Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006).

Pramoedya Ananta Toer. (Image: CNN Indonesia)


Pram, begitulah ia biasa dipanggil, salah satu sastrawan paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pengkritik keras terhadap pemerintahan zalim dan menindas. Ia bukan pembenci golongan bangsawan, ia hanya benci negara yang dibangun atas sekat kelas-kelas sosial. Pram bahkan menghapus kata Mas dalam kata (Mastoer) dalam namanya yang ia anggap tidak membumi dan terlalu ninggrat.

Pram kerap kali membangkang terhadap rezim yang berkuasa. Hidupnya dilalui dari satu penjara ke penjara lainnya. Ia dipenjara oleh Orde Lama selama setahun, kemudian ditahan lagi oleh Orde Baru selama 14 tahun. Jauh sebelum itu, ia bahkan sempat ditahan oleh pemerintah Belanda karena terlibat dalam kelompok militer kemerdekaan Indonesia.

Pram adalah pembela kaum proletar, golongan terpinggirkan dalam tatanan pemerintahan. Ia pembela kemanusiaan yang tak perlu dibantahkan, yang telah "adil sejak dalam pikiran" seperti kata-katanya. Pram adalah pembangkang terdepan terhadap tabiat penjajahan, entah itu dari bangsa asing atau bangsa sendiri.

“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana,” kata satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk nominasi nobel sastra.

Meskipun berdarah Jawa, hubungan Pram dengan Aceh bisa dibilang dekat secara emosional. Ia kerap menyinggung banyak hal tentang Aceh, termasuk dalam karya fenomenanya Bumi Manusia.

Dalam sebuah wawancara, Pram pernah berkisah, bahwa sebagai seorang Jawa, ia berhutang pada Aceh. Pram mengingat bagaimana orang-orang dari etnis Jawa sudah diterjunkan sejak era Belanda sampai pemerintahan Indonesia untuk membunuh orang-orang Aceh.

Menurut Pram, manusia Aceh adalah orang-orang berani, tak mau ditindas dan kuat memegang prinsip. "Sejak zaman Kompeni, Aceh punya keberanian individu, Jawa punya keberanian kelompok. Beda sekali," ungkap Pram.

Kisah hidupnya dalam dunia sastra juga kerap diwarnai berbagai kontroversi, salah satunya tuduhan terhadap karya Buya Hamka. Menurut Pram, novel" Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" merupakan karya plagiat. Sebuah kritik atau lebih tepatnya tuduhan, yang tak main-main.

"Tidak Hayati, apa yang Kamu lakukan itu jahat. Kamu telah lari dari hidupku dengan pria lain yang kaya raya dan Kamu juga memplagiat cintaku. Apa yang Kamu lakukan ke aku itu Jahat Hayati," kata Zainuddin yang sudah termakan kata-kata Rangga dalam Ada Apa Dengan Hayati.

Buya Hamka dituduh menjiplak karya pengarang Perancis. Pram menduga Buya Hamka mengambil kisah itu dari novel saduran sastrawan Arab, Mustafa Lutfi Almanfaluty, "Majdulin" atau "Magdalena". Novel ini sendiri sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jika pernah membaca kedua novel ini, maka kita akan tahu, memang banyak sekali kesamaan dari kedua novel tersebut.

Tuduhan ini membuat dunia sastra Indonesia era tersebut terguncang dan terpecah, antara mendukung Pram atau membela Buya Hamka. Bahkan, perdebatan tentang hal ini masih menjadi topik sendiri dalam studi sastra Indonesia.

"Nah, lalu kita dukung siapa atau yang mana?"

Pertama ini hal ini lumayan rumit, sastrawan aja terpecah, ini bagus untuk kekayaan studi sastra Indonesia. Kedua, kita atau saya tepatnya bukanlah seorang sastrawan. Bagaimana menjawab "dukung siapa?"

Kalau boleh, sebenarnya saya ingin dukung Kamu saja sepanjang sisa hidupku. "Sepanjang hidup bersamamu, kesetiaanku tulus untukmu. Hingga akhir waktu, tulus untukmu," kata Maher Zain yang tiba-tiba teriak di pinggir jalan.

Pram memang keras mengkritik Buya Hamka, bahkan menuduhnya melakukan plagiasi. Namun, bukan berarti Pram memutuskan tali silaturahmi dengan Buya Hamka. Bagi Pram sebuah kritik adalah sebuah kritik dan itu tidak ada urusannya dengan persahabatan. Begitulah sikap "adil sejak dalam pikiran ala Pram". 

Alih-alih bermusuhan dengan Buya Hamka, Pram malah mengirim anak perempuannya, Atika, kepada Buya Hamka agar ia mensyahadatkan dan membimbing calon suami Atika yang non-Muslim. Pram tidak mau memiliki menantu yang berbeda iman dengan keluarganya.

Allahummagh firlahu war hamhu...

Bertanya tentang Adam dan Hawa

Ilustrasi. (Dok. Pribadi)

Hari ini, aku merenungkan sesuatu. Suatu hal yang barangkali sudah bosan kita dengar karena terus menerus dibicarakan: cinta dan Nabi Adam dan Siti Hawa.

Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak etis dipertanyakan, "Mengapa Nabi Adam mencintai Siti Hawa?" Paken, limaza, and why?

Pertanyaan ini dimulai dengan asal muasal cinta itu sendiri. Apakah ia lahir atau diciptakan Menjawab pertanyaan ini, tentu saja aku percaya dua-duanya atau dua-duanya sebenarnya adalah hal yang sama.

Cinta lahir. Ia lahir bersamaan dengan lahirnya manusia pertama. Cinta juga diciptakan. Pasti. Nabi Adam diciptakan dari proses penciptaan yang rumit, tapi cukup enteng bagi Allah Swt. Sebuah kalimat ajaib "kun fayakun", maka jadilah sesuai kehendak-Nya.

Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, Allah menciptakan cinta dalam satu paket utuh dalam jiwa Nabi Adam. Tanpa cinta, bagaimana Nabi Adam bisa mencintai Allah? Juga, tanpa cinta barangkali mustahil bagi Nabi Adam untuk terus mencintai dan merindukan Siti Hawa setelah berpisah jarak tak terkira saat dihempas ke bumi.

Lalu, mengapa Nabi Adam mencintai Siti Hawa?

Kita sama-sama tahu bahwa dalam pendapat yang kuat disebutkan, bahwa Siti Hawa diciptakan dari bagian tubuh Nabi Adam. Lalu, apakah Nabi Adam mencintai Siti Hawa, karena diciptakan dari tubuh Nabi Adam sendiri. Dalam artian, Nabi Adam sebenarnya tidak mencintai Siti Hawa, tapi hanya mencintai bagian dari tubuh dan jiwanya sendiri?

Nah, jikalau analoginya seperti ini, artinya Siti Hawa juga demikian. Ia tidak mencintai Nabi Adam karena Nabi Adam, tapi Siti Hawa mencintai Nabi Adam karena ia bagian tubuh yang lain dari Siti Hawa sendiri.

Kemudian, bukankah saat itu cuma ada satu laki-laki dan satu perempuan. Bagaimana jika Allah menciptakan banyak laki-laki dan perempuan dalam satu waktu dengan nama yang bermacam-macam? Bagaimana jika Allah tidak menciptakan Siti Hawa dari bagian tubuh Nabi Adam, apakah Nabi Adam akan tetap mencintai Siti Hawa atau sebaliknya?

Dari pergalutan pemikiran tak jelas dan perlu di-astagfirullah-kan ini, aku menarik kesimpulan sederhana.

Pertama, Nabi Adam mencintai Siti Hawa, karena Siti Hawa bagian dari jiwa dan raganya. Kedua, Nabi Adam mencintai Siti Hawa karena ia benar-benar mencintai Siti Hawa sepenuhnya. Ketiga, Nabi Adam mencintai Siti Hawa, karena tidak ada pilihan yang lain. Keempat, Nabi Adam mencintai Siti Hawa karena ia bagian dari jiwa raganya dan juga karena ia benar-benar mencintai Hawa.

Lalu di manakah peran Allah? Ya, semuanya memang tak terlepas dari peran penciptaan Allah yang sempurna, tentang cinta dan tentang segalanya.

Perdebatan tentang cinta dan alasan mengapa Nabi Adam mencintai Siti Hawa, hari ini makin meluas, terus bertambah banyak, dan dalam bentuk berbeda.

Dulu hanya ada Nabi Adam dan Siti Hawa, mereka tidak ada pilihan lain. Hari ini hukum probabilitas semakin luas, "Adam" semakin banyak, bentuk dan sifatnya semakin bervariasi. Begitu juga dengan "Hawa", jumlahnya semakin tinggi, dengan bentuk dan sifat bermacam rupa.

Di sinilah makna cinta kembali diperdebatkan dengan model yang berbeda. Mengapa kita harus jatuh cinta?

Cinta kemudian diapresiasi dengan berbagai variasi. Mulai dari tolok ukur fisik, harta, tahta, kesalehan, kenyamanan, hingga "tak perlu alasan untuk jatuh cinta".

Dasar jatuh cinta pun jadi sangat beragam, dari yang benaran jatuh cinta, karena rasa penasaran, hingga cinta jahat yang hanya bernafaskan nafsu.

Lalu bagaimana dengan benci antitesis dari cinta? Apakah proses penciptaannya sama seperti cinta? Atau cinta dan benci itu satu paket yang tak bisa dipisahkan, yang kemudian disebut dengan perasaan?

Sampai ke sini, aku semakin bingung. Aku berpikir sendiri, aku bingung sendiri. Namun, satu hal yang terus kuyakin dengan yakin dan tak membuatku bingung adalah: aku mencintaimu. ðŸ˜…

Warung Kopi dan Masjid


"Telurnya sudah habis, Bang. Cuma kalau mau kali, biar saya cari telurnya dulu di warung sebelah," kata Kamil kala itu di Nabawi Resto, salah satu warung makan Indonesia di Darrasah, Kairo.

"Hana peu-peu hai. Enggak apa-apa, apalagi kalau jauh."

Sebenarnya aku dan Muhib kawanku, memang sedang ingin sekali kopi kocok telur. Namun, karena aku pernah menjadi pelayan warung makan, aku tahu bagaimana terkadang repotnya mencari barang di luar yang kadang tidak tersedia atau sulit dicari.

Terlebih telur yang dimaksud pun, bukan telur biasa. Memang bukan telur emas, tapi telur ayam kampung yang hanya dijual di tempat tertentu. Untuk menghasilkan kopi kocok yang "joss", kualitas telur pun harus bagus. Lebih bagus, kalau langsung diambil setelah keluar dari perut si ayam. Jadi, memang enggak dijual di tempat sembarangan.

"Enggak apa-apa, Kamil. Saya pesan yang lain aja," kataku

"Enggak apa-apa, Bang. Hana jioh. Dekat dari sini. Sebentar ya..." katanya dengan sangat lembut sambil berlalu pergi. Meninggalkan aku yang membatu di depan meja kasir.

"Meutuah that ureung nyoe," batinku.

Aku memang terlalu sulit untuk jatuh cinta, tapi sangat mudah tersentuh dengan kebaikan-kebaikan yang dianggap kecil bagi sebagian orang. Menurutku simple saja, orang-orang yang peka terhadap hal kecil, akan lebih mudah peka terhadap hal besar (walaupun aku sendiri bukan tipe yang pekaan).

Hal yang terjadi malam itu, langsung mengingatkanku dengan situasi tak mengenakkan yang kualami dua hari berturut-turut di masjid. 
Kejadian yang juga mengingatkanku pada sebuah postingan lama yang pernah kubaca, tentang perbandingan pelayanan petugas masjid dengan kafe. Tentang bagaimana masjid memuliakan tamu, yang kerap berbanding terbalik dengan tujuan dan fungsi masjid itu sendiri.

Dua hari sebelumnya aku menziarahi masjid Hakim bi Amrillah, salah satu masjid peninggalan era Fathimiah yang dibangun pada abad ke-11 Masehi. Selesai salat zuhur, aku langsung digiring keluar, bahkan dilarang mengambil foto dan video.

Petugas masjid memarahiku hanya karena mengambil beberapa gambar dan video. Aku disuruh keluar saat itu juga. Sedang di depanku, dua bule bersama seorang pemandu wisata asal Mesir sedang sibuk mengambil gambar menggunakan DSRL. Petugas masjid itu memberi izin kepada mereka. Aku protes.

"Eih da ya 'Am, tismah lighairil muslim dukhul masjid wa timna' muslim dukhul masjid bita'hu. Walllahi, haraaaam 'alaik ya Amm. Haram 'alaik."

Orang non-muslim dengan pakaian terbuka aurat diizinkan masuk masjid dan mengambil gambar. Sedang aku yang jelas muslim begini dilarang masuk.

"Yakhreib beit...!"

Astaqfirullah, mengapa juga aku mengumpat. Inilah jika mulut tak diberi akses ke pesantren kilat dan jarang makan asupan zikir dan ayat Al-Qur'an.

Masjid Hakim bi Amrillah. (Dok. Pribadi)

Masjid bukan tempat berdebat adu urat leher. Sebelum ia tambah marah, karena harga dirinya merasa terpukul, dengan hati penuh rasa kesal, aku memutuskan keluar.

Sehari setelahnya atau zuhur berikutnya, aku ke Masjid Aq Sunqur atau kerap disebut Masjid Biru. Masjid yang dibangun pada abad ke-14 Masehi oleh Dinasti Mamalik. Hari itu, aku pergi berdua dengan Zarqali, kawan rumahku.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di sini. Awal masuk saja, kami sudah dimintai uang sebesar 20 pound atau sekitar 20 ribuan. Kami jelas menolak. Petugas masjid tetap bersikeras bahwa kami harus membayar, karena masjid tersebut menurutnya adalah tempat wisata.

"Semua masjid di Mesir ini tempat wisata, dari Masjid Al-Azhar, Husein, Amru bin Ash. Semua tempat wisata, tapi tak pernah dimintai uang masuk," kata kami. Memang, kami tahu ada masjid tertentu yang masuknya berbayar seperti Masjid Sultan Hasan dan Masjid Rifa'i.

Dengan berbagai alasan, ia tetap bersikeras bahwa kami harus bayar.

"Wallahi Amm, ihna ruh hina bas lis shalah waz ziyaarah. Mafisy ma'ana iyi fulus dilwakti. Kami pergi ke sini hanya untuk salat dan ziarah. Kami enggak bawa uang"

"Fi ma'aya khamshah geneh bas. Lau aisy da, khuz da. Sama aku cuma ada lima pound ini tok. Kalau mau, silahkan ambil ini saja," kataku lagi sambil menyerahkan lembaran lima pound kepadanya. Ia akhirnya menolak, dan memperbolehkan kami masuk dan mengambil gambar.

Masjid Aq Sunqur atau Masjid Biru. (Dok. Pribadi)

Ternyata perkara tidak berhenti di situ. Selesai salat zuhur, kami langsung diusir keluar, padahal pada saat itu, di dalam masjid masih ada rombongan wisatawan lain juga. Ia marah-marah pada kami. Berteriak dari jarak jauh agar kami keluar.

Kami ikut meninggikan suara juga. Wisatawan lain melihat ke arah kami. Kami memutuskan keluar agar tidak terjadi kegaduhan. Sebelum pulang, pemandu wisata berbisik padaku, "Kalau Kalian ingin masuk dengan nyaman besok-besok, jangan lupa kasih uang padanya."

Aku tersenyum dan mengiyakan. Hanya karena 20 pound yang tidak kami berikan, ia mengusir kami dari masjid. Betapa karena hanya uang yang tak seberapa dari mahasiswa seperti kami, ia telah menyiayiakan pahala dan keberkahan yang begitu besar.

Saat seperti inilah, aku merindukan masjid yang dikelola dengan baik. Masjid yang memuliakan tamu, seperti Kamil yang berkata lembut dan memastikan semua nyaman berada di tempatnya. Namun sayang, begitulah kondisi masjid yang kukunjungi.

Memang ada saatnya, saat kita mencintai sesuatu, tapi sesuatu yang lain yang membuat kita meninggalkannya. Kuharap ini tidak terjadi di masjid-masjid yang lain, termasuk di masjid tempat akad nikah kita nanti. 😅

Sungguh,
dulu aku sangat muak
dengan rumah suci
yang ada orang kotor
di dalamnya.

Kemudian,
aku sadar
bahwa itu
adalah diriku sendiri.



Mengaduh



"Kopi hangat yang menyadarkan beku. Yang terang dan menghangatkan dari jauh, yang membasuh setiap kali kuterjatuh, adalah Kamu. Obat penyembuh. Izinkanlah kupilih dirimu sebagai tempat bersauh. Bersamamu kuingin saling berkesah keluh."

Begitulah harapku tiap malam menjelang subuh. Berdoa pada Tuhan, agar denganmu bisa hidup dan bertumbuh. Tentu saja, tak jarang dengan air mata yang jatuh.

Akhirnya, kopi hangat nan pekat tumpah di atas meja adalah sedih. Sedih yang berduka. Bunga tercabik telah kehilangan gula. Kupuja melati yang layu. Sehangat malam yang dingin, di antara ranting rapuh. Aku hanya tubuh yang telah kehilangan ruh. Sedang Kamu yang kubutuh, tak pernah izinkan aku berlabuh.

Kamu terus saja menyuruh mengayuh, tapi tak satu pun dermaga Kamu izinkan berlabuh. Dulu, sempat kupikir Kamu adalah obat penyembuh. Pembasuh setiap hatiku resah dan keruh. Sampai akhirnya aku sadar, bahwa Kamu adalah luka yang tak kunjung sembuh. Terlampau sakit, hingga aku lupa cara mengaduh.[]

Akhirnya
Aku termenung
Senyumnya hitam
Hitam yang agung.

Aku terpana
Aku terpedaya
Arwah perasaan
Mengguncang kewarasan.

Malam yang hitam
Tak memiliki kesudahan.
Sedang rindu
Sulit dijangkau dengan ingatan.





 

Perjalanan Sidang Masa Covid-19



Pertengahan Februari, saya mendaftar sidang. Awal atau pertengahan bulan selanjutnya atau Maret, saya harusnya bisa langsung mengikuti proses sidang. Disebabkan pandemik corona, sidang yang awalnya akan berlangsung pada Maret, kemudian diundur ke waktu yang tak pasti. Setelahnya, setiap dua minggu sekali, saya sering mengunjungi kampus, bertanya kapan bisa dinikahkan. Eh maksud saya, kapan bisa disidangkan. Tak ada jawaban pasti dari kampus. Mesir pun saat itu masih bergulat dengan peraturan baru demi mencegah Covid-19 terus menyebar. 

Juni kemarin, saya mendapat kabar baik, kampus membuka kelonggaran akademik, terutama bagi mahasiswa yang sidangnya sempat tertunda. Setelah berembuk sama pembimbing dan pihak akademik, diputuskan hari sidang saya tanggal 6 Juli. Alhamdulillah pikir saya. Namun, saat mau membayar uang sidang, kampus mengeluarkan peraturan baru bahwa segala aktivitas akademik ditunda lagi. Sidang saya pastinya ditunda juga dong. 😭

Pada 6 Juli, pihak akademik mengatakan bahwa sidang saya bisa diganti pada tanggal 26 Juli. Namun lagi-lagi nasib baik belum memihak, sidang saya terpaksa ditunda untuk kali ke sekian. Ya elah Maemunah, ini kampus kok plin plan begini. Satu hari ia kata rindu si A, besok ia bilang suka si B, besoknya lagi ngomong cinta si C, tahu-tahunya malah nikahin si Z. Tolong, ini kampus, apa buaya...? 😭

"Gara-gara pandemik corona, saya berada di waktu yang tidak tepat dan di tempat yang salah."

Menunggu sidang

Nah, alhamdulillah pada tanggal 9 Agustus kemarin, akhirnya tesis saya bisa disidangkan dan dengan hasil jayyid jiddan (baik sekali). Hasil yang sebenarnya sudah saya duga. Menurut pembimbing, sebenarnya saya belum bisa disidangkan karena tesis masih memiliki banyak kekurangan dan pembimbing belum memeriksanya secara keseluruhan sekali lagi sebelum diperbolehkan untuk naik sidang.

"Duktur, saya harus daftar sidang bulan dua ini, jika mendaftar sidang bulan tiga atau ditunda lagi, saya harus membayar uang SPP lagi, sebanyak 1200 dolar. Tolong Duktur, itu angka yang sangat besar untuk saya," ngemisku pada pembimbing di pertengahan Februari. 

"Tapi,,, tesis Kamu ini belum sempurna betul Anakku..."

1200 dolar itu bukan uang yang sedikit, jika dirupiahkan angkanya nyaris mencapai 18 juta rupiah. Harga yang cukup berharga jika ditabung untuk mahar nikah misalnya. 😂

"Maaf sekali Duktur... Saya rasa enggak masalah Duktur, masalahnya saya enggak punya uang lagi untuk bayar SPP segitu," kata saya berulangkali ke pembimbing yang akhirnya diberikan izin untuk mendaftar sidang.

Sidang tesis yang berjudul "Perempuan dan Simbolismenya dalam Puisi Mahmoud Darwish" berlangsung di Institute of Arab Research and Studies dalam suasana tertutup dengan undangan sangat terbatas. Hanya Bang Aris, Syukran, Shidqi, dan Sultan, yang menemani dan sangat membantu proses sidang tesis pada hari H.

Terima Kasih Banyak 

Saya berterima kasih banyak atas segala doa dan dukungan tak terhinggga, mulai dari ibu, ayah, adik dan kakak tercinta, yang tak berhenti berdoa dan mendukung hingga titik doa penghabisan (bahkan saat saya masih dalam kandungan). Tanpa doa mereka sungguh saya tak bisa melangkah hingga ke tahap ini. Kemudian saudara, kawan-kawan di Aceh maupun di Mesir, yang tak bisa saya sebutkan namanya satu per satu. Mulai dari yang membantu proses sidang, menelepon secara pribadi, mengirim pesan via media sosial, hingga yang berdoa dan membikin status harapan dan selamat. 

Hal-hal seperti ini adalah salah satu bagian terindah dari hidup saya sejauh ini. Bagi sebagian orang ini barangkali adalah hal sederhana, tapi bagi saya ini merupakan sebuah hal yang cukup sulit dibalas.  Hal-hal sekecil apa pun dari doa dan dukungan, yang bahkan saya sendiri tidak tahu, adalah hal yang teramat istimewa. Terima kasih banyak dan semoga Allah membalasnya dengan hal yang jauh lebih manis. 

Di antara ucapan doa dan selamat tersebut, terselib sebuah hal indah yang juga aneh di pagi hari kemarin. Sebuah pesan dari seorang kawan. Saya pikir ia ingin mengucapkan doa atau selamat kepada saya, maklum pada hari tersebut saya akan melaksanakan sidang. Namun, yang terjadi malah di luar dugaan sama sekali.

Ia malah bertanya saya pakai minyak wangi apa. 😄


Hal yang kemudian membuat hari sidangku cukup aneh lainnya adalah kue ucapan selamat dari kawan rumah dan tim KMA Tv, atas inisiatif Muhammad Syukran bekerja sama dengan A'maril Basyiriy, Fikri Aslami, Najid Akhtiar, dan Sultan. 

Jujur, saya lahir dari keluarga yang sederhana dan memegang tradisi Islam yang lumayan kental, sehingga tak pernah merayakan ulang tahun atau apa saja, dengan sesuatu yang bid'ah dhalalah seperti acara potong dan makan kue tart misalnya. 😅 

Hal ini cukup bikin saya terharu dan juga sedih pada satu waktu. Pertama, saya telah merusak budaya dan adat istiadat keluarga. Kedua, sebenarnya saya pernah sangat berharap, bahwa yang akan memberi kejutan seperti ini adalah perempuan yang saya cintai (yang barangkali untuk sekarang masih mustahil). 😅 

Ketiga dan agak membingungkan adalah, karena mereka sudah buat kejutan seperti ini, artinya apakah saya harus buat seperti ini juga untuk mereka? Sumpah ini terasa janggal sekali, bagaimana mungkin seorang Farhan Jihadi yang kaku dalam hidupnya membeli kue dan berbuat kejutan untuk kawannya (yang cowok lagi). Padahal kejutan seperti ini ingin kusimpan perdana untuk perempuan halalku nanti. 😂 
 
Seumur hidup saya tak pernah dikasih kue seperti ini dan tak pernah membeli kue ulang tahun untuk seseorang. Hal paling sederhana yang pernah saya lakukan dan bikin saya malu adalah pernah membeli jilbab pasmina sebagai hadiah untuk seorang gadis pada suatu ketika. 😅 


Terima kasih banyak atas segala hal ini, terutama untuk Muhammad Syukran yang sudah menambahkan kegembiraan berganda di hari bahagia tersebut. Saya tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana, saya bukan tipe romantis. Jujur, akan terlalu sulit bagi saya melakukan hal seperti ini untuk orang lain, kecuali untuk perempuanku nanti. Eaaak. 😅 

Syukran melakukan hal ini dengan sangat baik, dan ini sebuah keistimewaan lain tersendiri bagi saya pribadi.

Hal yang paling sulit bagi saya adalah menulis nama orang-orang yang membantu saya dalam dua tahun menulis tesis. Terlalu banyak yang membantu hingga saya menyelesaikan tesis ini. Ada Bang Zamzami Umar bersama Muhammad Firdaus yang menjadi support system dan beberapa kali menemani saya menjumpai pembimbing dan dengan ikhlas membantu mencari bahan penulisan tesis, atau Rahmat Fadhillah yang sudi membimbing tes TOEFL hingga akhirnya bisa mencukupi nilai untuk mendaftar sidang, atau Ustaz Abdullah yang mengoreksi kesalahan tulisan bahasa Arab saya.

Terima kasih banyak kepada keluarga kecil saya di Kairo (keluarga saat saya di Kattameya dan di Husein) yang menjadi support system harian seperti Bang Mukhlis Arabi, Hendri Julian, Muhammad Firdaus, Khalid Muddatstsir, Bang Aris Munanda, Bang Saidul Umam, Bang Muzakkir Abdul Manaf, Bang Sayed Mubarak, Bang Iqbal bin Yusuf, Bang Junaidi, Bang Zamzami, Sayed Fitri Adhi, Muhammad Syukran, A'amril Basyiriy, dan Sultanul Arifin.

Sebenarnya saya tidak ingin menyebutkan satu nama pun di sini, karena terlalu banyak yang membantu dan jika ada satu nama yang terlewatkan, maka sungguh sangat keterlaluan rasanya. Sekali lagi, terima kasih banyak untuk semua dan segalanya terutama keluarga besar KMA Mesir secara umum. Semoga Allah membalas segala kebaikan sekecil apa pun dengan keberkahan dan kebaikan yang lebih besar. Amin.[]

"Sulit memang mengkaji perempuan, mampu mendapat jayyid jiddan saja, sudah bikin senang bukan kepalang. Lain cerita jika mendapatkan Kamu, dikasih nilai rasib pun, bagiku sebuah martabah syaraf ula." 😂

Benarkah Kita Sedang Menyembah Tuhan?

Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir. (Dok. pribadi)

Aku mencari tuhan, katanya saat ini tuhan sedang top trending dan marak dijualbelikan. Aku buru-buru ke pasar, berharap masih tersisa satu tuhan untukku. Sayang sekali, kata pedagang, tuhan sudah laris terjual. Apa aku harus menunggu stok terbaru, barangkali ada edisi terbaru?

"Tunggu... tunggu... " 

"Siapa yang memborong Tuhan-tuhan itu, Paman?" tanyaku. 

"Hahahaa. Banyak sekali. Mereka, orang-orang sepertimu, yang ingin punya tuhannya masing-masing. Namun, mereka tidak ingin menyembah tuhan itu, orang-orang hanya ingin memperbudak tuhan-tuhan itu, ingin tuhan mengikuti nafsu mereka."

"Hati-hati, Paman. Maksudnya Anda bagaimana?" 

"Hahahaa. Mereka ingin tuhan membenci, seperti orang-orang. Mereka ingin tuhan mencaci-maki, melaknat, dan mengkafirkan orang-orang, bahkan ingin tuhan membunuh untuk diri mereka. Dengan membeli tuhan, mereka berharap bisa memonopoli akhirat, ingin tuhan hanya memasukkan dirinya saja ke surga. Dengan membeli tuhan, mereka merasa mewakili tuhan atas dunia dan akhirat."

"Keterlaluan sekali mereka...!" 

"Hahahaa, munafik sekali Kau anak muda. Bukankah Kau juga datang untuk membeli tuhan untuk mengenyangkan nafsumu? Apa bedanya Kau dengan mereka?" 

Aku dibuat kaku terdiam. Aku benar-benar dihantam dengan pukulan keras. Malu sekali rasanya. Tanpa sadar aku adalah bagian dari orang-orang ini juga, atau jangan-jangan mereka adalah aku, atau aku adalah mereka. 

"Lantas, mengapa Anda menjual tuhan-tuhan itu?" 

"Hahahaa... Kau pikir, Tuhan itu pemain bola. Tuhan tak bisa diperdagangkan. Tuhan Maha Pengasih lagi Penyayang, tak bisa disuruh-suruh, apalagi untuk melaknat dan membunuh. Tuhan bisa memuliakan orang-orang yang kita benci. Tuhan mampu memasukkan siapa saja ke surga, termasuk orang-orang yang kita kafirkan. Tuhan sangat benci orang-orang yang mengatasnamakan nama-Nya untuk berbuat nista dan aniaya."

"Baik, aku sedikit mengerti, tapi ini sama sekali tidak menjelaskan tuhan-tuhan yang Anda jual?" 

"Sudah kubilang, aku tidak menjual Tuhan. Aku hanya menjual berhala. Mereka yang bodoh mengiranya itu Tuhan. Selama ini mereka hanya menyembah berhala dan nafsu mereka sendiri yang disangkanya Tuhan. Hahahaa."

"Semoga Allah memberi kita hidayah, mengampuni kita semua, dan mematikan kita dalam keadaan husnul khatimah."[]

Catatan:
Kisah ini terinspirasi dari film India berjudul PK dengan cerita dan narasi yang berbeda.




Di depan orang-orang,
Kusebut-sebut asma Tuhan,
Kugombali Tuhan di Keramaian.

Saat sendirian,
Saat hanya bersama Tuhan,
Malah kusembah setan-setan.

@farhanjihadi
Kairo, 12.6.2020

Puisi: Kusebut Ini Cinta

(Kusebut ini cinta)
Cinta itu, 
bukan aku benar, kamu salah.
Atau kamu benar, aku salah.
Cinta itu adalah komunikasi.
Bahwa semua bisa salah,
Bahwa semua bisa benar.
Yang mutlak salah adalah,

Kita pecah,
Lalu berpisah.

Cinta itu bukan satu,
Bukan hanya satu tambah satu menjadi kita.
Cinta itu adalah,
Satu melengkapi satu,
Jadilah keluarga.

@farhanjihadi

Cairo (11.5.2019)