Sebungkus rokok masih tergeletak di balik tumpukan baju di lemari pakaian milikku. Semula ketika aku membelinya di warung Bang Edi--warung Indonesia yang juga menjual rokok hasil cengkeh petani Nusantara, aku ingin menghisapnya di atap apartemen. Aku ingin menghabiskan sebungkus rokok itu tepat di malam pernikahanmu. Malam pernikahan yang seharusnya menjadi milik kita.
Kujelaskan padamu Cinta, semenjak kamu melarangku merokok, aku bersusah payah menahan nafsuku untuk menegak asap beracun itu. Tiga bulan aku berusaha, dan nyaris gagal. Kalau bukan karena dorongan dan rasa cinta yang kumiliki, aku tidak bisa melakukannya.
Setiap kulihat gambar menakutkan tertempel di bungkusan rokok itu, selalu terlukis wajah manis seorang perempuan yang berkata, "Sudahlah Bang, jangan merokok lagi. Enggak baik untuk kesehatan, " atau saat kamu berkata hal yang paling konyol yang pernah kudengar dari seorang gadis sepertimu, "Apa aku merokok juga, Bang? Biar kita sama-sama menjadi pasangan perokok nanti."
Oktober tahun lalu, aku terbaring sakit sebulan di atas kasur. Aku tidak tahu sedang menderita apa, kadang pusing, kadang mual-mual, kadang muntah, penyakit yang enggak pernah kutahu datang dari mana. Aku memeriksakan diri ke dokter, katanya asam lambungku naik. Aku terlalu banyak pikiran. Aku terlalu banyak memikirkan kita.
Segala penyakit itu ada kaitannya pesan yang kamu kirim, bahwa kamu akan melakukan ijab qabul beberapa hari lagi. Semenjak itulah, otakku kehilangan keseimbangan.
Malam-malam gelap dan kesedihan menghampiriku di atas kasur. Kata kawan-kawan, tubuhku sakit dan mereka mendoakan sebuah kesembuhan. Tidak. Tubuhku tidak sakit, hanya saja perasaanku tercabik-cabik. Orang-orang menganggapku tertawa, jauh di dalam, aku porak-poranda. Namun, aku seperti tidak merasakan apapun. Hanya ada sesuatu yang sangat sakit di bagian dada.
Tujuh tahun lalu, kamu merampas hati yang bersemayam di tubuhku. Sepotong hati berisi segenap perasaan dan dunia yang kumiliki. Kamu bilang ingin menyimpannya di dalam tubuhmu, di dalam rumahmu.
Dua tahun setelah itu, tepat sebulan aku ingin berangkat ke sini, aku memberanikan diri ke rumahmu, meminta hatiku kembali. Namun, orang tuamu, dengan berbagai alasan mencampakkanku dengan hina. Aku diceramahi habis-habisan bagai seorang pendosa besar. Tidak banyak yang kuingat, selain pengangguran tak pantas mendapatkan kepemilikan apapun katanya.
Bahkan setelah aku berkata bahwa hal yang kuinginkan di dunia ini adalah kamu. Pun aku tahu, kamu menginginkanku. Namun, sebuah takdir di telapak orang tuamu telah menampar dunia yang sudah kita bina dua tahun. Takdir memisahkan kita, memisahkan aku dengan hati yang telah kamu rampas.
Hari itu, aku seolah telah kehilangan segalanya. Malamnya, aku kembali merokok. Setiap kuhembuskan asap rokok, titahmu terus terngiang di kepalaku: jangan merokok lagi Bang! Malam itu semakin aku mengingatmu, semakin banyak rokok yang kuhabiskan.
Apa salahku? Aku hanya menuntut hakku, hatiku yang kau rampas dikembalikan. Mereka malah membeliku sepotong hati palsu yang entah dibeli dari mana. Hati rapuh yang mungkin saja dibeli dengan harga murah di Pasar Aceh, seribu dapat tiga. Hati yang tak pernah mampu menggantikan hati yang telah kau rampas itu.
Mulutku menghembuskan asap, sedang mataku terlalu lelah melelehkan air mata. Hingga menjelang Subuh, aku menghabiskan dua bungkus rokok. Aku duduk di pinggir sungai bagai orang kehilangan dunia. Malam itu kuputuskan, aku menerima kenyataan bahwa dunia ini memang bukan ditakdirkan menjadi milik kita.
Hari itu mungkin adalah hari terburuk bagi hubungan kita. Walau begitu, sampai sekarang pun aku tak pernah menyalahkanmu. Aku tahu, bukan hanya aku yang menggila, kamu juga menghabiskan air mata, mungkin hingga air mata kering. Kisah kita terpaksa selesai di tangan orang yang berharga di matamu. Di tangan orang yang kita harapkan mampu menyatukan kita. Tak ada gunanya membangun harapan, jika semesta berkehendak menghancurkannya.
Setelah kejadian itu, aku memilih terbang ke tempat baru dengan hati yang diamuk kepedihan. Seharusnya kita terbang ke sini berdua, seperti janjiku padamu.
Ada baiknya aku memilih menjauh dari semua kepedihan. Setidaknya aku tidak berada di tempat yang sama dengan hati asliku berada. Setidaknya dengan hati palsu pemberian orang tuamu, seorang pun tak bisa lagi menyakitiku. Oleh karenanya, terkadang aku bersyukur, keluargamu telah menyumbangku hati murahan ini, hati yang tak bisa merasakan apa pun. Termasuk benci, termasuk cinta.
Hingga akhirnya, Oktober tahun lalu. Aku melihat foto pernikahanmu di sebuah mesjid terkenal di kotamu. Di saat itu, hati imitasi ini terbakar dan hancur bersama tubuhku. Sebulan aku terbaring di sudut kamar yang gelap.
Hati itu menggrogoti apa saja. Ia naik ke otakku, dari otak ia turun ke lambungku memainkan zat asam di dalamnya hingga aku pun muntah berhari-hari, hingga lemas. Bersama seorang teman, aku ke salah seorang dokter di sini. Katanya aku mengalami gejala asam lambung. Ia menyarankanku agar makan teratur dan istirahat yang cukup.
Ia yang seorang dokter yang telah mengobati banyak orang pun tak cukup lihai untuk tahu, bahwa yang sakit bukan di lambung, tapi di hati. Bahkan kawan serumah denganku tak paham apa-apa, karena memang tak penting juga bercerita tentang luka yang menyakitkan.
Dalam sebulan itu aku terus memikirkan kisah cinta sederhana kita. Memikirkan hari-hari indah yang membuat hatiku terbang ke puncak nirwana. Membuatnya meresapi seluruh kebahagiaan selama dua tahun lebih, yang seorang pun tak tahu.
Jika saja aku pemuda bajingan yang tak terima mantap kekasihnya menikahi pemuda lain, sudah kuunggah foto dan video percintaan kita dahulu. Aku ingat seorang bajingan memposting sebuah foto tanpa busana mantan kekasih, gara-gara ia menikahi gadis lain. Aku juga ingat bajingan lain yang menyebarkan video percintaan mereka di atas ranjang. Sangat menjijikkan.
Tahukah kamu, saat tahun lalu saat aku pulang, aku duduk di sebuah kedai kopi di pinggiran sungai. Dari meja samping, kudengar sekelompok pemuda sedang menelanjangi seorang perempuan. Kata-kata busuk mereka masih kuingat.
"Doi katanya udah berhijab. Bla... Bla... Bla..."
"Berhijab apanya, dia itu wanita murahan. Dia pacaran dengan banyak laki-laki. Sama lakinya itu sempat di bawa ke Sabang, berdua. Ngapain aja mereka coba. Masak main Ludo berdua di Sabang," kata yang lain.
Aku memang bukan laki-laki baik seperti kata orang tuamu, tapi aku bukan laki-laki bajingan seperti mereka. Bagiku, hanya laki-laki jahannam saja yang menyebarkan aib dirinya dan kekasihnya seperti itu. Bisa jadi kekasihnya sudah bertaubat dari segala hal menjijikkan itu, tapi mereka malah menyebarkannya begitu saja tanpa rasa malu.
Oh ya, aku lupa satu hal. Kamu perempuan baik-baik. Aku terkadang bingung mendefinisikan arti pacaran yang kita lakukan berdua selama dua tahun lebih itu. Kita bukan hanya tak saling menyentuh tangan, bahkan kita tak pernah jalan berboncengan berdua.
Kita duduk di warung yang sama, tapi kamu malah memilih duduk di meja berbeda. Kita hanya mengobrol dan bercanda via pesan hp. Hal yang cukup konyol kurasa yang pernah dilakukan oleh dua orang yang saling jatuh cinta. Jika mengingat-ingat hal ini, aku kerap tertawa, apa hanya kita pasangan yang berpacaran dengan seabsurd ini?
Aku masih ingat tatkala kita duduk di pelataran Mesjid Raya Baiturrahman. Kamu bersandar di tiang mesjid dengan hijab ungu kesukaanmu yang berkibar ditiup angin. Kita hanya berbicara via pesan di hp.
Kamu menatap menara mesjid yang menjulang di depan, aku malah memilih menatapmu. Arsitektur mesjid dan menara di depan itu kalah indah dengan arsitektur parasmu. Hari itu kuploklamirkan dengan tempo secepat-cepatnya bahwa warna ungu adalah warna kecintaanku yang tak bisa diganggu gugat.
Di depan mesjid itu juga, kamu pernah mengujiku dengan pertanyaan aneh.
"Bang, kalau menara itu rubuh dan mau menimpaku, apa yang Kamu lakukan...?" tanyamu saat itu.
"Bukan apa yang aku lakukan, tapi apa yang kita lakukan bersama, karena menara itu pasti menimpa kita berdua."
"Jadi, apa yang kita lakukan Bang..."
"Lari adalah satu-satunya solusi. Masak aku harus menahan menara itu. Aku kan bukan Superman. Kacamatanya iya, mirip dikit." Kita pun tertawa bersama.
Kenangan manis itu buyar saat aku mengingat kembali kejadian di rumahmu dan foto ijab qabul itu. Hatiku kembali diamuk kehancuran. Kupikir aku sudah melupakan segalanya, tapi aku salah.
Potongan hati palsu pemberian orang tuamu sepertinya membawa sial. Sebuah hati yang mati. Aku iri, banyak laki-laki bisa mencintai banyak wanita dalam satu waktu, tapi aku bahkan tak mampu memikirkan wanita lain, selain kamu.
Awal Januari, bulan lalu kamu mengirim undangan pesta nikah via Facebook. Apa yang harus aku lakukan, selain memberi ucapan selamat berbahagia. Sebuah ucapan yang menyakitkan di dunia penuh sandiwara ini.
Aku memutuskan berhenti membuka Facebook untuk waktu tak terhingga. Pertengahan Januari, menjelang pesta pernikahanmu, aku menghabiskan hari-hari menziarahi berbagai tempat di sini, menghabiskan waktu di pantai berburu kerang, berdoa di berbagai makam ulama, dan tertawa bersama kawan-kawan.
Mereka tak tahu apa-apa tentangku. Mereka hanya melihatku tertawa, tapi di dalam sesuatu telah hancur. Kali ini hati palsu yang diberikan orang tuamu pun telah hancur. Aku hanya orang malang di dunia penuh kisah kehancuran ini. Aku tak bisa merasakan apa pun lagi, tidak benci, apalagi cinta, tidak kepada dunia, tidak kepada siapa pun wanita.
Mungkinkah di dunia ini ada orang yang hanya mencintai seorang seumur hidupnya sampai mati? Entahlah. Aku sudah terlalu lelah. Semoga kamu hidup bahagia dan beranak-pinak dengan banyak. Salam untuk orang tuamu, katakan bahwa aku tak pernah membenci orang yang telah melahirkanmu.
Setelah melewati semua proses menyakitkan ini, aku paham satu hal bahwa hati adalah bagian terpenting makhluk hidup yang tak boleh disia-sialan. Terima kasih atas pengalaman berharga ini. Dari sini aku juga mulai menyadari, semua hati harusnya mencintai satu hal: Allah.[]
Note: hanya kisah fiksi.
EmoticonEmoticon