(Image: merdeka.com) |
Orang-orang yang duduk di sana menatapku tajam, dengan biji mata menjengkelkan. Sorot mata penuh benci. Aku hanyalah wanita biasa yang terjebak dalam fatamorgana dunia. Orang-orang barangkali melihatku dengan pandangan najis dan hina, hanya karena batang rokok yang menghiasi bibirku. Seperti saat ini.
Aku hanyalah wanita dalam luka dan laku yang tak pernah kau tahu. Kau mungkin juga akan memandangku rendahan seperti laki-laki atau wanita sok alim di seberang yang sedang berbisik-bisik sambil memandang sinis ke arahku. Tak apa. Biarkanlah! Dunia ini memang tak pernah asyik jika tak mengomentari orang lain. Barangkali mereka menganggap orang lain sebagai objek yang penuh cacat, hingga layak untuk dikata-katai.
Tak semua rahasia hidupku perlu kuungkapkan padamu. Tak perlu! Aku juga tak perlu belas kasihmu itu. Kasihanilah dirimu sendiri yang selalu asyik dengan dunia orang lain, sehingga lupa dengan dunia sendiri. Biarlah aku dengan duniaku dan Kamu dengan duniamu itu.
Sedikit kuceritakan. Saat ini, di depanku, seorang laki-laki sedang menasihatiku. Bukan tatapan penuh benci seperti orang-orang itu. Ia menatapku dengan lembut. Ada keteduhan dalam sorot matanya.
"Dara, Kamu enggak bisa begini terus. Sejak kejadian itu, Kamu terus berubah. Menyiksa diri dengan cara tidak benar."
"Dara, dia sudah lama meninggal. Mengapa Kamu tidak membuka hati untuk laki-laki lain yang mungkin lebih baik darinya." Dari tadi, ia terus mengoceh saja. Sedang aku masih nikmat mengalirkan asap penuh nikotin ke paru-paru. Untuk sementara, hanya laki-laki di depanku inilah yang mengerti lukaku. Namun, aku terkejut, baru kali ini ia berbicara tentang menikah lagi. Aku tertawa.
"Mana ada yang mau dengan wanita kotor perokok sepertiku."
"Siapa bilang Kamu wanita kotor. Aku ini sahabatmu. Kita sudah berteman sejak SD. Kita bertetangga hingga sekarang. Aku jelas lebih tahu tentangmu. Kamu tidak pernah sekalipun melakukan hal-hal yang haram, selain merokok ini misalnya, atau mungkin jalan denganku. Tak pernah kulihat Kamu berjalan dengan laki lain selain almarhum suamimu itu.”
“Cukup, aku ini bukan wanita baik-baik yang diidamkan laki-laki dan mertua.”
“Kata ibumu, Kamu tak pernah meninggalkan shalat. Bahkan terkadang menangis sendiri dalam doa. Kamu masih setia dengan balutan jelbab merah jambu ini. Dan Kamu selalu saja manis saat memakainya.”
Benar kata Arif, aku tak pernah meninggalkan shalat. Benar juga kata Arif, aku seringkali menangis dalam doa. Meskipun begitu, aku tidak tahu, entah mengapa sepertinya imanku terlalu kecil. Di satu sisi, aku menggantungkan hidupku pada Allah. Di sisi lain, aku melampiaskan segala perasaanku pada rokok, sesuatu yang dibenci Allah.
Gara-gara rokok ini juga aku dihina banyak orang. Entah mengapa mereka suka sekali berkomentar, “Pakek hijab kok merokok, copot aja jilbabnya.” Sedih sekali rasaya. Mereka bukannya menasehatiku baik-baik, malah menyuruhku mendurhakai Allah. Seperti kataku tadi, sudahlah! Mereka tak paham derita yang kualami. Biarlah hanya ibu, Arif dan orang-orang terdekatku saja yang tahu.
“Jangan ngawur jadi cowok, tunjukkan satu laki-laki yang bisa mencintai wanita perokok dan mau menjadikannya istri?” Aku tertawa, kata-kata penghiburnya kali ini kurang laku.
“Matamu saja yang telah buta. Masa lalu yang pahit itu telah membutakan matamu sehingga tidak bisa lagi melihat laki-laki yang sangat mencintaimu ada di depanmu yang amat mencintaimu dari dulu.”
Sudah lama sejak ditinggal mati calon suamiku dalam sebuah kecelakaan, aku hidup dalam dunia yang tak kukenali lagi. Hanya rokok dan Arif yang biasa menemani hari-hariku dan membuat pikiranku sedikit tenang.
“Jangan ngawur, Ris.”
Aku terdiam, lalu tersenyum sinis. Aku yakin dia sedang bercanda, namun hatiku tetap saja berguncang dengan kata-kata dan sorot matanya yang serius itu. Sudah lama sekali aku berteman dengannya, baru hari ini aku melihatnya berbicara seserius ini.
“Kamu tahu, aku tak pernah berbohong.”
Aku masih terdiam. Kata-katanya menghujam tajam di palung terdalam hatiku. Suara Arif seolah-olah sedang mengangkat duka berkarat yang terjebak di dalam palung itu. Entah mengapa, sore ini ia terlalu serius. Sebenarnya aku kurang menyukai orang-orang terlalu kaku dan serius. Ini bukan seperti Arif yang kukenal.
“Bagiku, tak mengapa jika Kamu terus merokok seperti itu, aku tetap akan mencintaimu. Kamu tahu aku tak bisa merokok. Tapi, hari ini juga aku akan mulai merokok, menghisap rokok yang sama denganmu.”
“Jika Kamu mau, aku ingin membina rumah tangga dengan gadis perokok sepertimu,” katanya lagi sambil menyodorkan sebuah kotak mini merah jambu berbentuk hati di atas meja, tepat di depanku. Arif lalu mengambil sebatang rokok milikku dan menyalakannya. Ia langsung batuk ditarikan pertama.
Aku tertawa, tapi tak kusangka, air mataku jatuh saat itu. Menetes di atas kotak rokok yang isinya masih tersisa setengah itu. Air mata ini juga jatuh menyiram seluruh duka di hatiku. Aku menyapu air mata ini dengan ujung jilbabku. Aku terdiam sejenak.
“Sudahlah Rif, jangan dipaksakan. Jika hari ini Kau memutuskan untuk merokok, maka aku akan berhenti merokok mulai hari ini. Aku juga tidak ingin bibir yang akan kupakai mengecupmu dan anak-anak kita nanti berbau nikotin seperti ini. Aku tak ingin keluarga kita nanti menjadi keluarga tembakau, keluarga perokok.”
“Apa itu artinya Kamu menerimaku, Dara?” Aku tersenyum dan mengangguk. Sedang air mata ini terus jatuh.
“Kok enggak Kau buka kotak ini, Rif?” Aku heran, biasanya laki-laki yang membuka kotak berbentuk love yang biasanya berisi cincin di dalamnya ini. Lalu agar terkesan romantis, cincin itu dipasangkan ke calon istrinya nanti.
“Bukalah… Aku bukan tipe laki-laki romantis seperti Dilan atau Rangga.” Ia tertawa.
Aku kemudian mengambil kotak mini berbentuk hati di atas meja dan membukanya. Kotaknya kosong, tak ada isinya walau hanya cincin. Apa itu artinya ia tidak akan memasangkan cincin itu? Atau jangan-jangan ia menyembunyikannya di saku celananya?
"Kok enggak ada isinya Ris...?"
“Isinya ada sama orang tua aku, nanti biar mereka aja yang ke rumahmu. Jumpa sesama orang tua. Tunangan dulu nanti atau langsung nikah. Biar resmi dan syar'i katanya. Kamu juga kan pasti enggak mau tanggamu kupegang. Bukan mahram.” Arif tertawa. Aku juga terbawa suasana dan ikut tertawa. Sia-sia saja rasanya air mata yang terlanjur tumpah ini.
“Aku maunya sih kita langsung nikah aja,” kataku.
“Dara, Kamu tahu enggak. Kenapa saat tunangan biasanya ada cincinnya?”
“Biar ikatannya agak resmi. Itu semacam simbol ikatannya sudah sedikit kuat, walaupun belum resmi nikah.”
“Benar, namun di balik semua itu. Cincin kan bentuknya lingkaran, artinya ini ikatan yang enggak ada ujungnya. Ikatan yang abadi saat dua manusia setuju untuk mengikat kontrak hidup bersama hingga akhir. Nah, makanya dalam Islam sangat dilarang mengganggu tunangan orang lain, apalagi merebutnya kayak di film AADC 2. Rangga di situ benar-benar keterlaluan. Makanya aku sangat benci melihat peran Rangga seperti itu.”
“Hahahaa… Iya juga”
“Kamu tahu enggak, Dara. Cinta itu seperti nikotin. Kita dibuatnya ketagihan. Sama seperti saat ini. Setelah hari ini mungkin aku akan kecanduan untuk terus mencintaimu.”
Angin sore ini menyapu wajahku yang mungkin terlihat malu-malu di hadapan Arif. Baru kali ini rasanya ia membuatku malu dan bahagia sekaligus seperti ini. Sore ini, Arif telah menyadarkanku bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu. Bagaimana memulai hidup baru, tentu bukan dengan melampiaskannya ke hal negatif sepertiku yang menghisap rokok. Rokok tak mampu membuatmu lebih baik, malah lebih buruk.[]
EmoticonEmoticon