Puisi: Persimpangan Jalan


Di persimpangan jalan, 
Orang-orang berlalu lalang,
Kadang bertemu seseorang,
Kadang hanya menemukan kehilangan.

Di persimpangan jalan,
Orang-orang mencari harapan.
Mereka-reka tujuan,
Lalu pulang bersama keletihan.

Oleh Tuhan, di persimpangan jalan,
Orang-orang kadang dipertemukan.
Saling canda dan lempar sapaan,
"Hai, dari mana? Mau ke mana?" lalu saling menghilang.

Di persimpangan jalan,
Aku berjumpa sebuah pertemuan.
Entah itu harapan, masa depan,
Atau mungkin saja kegelapan.

Bagiku, pencari jalan pulang.
Persimpangan jalan selalu membingungkan.

@farhanjihadi
Cairo, 29.1.2019

Mengantri Masuk Makam Imam Syafii Bersama Mahasiswa India

Antrian masuk makam Imam Asy-Syafii. (Foto: Dok. pribadi)

15-16 Februari 2019, makam Imam Syafii dibuka untuk umum selama 3 jam, mulai pukul 1 siang hingga 4 sore. Maret 2016 lalu mesjid dan kubah makam Imam Syafii yang berada di sebelahnya dipugar. Mulai saat itu mesjid dan kubah yang berisi beberapa makam di dalamnya, termasuk Imam Syafii, tertutup untuk umum. Padahal, makam Imam Syafii adalah salah satu objek wisata islami yang paling banyak diziarahi wisatawan muslim. 



Di dalam kubah ini, bukan hanya bersemayam Imam Syafii. Beberapa tokoh besar Dinasti Ayubiyah juga disemayamkan di dalam sini, di antaranya Sultan Al-Kaamil, Sultan Al-Syami, dan Syamsah, isteri Shalahuddin Al-Ayubi. Makam ulama besar Imam Zakariya al-Anshari juga berada di mesjid ini, tapi tidak masuk dalam kubah Imam Syafii. 


Beberapa waktu lalu, selama rekonstruksi itu,  sebuah makam ditemukan lagi dalam kubah yang pertama dibangun pada Dinasti Ayubiyah tersebut. Makam baru ini ditemukan saat pekerja melakukan restorasi mesjid dan kubah Imam Syafii.

Antrian masuk susah mengular hingga gerbang masuk mesjid saat aku, Sultan dan Hafidh tiba pukul setengah tiga. Dalam antrian wajah-wajah Asia Tenggara, terlihat cukup dominan. Antrian ini pun berjalan cukup lambat dan semakin panjang ke belakang hingga menyentuh gerbang masuk. 

Para penziarah yang didominasi mahasiswa Al-Azhar ini begitu bersemangat berjumpa Imam Syafii, sudah hampir 3 tahun makam beliau tertutup bagi penziarah, dan ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. 

Di belakang kami seorang berwajah India berdiri, nampaknya ia datang sendirian. Ia lantas memperkenalkan diri sebagai Muhammad Razik dari Kerala India. Ia sedang menempuh studi magister di Universitas Al-Azhar jurusan Fiqh Syafii. Ia lulusan salah kampus islami di Keralla yang mu'adalah dengan kampus Al-Azhar 

Kami berbicara lumayan lama, berbincang banyak hal tentang India dan Indonesia. Kami, terutama aku, sangat ingin bisa menginjakkan kami di India, melihat monumen cinta paling indah di dunia. Kami kemudian bertanya ongkos pergi ke India dari Mesir. 

"Ya, ongkosnya sekitar 12 ribu rupee." 

"Itu kira-kira berapa pound Mesir...?" tanya kami bersemangat. 

Ia mengira-ngira dan berpikir lumayan lama. Soalnya Razik ini baru saja tiga bulan tiba di Mesir. Ia tampaknya belum begitu paham hitung-hitungan rupee India ke pound Mesir. Kami lihat ia kebingungan. 

"Sekitar 1200 pounds," katanya tiba-tiba. 

"Wah, itu murah sekali. Sedangkan kami dari Mesir ke Indonesia bisa sampai 7 ribu pounds Mesir. Padahal jarak Indonesia-Mesir setengah dari India-Mesir," kataku. 

Razik melihat-lihat angkasa, entah apa yang ia lihat, mungkin ada layangan jatuh atau semacamnya. Namun, dari raut wajahnya, sepertinya Razik tidak yakin dengan ongkos ke India dari Mesir 1200 pounds.

"Ya, harganya mungkin sekitar 1200 pounds," ujarnya terbata-bata. Nampaknya ia masih kebingungan tentang harga tiket tersebut, dan masih berusaha memikirkannya dengan baik. Melihat ia masih bimbang sendiri melihat-lihat langit sambir memikirkan harga tiket, aku bertanya padanya. 

"Bagaimana kita ucapkan apa kabar dalam Bahasa India?" 

"Kaisei ha....“ 

"Wah, hampir sama dengan Bahasa Arab dong. Kaisei ha, kaif hal. kaif haalluk..." Kulihat ia mulai tersenyum. 

"Aku suka sekali India. Bahasa India, lagu India. Aku hafal lagu-lagu India. Aku juga suka film-film Bollywood, seperti Kuch-Kuch Hota Hai, Dilwalee dan lain-lain. Baru-baru ini aku menonton film Sanju. Ini film bagus banget," curhatku padanya. Aku senang banget bertemu orang India. Kulihat matanya memerhatikanku dengan serius. Lalu aku mencoba menyanyi sedikit lirik lagu Koil Mil Gaya.

"Koil mil gaya, kya batawoon yaroo...."

Bukannya tertarik, ia malah menatap tajam mataku dengan ekspresi dongkol. 

"Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah... Haram 'alaik...!" Ia menyomprot kata-kata itu di wajahku. Dalam sekian detik itu auranya berubah. Kulihat wajahnya begitu tegas. Aku malu. Saking malunya, aku bahkan tidak ingat, apakah air liurnya ikut terhembus ke wajahku saat ia berkata "haram 'alaik".

Setelah berkata itu, ia seakan tak mau berbicara lagi denganku. Aku merasa berdosa sekali sudah curhat tentang lagu dan film India. Aku bagai sedang melakukan dosa besar. 

Razik tak lagi berbicara dengan kami. Sultan dan Hafidh menyalahkanku. Bagi mereka, sangat tidak penting berbicara lagu dan film India di saat kita mengantri untuk berziarah ke makam ulama. 

Benar kata mereka. Aku makin merasa menyesal. Pulang dari ziarah ini kayaknya aku harus mandi taubat. (Maafkan aku ya Allah. Hamba berdosa dan penuh noda.) 

Aku, Sultan dan Hafidh terus berbicara dan bercerita bertiga. Razik yang berdiri di belakang hanya melihat. Sebenarnya aku ingin minta maaf, tapi urung kulakukan. Apakah sebuah kesalahan jika kita suka film India? Entahlah, aku enggak tahu. 

Aku pun maklum. Memang, bagi kebanyakan orang, film India lekat dengan label tidak islami dan sering dipersepsikan tidak layak tonton, padahal banyak sekali film India yang mengangkat tema keislaman dan banyak yang mengandung nilai edukasi dan hikmah yang banyak. 

Hampir satu jam Razik tak lagi berbicara pada kami, tiba-tiba ia menyentuh pundakku dan Hafidh. Aku takut, jangan-jangan ia ingin menceramahiku untuk tidak menonton film India lagi. Namun, kali ini kulihat rupa Razik sedikit lebih cerah. 

"Oh ya, aku lupa tadi. Rupanya tiket dari Mesir ke India itu bukan 1200 pound, tapi 4000 pound," katanya tiba-tiba sambil tersenyum. 

Aku, Hafidh dan Sultan saling memandang. Kami keheranan. Rupanya ia menghabiskan waktu hampir satu jam hanya untuk berpikir harga tiket pesawat dari Mesir ke India. Ya Allah, kami pikir, ia marah pada kami gara-gara lagu dan film India tadi. Kami kemudian tertawa. Iya, Razik memang marah padaku ketika aku bernyanyi Koil Mil Gaya, tapi ketika ia tidak berbicara pada kami itu perkara lain lagi.

Coba bayangkan ia memikirkan harga tiket itu hampir satu jam dan kami menganggapnya sedang marah pada kami gara-gara lagu India. Razik mungkin memang tidak suka aku bernyanyi lagu India, tapi bukan itu yang membuatnya tidak berbicara pada kami. Saat itu ia hanya sedang memutar otak demi mengetahui harga tiket, dan itu hampir satu jam. Aku, Hafidh dan Sultan kembali memandang dan tertawa lagi.

keadaan kembali cair. Kami berbicara seperti biasa lagi. Aku pun menggodanya lagi dengan lagu India. 

"Kamu tahu lagu Kuch Kuch Hotahai...?" Hafidh dan Sultan tersenyum melihatku. India kocak. Haram 'alaik...![]

Mesti baca: Tentang Menjabat Tangan Wanita, Aku Punya Kisah Memilukan

Tutup Tupperware Akhwat yang Hilang

Syifa berjualan di salah satu lapak bazar
Fathur datang ke lapangan pertandingan futsal yang diadakan KMA Mesir membawa beberapa kotak "Tupperware". Kotak itu berisi ragam kue, seperti bakwan, cilok dan kue serupa bingkang atau adei. Fathur berjualan kue ini kepada peserta tim futsal dan suporter yang datang ke lapangan. 


Makanan ini rupanya bukan miliknya sendiri, Fathur membantu berjualan kue yang ternyata dibuat akhwat KMA Mesir. Di lapangan, Fathur membuka lapak bazar bersama Amaril, Sultan, Syifa, dan Fata yang juga ikut berjualan kue yang berbeda. 


Kue yang dijual Fathur ternyata laku keras, diborong oleh agam-agam KMA kelaparan yang sejak pagi hari menyaksikan pertandingan futsal. Selain enak, harga yang murah membuat kue Fathur ini laku keras. Ia menjual sepotong kue adei dengan harga 1 pounds. Harga yang sangat murah. Kok bisa ia menjual kue satu potong 1 pounds, untungnya di mana coba? Ini mau berjualan apa mau bersedekah...? 

Kue milik Fathur sangat cepat habis. Ia meng-uninstall lapak dagangan miliknya. Fathur tutup lapak, saat yang lain masih buka lapak. Ia ingin secepatnya pulang dan menghitung laba, siapa tahu bisa berangkat haji tahun ini langsung. Namun, beberapa saat kemudian Fathur mulai panik, ia tidak menemukan salah satu tutup "Tupperware" kue. 

"Bang, ada lihat tutup "Tupperware" bening enggak di sini...?" tanya Fathur kepada kami yang duduk di sekitar lapak bazar dengan wajah panik, sambil melihat-lihat sekitar. 

"Enggak ada Fathur, coba cari di belakang plastik hitam itu," kataku menunjuk sebuah plastik hitam. 

"Enggak ada Bang," 

"Hayoe... Hati-hati tu Fathur, itu tutup "Tupperware" milik akhwat. Kalau hilang akan diingat sampai mati. Hati-hati nanti kualat sama akhwat," kata kami yang duduk di situ. Kulihat Fathur malah semakin panik. 

"Iya benar, hati-hati tuh. Bahaya kali kalau hilang tuh..." yang lain juga ikut-ikutan menakuti Fathur.

Bagi perempuan, apalagi ibu-ibu rumah tangga, perkara Tupperware ini adalah masalah serius yang agak-agak horor. Aku ingat betul saat awal kuliah dulu pernah menghilangkan Tupperware milik mamak. Setelah beberapa tahun, bahkan setelah selesai kuliah pertanyaan "Di mana Tupperware mamak, apa sudah ketemu? Masih ditanyakan juga. 

"Atau coba lihat dalam plastik sampah itu, mungkin enggak sengaja kebuang ke sana tadi," kataku padanya.

Sekarang Fathur betulan mengacak-ngacak plastik sampah dengan gelisah. Ia tampak bagai pemuda yang kebingungan mencari cincin pernikahan yang hilang. Kalau Fathur pulang tanpa cincin atau tanpa tutup Tupperware berharga itu, barangkali ia berpikir akan dicakar-cakar. 

Tutup ajaib itu tidak ditemukan juga. Fathur bertambah gelisah. Kulihat ia berputar-putar lapangan, mengelilingi lapangan tujuh kali, berlari-lari kecil dari ujung ke ujung tujuh kali, semacam berharap mendapat sesuatu mukjizat berupa tutup Tupperware yang hilang. 

Fathur akhirnya lelah sendiri. Hasilnya nihil. Tutup lenyap ditelan kebisingan teriakan suporter bola. Tutup misterius itu tetap tidak ditemukan. Fathur hampir putus asa. 

"Enggak dapat juga Bang," keluhnya padaku. 

"Coba diingat lagi, mungkin tadi ada Tupperware yang memang enggak pakai tutup."

"Ada Bang, ada semua tutupnya tadi!" 

"Boeh ka, ya sudah, coba cari sekali lagi dalam plastik sampah itu, mungkin tadi carinya buru-buru, jadi tidak tampak," kataku meyakinkannya. Kali ini aku turut mengacak-acak plastik berisi sampah itu, bagai pemulung. 

Sayangnya, tutup "Tupperware" sinting itu tetap enggak ada juga...! Tutup ini rain bagai ditelan bumi. Dan Fathur nampaknya khawatir, gilirian ia pula nanti yang akan ditelan omelan akhwat.

Setelah beberapa saat berlalu, dengan wajah lega, Fathur berjalan ke arahku, lalu berkata. 

"Oh ya Bang. Maaf, rupanya satu Tupperware memang enggak ada tutupnya. Tupperware buat cilok memang enggak pakek tutup tadi," katanya dengan wajah polos. Fathur tertawa, kami pun tertawa. Mungkin ini gara-gara kuenya terlalu murah dijual. Terlalu banyak "bersedekah" kue.[]

Penemuan Makam Baru di Mesjid Imam As-Syafii

Antrian masuk makam Imam Syafii
Jumat 15 Februari kemarin kami berkesempatan berziarah ke makam Imam Syafii di daerah pemakaman Qarrafah As-Shugra. Aku, Sultan dan Hafidh bergerak pukul 1 siang, setelah selesai pelaksanaan salat Jumat. Kami sangat bersemangat. Dalam beberapa tahun ini, kami memang beberapa kali berziarah ke makam Imam Syafii, tapi tak pernah bisa masuk ke dalam kubah yang berisi makam Imam Syafii. 


15-16 Februari 2019, makam Imam Syafii dibuka untuk umum selama 3 jam, mulai pukul 1 siang hingga 4 sore. Maret 2016 lalu mesjid dan kubah makam Imam Syafii yang berada di sebelahnya dipugar. Mulai saat itu kubah yang berisi beberapa makam, termasuk makam Imam Syafii, tertutup untuk umum. Padahal, makam Imam Syafii adalah salah satu objek wisata islami yang paling banyak diziarahi wisatawan muslim. 


Di dalam kubah ini, bukan hanya bersemayam Imam Syafii. Beberapa tokoh besar Dinasti Ayubiyah juga disemayamkan di dalam sini, di antaranya Sultan Al-Kaamil, Sultan Al-Syami, dan Syamsah, isteri Shalahuddin Al-Ayubi. Makam ulama besar Imam Zakariya al-Anshari juga berada di mesjid ini, tapi tidak masuk dalam kubah Imam Syafii. 

Seperti dilansir dari Almasryalyoum misalnya, mesjid ini sudah beberapa kali dipugar, mulai dari masa Shalahuddin Al-Ayubi hingga sekarang. Namun, renovasi secara total dilakukan pada akhir abad ke-19. Pada saat itu juga, di bawah pemerintah Taufiq Pasha, untuk memperindah mesjid, sebuah menara yang menyerupai menara mesjid era Dinasti Mamluk juga turut dibangun. 

Antrian masuk sudah mengular hingga gerbang masuk mesjid saat aku, Sultan dan Hafidh tiba pukul setengah tiga. Dalam barisan antrian, wajah-wajah Asia Tenggara terlihat cukup dominan. Antrian ini pun berjalan cukup lambat dan semakin lama semakin panjang mengular ke belakang hingga menyentuh gerbang masuk.

Para penziarah yang umumnya didominasi mahasiswa Al-Azhar ini begitu bersemangat berjumpa Imam Syafii, sudah hampir 3 tahun makam beliau tertutup bagi penziarah, dan ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

Apalagi beberapa waktu lalu, dalam masa rekonstruksi, sebuah makam ditemukan dalam kubah yang pertama dibangun pada Dinasti Ayubiyah tersebut. Makam baru ini ditemukan saat pekerja melakukan restorasi mesjid dan kubah Imam Syafii ini pada akhir tahun 2017.

Kami akhirnya bisa masuk setelah satu jam setengah mengantri. Kami berdiri di lorong sempit agak ke dalam kubah Imam Syafii. Dalam kubah itu kami melihat 3 makam persegi, yang paling besar adalah makam Imam Syafii, sedangkan dua makam lagi yang juga berbentuk persegi disebut petugas sebagai makam Sultan al-Kamil dan Sultan asy-Syami. 

Petugas kemudian menunjuk ke lantai. Di situ beberapa besi ditancapkan di lantai berbentuk garis persegi. Rupanya itu tanda makam baru yang ditemukan itu. Aku sedang berdoa ketika petugas menyebut sebuah nama: Ibnu Hakam.

Sayangnya, aku tidak bisa mengabadikan foto ruangan kubah Imam Syafii, petugas itu memarahiku saat aku mengeluarkan hp untuk mengambil gambar.

Kami enggak punya banyak waktu, yang mengantri untuk masuk dan melihat hal ini masih mengantri cukup banyak di belakang. Kami dipersilahkan langsung ke luar, padahal saat itu aku belum selesai berdoa. Aku malah lupa bertanya siapa itu Ibnu Hakam, apakah seorang ulama atau keluarga kerajaan Ayubiyah seperti Sultan Al-Kamil. Atau barangkali aku salah mendengar, bukan Ibnu Hakam tapi Ibnu yang lain.

Menurut Ustad Badriadi, jika yang dimaksud Ibnu Hakam barangkali nama ini merujuk pada Ibnu Abdul Hakam. Beliau murid Imam Syafii yang kemudian bermazhab Maliki. Entahlah, nama ini masih membuatku penasaran. 

Makam Imam Syafii dalam masa pemugaran.
Penelusuranku terhadap penemuan makam baru ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Hanya ada berita lama akhir tahun 2017 yang dimuat albawwabhnews. Saat itu Menteri Arkeologi dan Purbakala Mesir, Khalid al-Anani, hanya menyebut waktu penguburan makam yang diperkirakan sebelum kubah makam Imam Syafii ini didirikan. Barangkali Jumat depan aku harus datang lagi ke sana dan bertanya dengan jelas, itu pun kalau petugas di situ tahu.[]

Sampai Mati?


Sebungkus rokok masih tergeletak di balik tumpukan baju di lemari pakaian milikku. Semula ketika aku membelinya di warung Bang Edi--warung Indonesia yang juga menjual rokok hasil cengkeh petani Nusantara, aku ingin menghisapnya di atap apartemen. Aku ingin menghabiskan sebungkus rokok itu tepat di malam pernikahanmu. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi milik kita. 


Kujelaskan padamu Cinta, semenjak kamu melarangku merokok, aku bersusah payah menahan nafsuku untuk menegak asap beracun itu. Tiga bulan aku berusaha, dan nyaris gagal. Kalau bukan karena dorongan dan rasa cinta yang kumiliki, aku tidak bisa melakukannya.

Setiap kulihat gambar menakutkan tertempel di bungkusan rokok itu, selalu terlukis wajah manis seorang perempuan yang berkata, "Sudahlah Bang, jangan merokok lagi. Enggak baik untuk kesehatan, " atau saat kamu berkata hal yang paling konyol yang pernah kudengar dari seorang gadis sepertimu, "Apa aku merokok juga, Bang? Biar kita sama-sama menjadi pasangan perokok nanti."

Oktober tahun lalu, aku terbaring sakit sebulan di atas kasur. Aku tidak tahu sedang menderita apa, kadang pusing, kadang mual-mual, kadang muntah, penyakit yang enggak pernah kutahu datang dari mana. Aku memeriksakan diri ke dokter, katanya asam lambungku naik. Aku terlalu banyak pikiran. Aku terlalu banyak memikirkan kita. 

Segala penyakit itu ada kaitannya pesan yang kamu kirim, bahwa kamu akan melakukan ijab qabul beberapa hari lagi. Semenjak itulah, otakku kehilangan keseimbangan.

Malam-malam gelap dan kesedihan menghampiriku di atas kasur. Kata kawan-kawan, tubuhku sakit dan mereka mendoakan sebuah kesembuhan. Tidak. Tubuhku tidak sakit, hanya saja perasaanku tercabik-cabik. Orang-orang menganggapku tertawa, jauh di dalam, aku porak-poranda. Namun, aku seperti tidak merasakan apapun. Hanya ada sesuatu yang sangat sakit di bagian dada. 

Tujuh tahun lalu, kamu merampas hati yang bersemayam di tubuhku. Sepotong hati berisi segenap perasaan dan dunia yang kumiliki. Kamu bilang ingin menyimpannya di dalam tubuhmu, di dalam rumahmu. 

Dua tahun setelah itu, tepat sebulan aku ingin berangkat ke sini, aku memberanikan diri ke rumahmu, meminta hatiku kembali. Namun, orang tuamu, dengan berbagai alasan mencampakkanku dengan hina. Aku diceramahi habis-habisan bagai seorang pendosa besar. Tidak banyak yang kuingat,  selain pengangguran tak pantas mendapatkan kepemilikan apapun katanya. 

Bahkan setelah aku berkata bahwa hal yang kuinginkan di dunia ini adalah kamu. Pun aku tahu, kamu menginginkanku. Namun, sebuah takdir di telapak orang tuamu telah menampar dunia yang sudah kita bina dua tahun. Takdir memisahkan kita, memisahkan aku dengan hati yang telah kamu rampas. 

Hari itu, aku seolah telah kehilangan segalanya. Malamnya, aku kembali merokok. Setiap kuhembuskan asap rokok, titahmu terus terngiang di kepalaku: jangan merokok lagi Bang! Malam itu semakin aku mengingatmu, semakin banyak rokok yang kuhabiskan.

Apa salahku? Aku hanya menuntut hakku, hatiku yang kau rampas dikembalikan. Mereka malah membeliku sepotong hati palsu yang entah dibeli dari mana. Hati rapuh yang mungkin saja dibeli dengan harga murah di Pasar Aceh, seribu dapat tiga. Hati yang tak pernah mampu menggantikan hati yang telah kau rampas itu. 

Mulutku menghembuskan asap, sedang mataku terlalu lelah melelehkan air mata. Hingga menjelang Subuh, aku menghabiskan dua bungkus rokok. Aku duduk di pinggir sungai bagai orang kehilangan dunia. Malam itu kuputuskan, aku menerima kenyataan bahwa dunia ini memang bukan ditakdirkan menjadi milik kita.

Hari itu mungkin adalah hari terburuk bagi hubungan kita. Walau begitu, sampai sekarang pun aku tak pernah menyalahkanmu. Aku tahu, bukan hanya aku yang menggila, kamu juga menghabiskan air mata, mungkin hingga air mata kering. Kisah kita terpaksa selesai di tangan orang yang berharga di matamu. Di tangan orang yang kita harapkan mampu menyatukan kita. Tak ada gunanya membangun harapan, jika semesta berkehendak menghancurkannya. 

Setelah kejadian itu, aku memilih terbang ke tempat baru dengan hati yang diamuk kepedihan. Seharusnya kita terbang ke sini berdua, seperti janjiku padamu.

Ada baiknya aku memilih menjauh dari semua kepedihan. Setidaknya aku tidak berada di tempat yang sama dengan hati asliku berada. Setidaknya dengan hati palsu pemberian orang tuamu, seorang pun tak bisa lagi menyakitiku. Oleh karenanya, terkadang aku bersyukur, keluargamu telah menyumbangku hati murahan ini, hati yang tak bisa merasakan apa pun. Termasuk benci, termasuk cinta. 

Hingga akhirnya, Oktober tahun lalu. Aku melihat foto pernikahanmu di sebuah mesjid terkenal di kotamu. Di saat itu, hati imitasi ini terbakar dan hancur bersama tubuhku. Sebulan aku terbaring di sudut kamar yang gelap. 

Hati itu menggrogoti apa saja. Ia naik ke otakku, dari otak ia turun ke lambungku memainkan zat asam di dalamnya hingga aku pun muntah berhari-hari, hingga lemas. Bersama seorang teman, aku ke salah seorang dokter di sini. Katanya aku mengalami gejala asam lambung. Ia menyarankanku agar makan teratur dan istirahat yang cukup. 

Ia yang seorang dokter yang telah mengobati banyak orang pun tak cukup lihai untuk tahu, bahwa yang sakit bukan di lambung, tapi di hati. Bahkan kawan serumah denganku tak paham apa-apa, karena memang tak penting juga bercerita tentang luka yang menyakitkan. 

Dalam sebulan itu aku terus memikirkan kisah cinta sederhana kita. Memikirkan hari-hari indah yang membuat hatiku terbang ke puncak nirwana. Membuatnya meresapi seluruh kebahagiaan selama dua tahun lebih, yang seorang pun tak tahu. 

Jika saja aku pemuda bajingan yang tak terima mantap kekasihnya menikahi pemuda lain, sudah kuunggah foto dan video percintaan kita dahulu. Aku ingat seorang bajingan memposting sebuah foto tanpa busana mantan kekasih, gara-gara ia menikahi gadis lain. Aku juga ingat bajingan lain yang menyebarkan video percintaan mereka di atas ranjang. Sangat menjijikkan. 

Tahukah kamu, saat tahun lalu saat aku pulang, aku duduk di sebuah kedai kopi di pinggiran sungai. Dari meja samping, kudengar sekelompok pemuda sedang menelanjangi seorang perempuan. Kata-kata busuk mereka masih kuingat. 

"Doi katanya udah berhijab. Bla... Bla... Bla..." 

"Berhijab apanya, dia itu wanita murahan. Dia pacaran dengan banyak laki-laki. Sama lakinya itu sempat di bawa ke Sabang, berdua. Ngapain aja mereka coba. Masak main Ludo berdua di Sabang," kata yang lain. 

Aku memang bukan laki-laki baik seperti kata orang tuamu, tapi aku bukan laki-laki bajingan seperti mereka. Bagiku, hanya laki-laki jahannam saja yang menyebarkan aib dirinya dan kekasihnya seperti itu. Bisa jadi kekasihnya sudah bertaubat dari segala hal menjijikkan itu, tapi mereka malah menyebarkannya begitu saja tanpa rasa malu.

Oh ya, aku lupa satu hal. Kamu perempuan baik-baik. Aku terkadang bingung mendefinisikan arti pacaran yang kita lakukan berdua selama dua tahun lebih itu. Kita bukan hanya tak saling menyentuh tangan, bahkan kita tak pernah jalan berboncengan berdua. 

Kita duduk di warung yang sama, tapi kamu malah memilih duduk di meja berbeda. Kita hanya mengobrol dan bercanda via pesan hp. Hal yang cukup konyol kurasa yang pernah dilakukan oleh dua orang yang saling jatuh cinta. Jika mengingat-ingat hal ini, aku kerap tertawa, apa hanya kita pasangan yang berpacaran dengan seabsurd ini?

Aku masih ingat tatkala kita duduk di pelataran Mesjid Raya Baiturrahman. Kamu bersandar di tiang mesjid dengan hijab ungu kesukaanmu yang berkibar ditiup angin. Kita hanya berbicara via pesan di hp. 

Kamu menatap menara mesjid yang menjulang di depan, aku malah memilih menatapmu. Arsitektur mesjid dan menara di depan itu kalah indah dengan arsitektur parasmu. Hari itu kuploklamirkan dengan tempo secepat-cepatnya bahwa warna ungu adalah warna kecintaanku yang tak bisa diganggu gugat. 

Di depan mesjid itu juga, kamu pernah mengujiku dengan pertanyaan aneh.

"Bang, kalau menara itu rubuh dan mau menimpaku, apa yang Kamu lakukan...?" tanyamu saat itu. 

"Bukan apa yang aku lakukan, tapi apa yang kita lakukan bersama, karena menara itu pasti menimpa kita berdua."

"Jadi, apa yang kita lakukan Bang..." 

"Lari adalah satu-satunya solusi. Masak aku harus menahan menara itu. Aku kan bukan Superman. Kacamatanya iya, mirip dikit." Kita pun tertawa bersama. 

Kenangan manis itu buyar saat aku mengingat kembali kejadian di rumahmu dan foto ijab qabul itu. Hatiku kembali diamuk kehancuran. Kupikir aku sudah melupakan segalanya, tapi aku salah.

Potongan hati palsu pemberian orang tuamu sepertinya membawa sial. Sebuah hati yang mati. Aku iri, banyak laki-laki bisa mencintai banyak wanita dalam satu waktu, tapi aku bahkan tak mampu memikirkan wanita lain, selain kamu. 

Awal Januari, bulan lalu kamu mengirim undangan pesta nikah via Facebook. Apa yang harus aku lakukan, selain memberi ucapan selamat berbahagia. Sebuah ucapan yang menyakitkan di dunia penuh sandiwara ini.

Aku memutuskan berhenti membuka Facebook untuk waktu tak terhingga. Pertengahan Januari, menjelang pesta pernikahanmu, aku menghabiskan hari-hari menziarahi berbagai tempat di sini, menghabiskan waktu di pantai berburu kerang, berdoa di berbagai makam ulama, dan tertawa bersama kawan-kawan.

Mereka tak tahu apa-apa tentangku. Mereka hanya melihatku tertawa, tapi di dalam sesuatu telah hancur. Kali ini hati palsu yang diberikan orang tuamu pun telah hancur. Aku hanya orang malang di dunia penuh kisah kehancuran ini. Aku tak bisa merasakan apa pun lagi, tidak benci, apalagi cinta, tidak kepada dunia, tidak kepada siapa pun wanita.

Mungkinkah di dunia ini ada orang yang hanya mencintai seorang seumur hidupnya sampai mati? Entahlah. Aku sudah terlalu lelah. Semoga kamu hidup bahagia dan beranak-pinak dengan banyak. Salam untuk orang tuamu, katakan bahwa aku tak pernah membenci orang yang telah melahirkanmu.

Setelah melewati semua proses menyakitkan ini, aku paham satu hal bahwa hati adalah bagian terpenting makhluk hidup yang tak boleh disia-sialan. Terima kasih atas pengalaman berharga ini. Dari sini aku juga mulai menyadari, semua hati harusnya mencintai satu hal: Allah.[]

Note: hanya kisah fiksi. 


Puisi: Malu


Pada Tuhan,
aku bertanya tentangmu.
Kata Tuhan,
"Terus dekat dengan-Ku,
tanpa modus untuk dekat dengannya."

Pada Tuhan,
Aku bertanya lagi caranya,
Tuhan menjawab,
"Perbaikilah dirimu, baik-baik dengan-Ku, akan kuberikan kebahagiaan untukmu."

Aku masih bertanya,
Tentang siapa yang akan menjadi milikku.
Tuhan berfirman,
"Tidak ada milikmu. Semua kepunyaanKu."
Kali ini aku malu, tak berani bertanya lagi.


Farhan Jihadi.
Cairo. Jumat, 12.10.2018.