Pram, begitulah ia biasa dipanggil, salah satu sastrawan paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pengkritik keras terhadap pemerintahan zalim dan menindas. Ia bukan pembenci golongan bangsawan, ia hanya benci negara yang dibangun atas sekat kelas-kelas sosial. Pram bahkan menghapus kata Mas dalam kata (Mastoer) dalam namanya yang ia anggap tidak membumi dan terlalu ninggrat.
Pram kerap kali membangkang terhadap rezim yang berkuasa. Hidupnya dilalui dari satu penjara ke penjara lainnya. Ia dipenjara oleh Orde Lama selama setahun, kemudian ditahan lagi oleh Orde Baru selama 14 tahun. Jauh sebelum itu, ia bahkan sempat ditahan oleh pemerintah Belanda karena terlibat dalam kelompok militer kemerdekaan Indonesia.
Pram adalah pembela kaum proletar, golongan terpinggirkan dalam tatanan pemerintahan. Ia pembela kemanusiaan yang tak perlu dibantahkan, yang telah "adil sejak dalam pikiran" seperti kata-katanya. Pram adalah pembangkang terdepan terhadap tabiat penjajahan, entah itu dari bangsa asing atau bangsa sendiri.
“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana,” kata satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk nominasi nobel sastra.
Meskipun berdarah Jawa, hubungan Pram dengan Aceh bisa dibilang dekat secara emosional. Ia kerap menyinggung banyak hal tentang Aceh, termasuk dalam karya fenomenanya Bumi Manusia.
Dalam sebuah wawancara, Pram pernah berkisah, bahwa sebagai seorang Jawa, ia berhutang pada Aceh. Pram mengingat bagaimana orang-orang dari etnis Jawa sudah diterjunkan sejak era Belanda sampai pemerintahan Indonesia untuk membunuh orang-orang Aceh.
Menurut Pram, manusia Aceh adalah orang-orang berani, tak mau ditindas dan kuat memegang prinsip. "Sejak zaman Kompeni, Aceh punya keberanian individu, Jawa punya keberanian kelompok. Beda sekali," ungkap Pram.
Kisah hidupnya dalam dunia sastra juga kerap diwarnai berbagai kontroversi, salah satunya tuduhan terhadap karya Buya Hamka. Menurut Pram, novel" Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" merupakan karya plagiat. Sebuah kritik atau lebih tepatnya tuduhan, yang tak main-main.
"Tidak Hayati, apa yang Kamu lakukan itu jahat. Kamu telah lari dari hidupku dengan pria lain yang kaya raya dan Kamu juga memplagiat cintaku. Apa yang Kamu lakukan ke aku itu Jahat Hayati," kata Zainuddin yang sudah termakan kata-kata Rangga dalam Ada Apa Dengan Hayati.
Buya Hamka dituduh menjiplak karya pengarang Perancis. Pram menduga Buya Hamka mengambil kisah itu dari novel saduran sastrawan Arab, Mustafa Lutfi Almanfaluty, "Majdulin" atau "Magdalena". Novel ini sendiri sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jika pernah membaca kedua novel ini, maka kita akan tahu, memang banyak sekali kesamaan dari kedua novel tersebut.
Tuduhan ini membuat dunia sastra Indonesia era tersebut terguncang dan terpecah, antara mendukung Pram atau membela Buya Hamka. Bahkan, perdebatan tentang hal ini masih menjadi topik sendiri dalam studi sastra Indonesia.
"Nah, lalu kita dukung siapa atau yang mana?"
Pertama ini hal ini lumayan rumit, sastrawan aja terpecah, ini bagus untuk kekayaan studi sastra Indonesia. Kedua, kita atau saya tepatnya bukanlah seorang sastrawan. Bagaimana menjawab "dukung siapa?"
Kalau boleh, sebenarnya saya ingin dukung Kamu saja sepanjang sisa hidupku. "Sepanjang hidup bersamamu, kesetiaanku tulus untukmu. Hingga akhir waktu, tulus untukmu," kata Maher Zain yang tiba-tiba teriak di pinggir jalan.
Pram memang keras mengkritik Buya Hamka, bahkan menuduhnya melakukan plagiasi. Namun, bukan berarti Pram memutuskan tali silaturahmi dengan Buya Hamka. Bagi Pram sebuah kritik adalah sebuah kritik dan itu tidak ada urusannya dengan persahabatan. Begitulah sikap "adil sejak dalam pikiran ala Pram".
Alih-alih bermusuhan dengan Buya Hamka, Pram malah mengirim anak perempuannya, Atika, kepada Buya Hamka agar ia mensyahadatkan dan membimbing calon suami Atika yang non-Muslim. Pram tidak mau memiliki menantu yang berbeda iman dengan keluarganya.
Allahummagh firlahu war hamhu...