat itu. 

Cinta dan keasyikan berlebih terhadap sesuatu memang seringkali membuat kita hilang ingatan. Dalam beberapa detik itu, novel Sirkus Pohon ini berhasil membuatku lupa bagaimana cara beradab dengan baik. Hari ini aku ikutan udik layaknya tokoh utama dalam fiksi Andrea Hirata. Bikin malu![]


Note: 
Sudah saya muat jauh sebelumnya di Instagram milik saya @farhanjihadi pada 28 Oktober 2017 silam.

Rantai Kebencian Dunia

(shutterstock.com)
Kita hidup di dunia dengan rantai kebencian yang tak pernah putus. Kelompok A di suatu tempat menyebarkan kebencian terhadap kelompok B. Di tempat lain kelompok B menyebarkan kebencian terhadap kelompok A. Padahal kelompok A ditempat tersebut tidak berkaitan terhadap kelompok A sebelumnya, dan sebaliknya kelompok B. Mereka hanya oknum sesat dalam tiap kelompok. Namun, kelompok ini disalahkan secara menyeluruh. 

Dari ujaran kebencian, hasutan, menjalar kepada kekerasan dan pembantaian. Bukan menenangkan kelompok A dan B sama-sama membela diri, dan bahkan memprovokasi kebencian lebih dalam lagi. Akhirnya dunia terus diliputi rantai kebencian dan kekerasan atas nama SARA. 

Atau coba lihat Adolf Hitler di Jerman tempo dulu. Bagaimana ia berceramah mengajarkan kebencian dan hasutan terhadap suatu kelompok. 

Lihat juga bagaimana ceramah kebencian yang dilakukan Abu Bakar Baghdadi beberapa tahun silam terhadap umat Kristen, Syiah dan pemerintah. Kebencian yang membakar sebagian besar Timur Tengah menjadi puing dan menghancurkan banyak hal. 

Lalu lihatlah bagaimana politik busuk dan iklim sosial kotor di Indonesia saat ini. Lihat bagaimana tokoh politik mengipasi kebencian terhadap kelompok tertentu. Lihat bagaimana para pendakwah di mimbar keagamaan. Penuh dengan kebencian dan caci maki. Suatu yang sangat tidak layak disampaikan oleh seseorang yang disebut penebar kebaikan. 

Jika kita terus saja mengampanyekan kebencian, mendengar kata benci, senang dengan makian dan hasutan, bahkan di dalam mimbar keagamaan, suatu saat kita akan aneh mendengar kata-kata CINTA.[]

Puisi: Aku Tidak Pernah Cinta


Aku bukan pembohong. 
Aku hanya perindu.

Aku bukan pembunuh.
Aku hanyalah seorang pecinta.


Tapi, aku akan menipu,
Bahwa aku tidak rindu.


Tapi, aku akan berdusta,
Bahwa aku tidak cinta.

Agar aku tidak mati.
Dibunuh perasaan,
Yang tak mampu aku selesaikan.

@farhanjihadi
Sabtu, 2.3.2019



Sultan dan Reuni


Sultan, kawan rumahku, baru saja keluar kamar mandi dengan gelagat buru-buru. Nampaknya, ia ingin keluar rumah. Katanya, malam itu ikatan alumni pesantren Omar Dhian mengadakan reuni di salah satu rumah alumnus. Sultan begitu bersemangat saat kutanya mau ke mana dengan wajah sudah bersih dan wangi seperti itu. 

"Aku mau ikut reuni. Ada acara reuni Omar Dhian hari ini," katanya dengan mata berbinar-binar. Nampaknya, ada sesuatu di acara reoni itu hingga ia terlalu bersemangat dan berdandan cukup rapi. Semacam ada udang di balik batu. 

"Oh ya, anak-anak akhwat Omar Dhian ikut gabung juga ya...?"

"Ya, Bang... Banyak akhwat yang ikut. Banyak juga yang cantik-cantik Bang," katanya penuh antusias. Jarang-jarang aku lihat kawanku ini hidup penuh gairah seperti ini. Ini rupanya alasannya. Something di balik reuni. 

Kulihat plastik sampah di dapur sudah penuh, aku meminta tolong pada Sultan membuangnya di tempat pembuangan sampah di luar. Aku pun mengambil plastik sampah berukuran setengah meter lebih itu dan meletakkannya di pintu.

Saat Sultan mau keluar, aku menyerahkan plastik berisi sampah itu kepada Sultan

"Aku boleh ikut gabong enggak, Tan...?" tanyaku pada Sultan. Siapa tahu, mungkin bisa bergabung bersama mereka.

Sekolahku, Madrasah Aliah Program Khusus (MAPK), sudah dibubarkan Kementerian Agama dan tidak ada lagi acara alumni yang tercipta dari sana. Jadi aku enggak pernah ikut acara reuni-reunian almamater selama di Mesir. Sesekali kita kan ingin juga merasakan aura reoni yang katanya mengasikkan itu.

"Boleh Bang. Ikut aja. Nanti datang aja ke rumah Bang Fikri Aslami. Banyak juga akhwat-akhwat yang cantik-cantik."

"Okeylah, hati-hati ajalah kalau begitu. Semoga sukses."

Aku melihat Sultan mengambil dan membawa plastik sampah itu dengan penuh semangat. Kulihat ia melompat-lompat dengan ceria di tangga apartemen, udah kayak ulat panah. Mungkin ia merasa sedang berada dalam salah satu adengan lagu India, makanya harus loncat-loncat manjah begitu, semacam orang terkena penyakit sawan.

Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, mungkin someone yang sangat ia rindukan akan ikut hadir di sana. Entahlah. Melihat Sultan keluar rumah dengan gembira saja sudah membuatku senang. 

Pintu rumah kututup. Namun, tak berapa lama, kudengar Sultan memanggil namaku dengan nada buru-buru. Aku membuka lagi pintu rumah, barangkali ada sesuatu yang tertinggal. 

"Ada apa, kok balek lagi, Tan...?" 

"Plastik sampah jebol dari bawah, Bang."

"Apa...? Bawahnya jebol? Makanya kalau bawa plastik sampah jangan loncat-loncat," kataku sambil tertawa.

Ya Allah, benar saja. Plastik itu jebol dan sampahnya berceceran di tangga. Ini efek kalau niat ikut reuni bukan untuk menyambung silaturahmi, tapi menyambung tali modus.[]