Image: google |
Walau tidak terlalu padat, Metro (kereta api listrik Mesir) yang kutumpangi tak lagi menyisakan bangku kosong. Sebuah sudut di salah satu gerbong kujadikan tempat bersandar, cukup meringankan tubuh daripada harus berdiri tanpa sandaran. Kampus tempat tujuanku masih jauh, harus melewati belasan terminal pemberhentian, menyisakan beberapa kilometer lagi.
Di depanku, di atas salah satu bangku. Duduk seorang nenek tua, tua sekali. Tampak dari keriput di wajahnya. Kedua tangannya memegang tablet berukuran 7 inci, mata beserta wajahnya seakan tertelan ke dalam benda canggih tersebut. Nenek ini terus menjadi fokus perhatianku.
"Yang benar saja nenek itu, canggih benar bawa-bawa tablet. Jika saka yang dibawanya tablet obat anti kepikunan, saya bisa memakluminya. Ini tablet, makhluk canggih multidimensi" ujarku dengan rahang terbuka nyaris hingga ke lantai gerbong.
Mulutnya terus-terusan bergerak tak beraturan, aku hanya mengira mulutnya itu bergerak karena laju getaran kereta api yang aku tumpangi ini. Relnya mungkin tidak rata atau gerbongnya yang sudah lumayan tua seumuran dan seangkatan dengan nenek ini. Tampaknya nenek ini lebih tua, Metro bergoyang sedikit, mulut si nenek juga makin bergetar.
"Kasihan banget nenek itu, seharusnya daripada membeli tablet, lebih baik ia beli obat anti getaran mulut" begitulah batinku.
Metro berhenti di terminal berikutnya. Mataku masih memusatkan perhatian pada nenek tua itu. Metro berhenti bergerak sebentar di terminal,namun mulutnya masih bergetar seperti tadi. Tak ada yang berubah. Mulut nenek ini masih saja bergetar. Metro kembali berjalan, kini rasa penasaranku makin tak terbendung. Perlahan, aku mulai mendekati nenek tua ini yang jaraknya cuma 2 meter lebih dari tempatku berdiri. Sebisa mungkin aku mencoba melirik layar tabletnya. Kini, aku menatap layar tabletnya dengan jelas.
"Allahu Akbar, ia sedang membaca Al-Qur'an"
Sontak aku terkejut, wajahku tak kutahu lagi bentuk ekspresinya. Kacamata yang kupakai hampir saja jatuh. Hatiku benar-benar malu saat itu juga. Sangat. Pelan-pelan dengan penuh perasaan malu aku kembali ke posisi semula. Di sudut, di salah satu pojok. Dengan perasaan berbeda. Malu, sendiri dan konyol.
Aku makin serius memperhatikannya. Kali ini aku kagum. Terharu.
Dari jauh seorang wanita bercadar sedang menjajakan tisu (Sebagian besar penjaja tisu di Mesir identik dengan peminta-minta, mayoritas rakyat Mesir hanya memberi uang tanpa mengambil tisu mereka).
"Ada yang perlu tisu...Ada yang perlu tisu...? Begitulah teriak wanita bercadar itu yang sesekali diiringi kalimat "Shallu 'alan nabi, shallu 'alan nabi", ujarnya mengingatkan penumpang untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Kini, mataku kembali tertuju ke nenek tua tadi, kulihat ia sedang sibuk melihat-lihat tasnya. Dari gerakannya, aku yakin ia sedang mencari recehan pound untuk diberikan kepada wanita bercadar itu.
Metro kembali berhenti, pintu gerbong terbuka. Wanita bercadar itu langsung keluar, nenek tua itu memanggilnya. Tangan nenek itu menggenggam sesuatu. Bukan recehan, tapi uang kertas. Nominal tentu lebih besar. Wanita bercadar itu langsung berlalu, ia tidak melihat ataupun mendengar suara kecil nenek tua itu.
Aku ingin membantu memangginya, tapi sayang. Metro kini sudah dipenuhi penumpang. Posisiku saja kini terjepit. Kini agak sulit menatap nenek itu, postur tubuhnya sedang duduk dengan mulut yang kini mulai bergetar lagi cuma bisa kulirik dari celah-celah ketiak penumpang lain. Tubuhku terlalu kecil dibandingkan tubuh bangsa Arab ini. Ditambah lagi, rasanya ketiak mereka juga belum mengenal Rexona. Aku benar-benar KO.
Metro tiba lagi di terminal berikutnya, kulihat nenek itu bersiap keluar. Para penumpang membuka ruang agak nenek tersebut bisa keluar dengan mudah. Seorang bahkan dengan rela menggandeng tangan wanita tua itu menuju pintu keluar. Aku sempat terharu melihat sikap mereka terhadap orang tua. Seandainya sikap baik ini juga dipraktekkan sedikit terhadap ketiak mereka. Alangkah sempurnanya hariku pada hari ini.
Pintu gerbong mulai menutup. Dari luar sebuah tulisan besar melekat di dinding terminal, Saad Zaqlul.
"Kapaloe, seharusnya aku juga berhenti di terminal ini."
Metro kembali berjalan ke terminal selanjutnya. Artinya aku harus turun di terminal selanjutnya dan mengganti Metro untuk kembali ke Saad Zaqlul, tempat dimana nenek tua barusan turun. Sial.
Hari ini aku seperti kena kutukan, kualat istilah orang tua kampungku. Semenjak melihat nenek tua itu memengang tablet, pikiranku langsung negatif. Wajar juga rasanya, karena orang tua seumuran nenek itu di kampungku permainannya hanya antara rumah dan musala. Rumah sebagai tempat istirahat dan musala untuk pengajian, tempat menambah bekal akhirat.
Banyak sekali hal yang kupelajari hari ini. Nenek yang nyaris menjemput maut ini tidak gagap teknologi, malah ia memanfaatkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Sangat jauh berbeda denganku. Metro bergoyang, melaju ke terminal selanjutnya. Tidak ada lagi yang bergetar selain perasaan yang merasa bersalah dan hati yang merasa takjub.
Melihat dan bertemu orang-orang baik selalu bisa menjadi guru kehidupan bagi kita. So, berbuat baiklah dimanapun dan kapanpun agar kita juga menjadi guru bagi orang lain. Dengan atau tanpa kita sadari.
EmoticonEmoticon