Gambar: Google |
Apa aku bahagia? Apakah aku sedih? Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, aku mencintainya. Setengah abad lebih telah kuhabisan waktu bersama dirinya atau setidaknya dulu aku pernah terlalu mencintainya. Namun, kini ada sejenis keraguan mulai menyelinap ke hatiku melalui rongga-rongga kepingan kenangan. Dulu, jika ada yang bertanya apa aku mencintainya? Spontan lidahku menjawab cepat tanpa spasi, aku memang jatuh hati padanya.
"Apa Kamu mencintainya?" Aku bingung menjawab hal seperti ini, aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Pikiran dan hatiku masih belum satu pendapat. Benarlah kata mereka, cinta bisa membuat orang cerdas menjadi bodoh, membuat orang bodoh menjadi gila. Membuat orang gila bagai makhluk tak bernyawa.
Aku seperti berjodoh sejak kecil dengan dirinya. Masih terekam dalam memori ingatanku, saat pertama mengenalnya. Hatiku menjerit, awalnya memang aku tidak begitu suka dengannya. Saat pertama mengenalnya pikiranku masih jernih, seolah bisa membaca tanda-tanda batiniyah. Ada bagian kecil hatiku berbisik bahwa dibalik wajah cantiknya ia menyimpan kebusukan.
Ia selalu punya cara agar aku tetap jatuh hati padanya. Ia memang cantik, punya daya tarik. Siapapun yang melihat pasti terpana, hanya orang tertentu yang bisa menjaga diri untuk tidak terpikat dengannya. Semula aku mengira akan bertahan dalam godaannya. Dugaanku salah, aku terjerembab dalam lautan asmara cinta dengannya.
"Meskipun cantik, Kamu harus hati-hati dengannya. Jangan terlalu mencintainya. Jangan sampai Kamu terbuai hingga mabuk kepayang mencintainya hingga melupakan segalanya, Nak," begitulah kata ibu saat melihatku mulai dekat dengannya. Saat itu aku belumlah benar-benar jatuh cinta padanya. Ibu hanya khawatir aku terjerumus kedalam cinta yang membutakan, hingga terpelosok ke dalam hal tidak baik.
Dasar, entah bagaimana firasat seorang ibu itu selalu saja benar. Tak lama setelah itu, aku benar-benar terlena, tergoda. Aku mabuk kepayang dengan cintanya, setiap waktuku kehabisan bersamanya. Kecantikan dan rayuannya membuatku tak berdaya. Ia bukan hanya cantik, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya begitu indah. Ia punya daya pikat multi dimensi, bukan hanya akal, nuraniku juga terkadang hilang saat bersamanya.
Namanya Nia, paras cantik melekat di wajahnya. Tutur katanya lembut, menghanyutkan setiap telinga. Jika ia berjalan, semua panca indera seolah menjadi satu, terpaku pada kecantikannya. Harus kuakui, hampir tidak ada yang tidak mencintainya. Hari ini aku telah memploklamirkan diri bahwa aku termasuk salah seorang diantara mereka.
Aku mencintai Nia. Nia pandai memberi warna dan rasa dalam hidupku. Bagaikan pelangi, ia cerdas memberi warna di setiap lukisan hidupku. Ia sumber tenaga, juga sumber nyawa buatku. Aku benar-benar gila karenanya.
Nia terkadang tidak hadir saat kubutuhkan, sering kali ia mengecewakanku. Namun, hal itu tidak menjadi sebab pudarnya cintaku pada Nia. Kekurangan dan kecacatannya tidak mampu menurunkan derajat cinta pada dirinya. Setiap petak-petak kehidupan telah kulewati bersamanya dan tidak sedikitpun cintaku berkurang kepadanya.
Nia suka berbohong, aku mencintainya segala kebohongannya. Ia suka menipu, aku menyukai segala tipu dayanya. Bahkan, Nia juga mengajariku caranya berdusta, aku mengikuti caranya, sifatnya. Nia telah menjadi bagian penting hidupku. Hidupku penuh kebohongan, kedustaan dan tipu daya. Satu hal yang tidak bisa kudustai, aku mencintai Nia.
Hari-hari berjalan, bulan-bulan berlalu. Pun tahun silah silih berganti. Nia semakin cantik, parasnya semakin cerah, semakin menggoda. Aku dan Nia tak bisa dipisahkan, kami menyatu. Cinta Nia memabukkan, mencintai gadis itu seperti candu. Ia membuatku ketagihan untuk terus mencintainya. Ia membuatku melalaikan orang tua, ia bahkan membuatku melupakan agamaku.
Kini, di saat tubuhku ringkih, tua. Ia masih mencoba menggodaku. Pesonanya masih bersinar, ia bahkan membuatku lupa segalanya. Yang paling aku sesalkan, ia mencoba menjauhkanku dengan Tuhan. Nia sangat pencemburu, segala cara ia lakukan termasuk menjauhkanku dengan Penciptaku. Ia selalu punya cara dan biasanya selalu berhasil, terlebih untuk orang seperti diriku.
Apa aku masih mencintainya? Aku ragu. Apa aku menyesal? Entahlah. Aku tidak punya jawaban yang tepat. Tapi, yang pasti saat ini aku sedih. Kulirik wajah Nia, ia masih mempesona seperti dulu. Aku hampir mati, dan Nia masih memabukkan hati.
Hari ini, hari terakhirku. Ribuan kilometer waktu telah kujelajahi bersama Nia. Aku terbaring, Nia disisiku. Ia masih berusaha menggodaku, pesonanya masih belum luntur. Hanya saja tubuhku sudah tua, tidak lagi bisa lagi menikmati kecantikan Nia.
Aku akan pulang dan mungkin Nia akan pergi memadu cinta dengan orang lain. Ia akan hidup bersama orang lain, merajut kisah cinta bersama mereka. Merayu dan menggoda hingga mereka seperti diriku, melalaikan agama hingga melupakan Tuhan.
***
Sekarang aku berdiri di depan malaikat, aku ingin berjumpa dengan Tuhan, Penciptaku. Malaikat mencegah. "Kau tidak pantas menemui Tuhan. Tuhan yang maha indah belum berhak untuk Kau jumpai. Kau lebih mencintai Dunia, kekasihmu. Bukankah tuhanmu itu Dunia?" kata-kata Malaikat menghujam tubuh lemahku.
"Dunia? Tidak, aku tidak mengenalnya. Aku hanya mengenal Nia, bukan Dunia." Aku tertawa, benarkah aku tidak pantas menemui Tuhanku? Butir-butir kristal kini mengalir manganak-sungai di wajahku. Nia, sekarang kau sedang menggoda manusia mana lagi?
---
Note:
Cerita mini ini pernah diikutsertakan pada lomba Sayembara Cerita Mini Yaman 2016 se-Timur Tengah dan Afrika dengan judul yang sama. Dan alhamdulillah terpilih sebagai salah satu dari 50 naskah terbaik (urutan ke-15).
EmoticonEmoticon