Di puncak Sinai (Foto: Nurul Hadi) |
Beberapa hari yang lalu, aku mengikuti rihlah rohani bersama Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir ke Gunung Sinai, tempatnya Nabi Musa As menerima wahyu dari Allah Swt. Kami juga menyempatkan diri berziarah ke makam Nabi Harun As dan Nabi Saleh As.
Sebuah perjalanan selayaknya memang harus berorientasi niat lillahi ta'ala, mensyukuri, men-tadabburi penciptaan alam, menelusuri nilai historis yang bisa "mengakrabkan" diri kepada Allah.
Di samping itu, sebuah perjalanan juga menjadi ajang mengakrabkan diri dengan sesama dan mengeratkan rasa persaudaran. Bahkan kerap kali, sebuah perjalanan mampu melengketkan hubungan bilateral antara dua orang yang saling mencintai. Nah, yang terakhir ini, jika kita berada di posisi sebagai saksi cinta mereka, tentu sangat menyakitkan.
Nahasnya, ketika berada di puncak dan saat menuruni Gunung Sinai, aku sempat berada di posisi ini. "Dan rasanya tahu enggak gimana...?" Sakit banget, bagai diiris-iris sembilu, lalu disiram kuah asam pedas (ini sih malah enak jadinya).
Di puncak Sinai, awalnya aku memang asyik sendiri, hanyut dalam sunrise yang indah. Menikmati sinar mentari menyapu wajah. Aku bahkan tidak menggubris ajakan berfoto bersama bareng KMA di sudut lain.
Keasyikan sendiri ini ternyata sekejap saja. Hanya sesaat. Kemudian pandanganku tertuju pada beberapa pasangan bulek cantik—yang entah dari mana—berfoto layaknya pengantin baru. Saling merangkul, dan sebagian lagi kulihat saling merekatkan pipi dengan manja. Pikiranku terbang tinggi ke atas, lalu jatuh menghantam bumi, pedih. Sunrise yang indah itu tiba-tiba jadi basi, aku menelan ludah. Pahit ternyata.
Aku akhirnya memilih menghibur diri, mencoba menjauh dari bulek-bulek tak berperasaan ini. Aku berjumpa ketua panitia rihlah Zulfahmi, aku ingin mengajaknya berfoto bersama sekali lagi bareng rombongan KMA.
"Maaf Bang, kami baru saja berfoto bareng. Anak-anak sebagian sudah turun. Kalau ingin berfoto lagi silahkan. Ini spanduk rihlah kita."
"Ya udah enggak apa-apa," ujarku sambil berlalu.
Masak aku harus berfoto sendiri pakek spanduk 2 meter. Bisa-bisa bulek-bulek sok romantis tadi meledekku. "Coba lihat, sial banget pemuda itu. Sudah sendiri disuruh endorse spanduk lagi. Pasti berat banget hidup dia." Aku tentu tidak mau menjadi bahan tertawaan dan lelucon gara-gara spanduk ini.
Aku khawatir saja, seandainya aku berfoto sendiri dengan spanduk yang bertulis Bahasa Indonesia "Rihlah Keluarga Mahasiswa Aceh" bisa-bisa diartikan absurd sama bulek-bulek sok romantis itu dengan misalnya "I am single, I am very happy." Kan ini keterlaluan banget ya. Aku tidak mau dituduh sedang menghibur diri dengan ungkapan norak sepeti itu. Jika ingin memilih ungkapan, aku akan memilih ungkapan yang lebih bergengsi seperti, "I am single, I am sick." Sakit jiwa.
Dari rombongan KMA Tour the Sinai, aku termasuk orang yang turun terakhir dari puncak. Awalnya, aku turun bareng Keluarga Malaysia. Ternyata hal sial belum lepas dariku, di depanku ternyata ada pasangan muda yang juga sedang turun. Ini pasti pasangan muda yang tak jauh berbeda dari bulek-bulek tadi. Aku ingin segera melewati mereka, tapi jalurnya terlalu sempit. Aku harus bersabar dan mencari-cari celah. Perasaanku benar-benar enggak enak.
"Abang, pelan-pelan... Abang hati-hati... Abang, tangganya licin," pesan perempuannya dengan suara dibuat lembut dan manja. Mereka berpegangan tangan. Terkadang berfoto selfie. Aku kayak orang begok di situ. "Ya Allah, semoga mereka tergelincir, semoga mereka jatuh." Buru-buru aku harus beristigfar bekali-kali setelah sempat terlintas doa terkutuk ini. Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya. "Sabar Farhan, sabar..."
"Ustad, boleh minta foto tak?" Pemuda Melayu itu mengiba padaku.
"Boleh Ustad..." Aku terpaksa mengambil foto romantis mereka, dengan menutup mata.
"Sudah Ustad," kataku sambil mengembalikan hp-nya. Mereka melihat hasilnya.
"Kepalanya tak ade Ustad, boleh tak minta foto sekali lagi?" Aku mengangguk. Setelah mengambil foto mereka, aku bergegas turun, menyusul rombongan terakhir Keluarga Mahasiswa Aceh. Aku mencoba menjauh sejauh-jauhnya dari Melayu tak peka itu. Aku belum tahan banting. Hati dan perasaanku belum kuat.
Belajar dari sini, ternyata sebuah perjalanan juga bisa menghasilkan sebuah perasaan yang terlalu sulit dilupakan. Dan sialannya perasaan yang sulit kulupakat itu ya seperti ini. Hari itu, saat tiba di kaki Gunung Sinai, Pidi Baiq seakan-akan berteriak padaku, "Kan sudah kubilang, jomblo itu berat, Kamu enggak sanggup!"[]
Baca juga: Hikayat Yakhrib Beit
EmoticonEmoticon