Kisah Nyata: Para Penipu di Mesjid Suci

Gambar: Dokumentasi pribadi


"ASSALAMU'ALAIKUM...Do you speak English...?" Kata seorang pria di perlintasan bukit Shafa. Pertanyaan ini membuatku tersenyum. Selanjutnya aku sudah tahu apa yang akan dia sampaikan panjang lebar. Ini pertemuanku dengan manusia model ini untuk yang kelima kalinya, jadi aku hafal betul apa yang dia ucapkan. Biasanya, selanjutnya ia pasti akan menjelaskan bahwa dirinya berasal dari Pakistan atau India.

"I am from Pakistan." Tepat seperti dugaanku.

Beberapa menit sebelumnya dalam perjalanan melengkapi rukun umrah, aku sempat berdoa agar dipertemukan lagi dengan orang "Do you speak English" model ini. Aku yakin, jumlah mereka banyak dan kemungkinan masih satu komplotan.

Ini putaran Sa'iku yang keenam. Satu putaran lagi lari-lari kecil dari bukit Shafa-Marwah akan membuatku menyelesaikan salah satu rukun umrah sebelum tahallul. Di bukit Shafa inilah ia menghampiri jamaah umrah, seperti ia mendekatiku setelah selesai membaca doa. Dalam beberapa hari ini aku memang rutin melaksanakan umrah, namun bukan untuk diriku sendiri. Aku melakukan badal umrah untuk keluargaku yang sudah meninggal dunia.

Pria ini mengulurkan tangan kanannya, tangan kananku menyambut. Kami berjabat tangan lumayan lama, aku sengaja tidak memberi kesempatan ia melepas tanganku. Aku mencoba menggenggam tangannya seperti lazimnya dalam prosesi aqad nikah. Erat. Mataku menatap tajam matanya. Kali ini aku sudah bersumpah tidak memberi lagi kesempatan.

"Do you speak English...?" 

"Yes, Iam speaking English. But just little, not good" Aku menjawab dengan Bahasa Inggris yang terbata-bata. Aku tidak peduli salah benar, yang penting ia mengangguk tanda paham.

Ia menatapku dengan mata penuh pengharapan dan wajah dibuat-buat hingga terlihat menyedihkan, lalu menjelaskan bahwa ia kehilangan koper dan semua barang berharganya di bandara, katanya ia juga sudah lapor polisi namun belum mendapatkan semua barangnya itu. Katanya ia tidak punya uang sama sekali, "Everything Lost" Begitu ungkapnya dengan nada memelas. Dan sekarang ia perlu uang untuk makan, ia bersama anak dan istrinya tidak punya satu apapun. Ia juga ingin berangkat ke Madinah secepat mungkin. Ia memohon agar aku memberikan sedikit uang untuknya.

Ia berkata demikian dengan sangat lancar seolah-olah sedang menghafal teks proklamasi kemerdekaan. Perkataannya mengalir tanpa spasi, sangat lancar. Entah berapa kali ia sudah mempraktekkannya di depan orang lain.

Sesudah ia menjelaskan semuanya, aku tersenyum. Hampir saja aku tertawa.

"Do you remember me...?" Wajahnya tampak kebingungan saat aku bertanya apakah ia masih mengenalku. Tidak, ia tidak mengenaliku, mungkin terlalu banyak orang nampaknya yang telah ia tipu. Dengan Bahasa Inggris minim dan pas-pasan yang terkadang bercampur Bahasa Arab aku menjelaskan padanya, bahwa kami pernah bertemu beberapa hari yang lalu. Ia benar-benar tidak ingat.

Lalu lintas orang di bukit shafa lantai satu sesak, orang-orang tak memperhatikan kami. Mereka khusu' dengan ritual ibadah umrah sendiri. Aku ingin segera menyelesaikan ini, bergabung bersama mereka, menyudahi Sa'iku. Tanganku yang kecil masih menggenggam tangannya yang lumayan besar.

"This is Mesjidil Haram, don't make Haram here. You lying me. You are lier" Tak ada lagi basa-basi, ini sudah kelima kali aku berjumpa orang seperti ini di sini. Ia makin kebingungan saat kujelaskan bahwa kami pernah bertemu dan ini kali ke lima, sebelumnya aku hanya berkata "I am so sorry, i have no money". Hari ini aku sudah bertekat menegurnya, dan ini kesempatan yang bagus. Ia sudah menipu di tempat paling suci umat muslim sedunia, Mesjidil Haram. Berkali-kali. Tak bisa lagi dibiarkan begitu saja.

Ia terkejut saat aku menjelaskan bahwa sudah bertemu empat orang kawannya yang melakukan hal serupa. Genggaman tangannya seperti kehilangan kekuatan. Wajahnya mulai keheranan.

"If I look up you again here make like this. I break you and i will call police" Aku mengancam akan melaporkannya ke polisi jika melihat ia melakukan hal itu lagi disini. Sebelum berpisah dengannya aku memastikan sekali lagi negara asalnya. Aku sedikit ragu pria berasal dari Pakistan, negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar dunia setelah Indonesia.

"Are you really from Pakistan...?

"Yes" Ia mengangguk.

"If you from Pakistan, don't make your country not good because of you" Dua kali aku mengulang kalimat ini. Ia terdiam tidak berkata apa-apa lagi, hanya kepalanya yang sedikit memberi isyarat mengangguk. Aku mencengkram kuat tangannya, lalu berlalu pergi melanjutkan rukun Umrahku.

Namanya Arvit, aku akan ingat nama ini walaupun yakin Arvit bukan nama asli pemuda yang mengaku dari Pakistan ini. Terlalu banyak bangsa Pakistan dan India disini, jumlah mereka mendominasi. Beberapa papan pengumuman di Mesjidil Haram dan Mesjid Nabawi bahkan dilengkapi dengan bahasa Urdu, bahasa mayoritas yang digunakan di Pakistan dan India. Umumnya mereka bersifat seperti layaknya orang Indonesia, baik, ramah dan lemah lembut. Namun, tetap saja manusia jenis "Do you speak English" dan komplotannya ini sebagai pengecualiannya.

Komplotan "Do you speak English" ini nampaknya lebih suka membodohi orang dari daratan Asia khususnya berwajah Melayu yang menjadi korban. Terlalu baik, ramah, dan peka terhadap kesulitan orang lain membuat orang-orang dari Melayu seperti Indonesia dan Malaysia nampaknya lebih mudah dikibuli.

Jika kamu ke tanah suci baik Mekkah atau Madinah, berhati-hatilah terhadap orang-orang seperti ini. Jumlah mereka saya yakin lebih satu atau dua kelompok. Bayangkan saja, dari ratusan ribu jamaah yang berumrah tiap hari, khusus saya pribadi saja bisa bertemu mereka sebanyak lima kali. Dan saran jika bertemu mereka, ajaklah atau tariklah tangan mereka ke petugas keamanan yang berjaga di sekitar tanah suci, saya yakin mereka akan takut.
Siapapun dan dimanapun berhati-hatilah. Berada di tempat paling suci di dunia tidak lantas membuat orang menjadi baik. Banyak sekali diluar sana orang-orang yang memanfaatkan kebaikan hati kita dengan cara tidak benar. Dan lazimnya di setiap tempat selalu saja ada manusia yang tidak baik. Dan jika kita merasa diri sebagai bangsa Indonesia atau Aceh khususnya, jika melakukan sesuatu hendaklah jangan sampai mencemari tanah air dengan sikap kita yang kurang pantas. Karena betapapun itu, harga diri bangsa kita lebih berharga dari harga diri kita sendiri.

***
Note:
Pernah saya muat sebelumnya di facebook saya sendiri beberapa hari yang lalu. Setelah saya posting ulang di blog ini, saya bertemu lagi dengan mereka sebanyak dua kali, artinya saya bertemu mereka sebanyak tujuh kali. Entah mengapa mereka suka menghampiri saya, apa karena wajah saya terlalu polos dan nampaknya gampang dikibuli? Entahlah.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

Write comments