Benarkah Kita Sedang Menyembah Tuhan?

Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir. (Dok. pribadi)

Aku mencari tuhan, katanya saat ini tuhan sedang top trending dan marak dijualbelikan. Aku buru-buru ke pasar, berharap masih tersisa satu tuhan untukku. Sayang sekali, kata pedagang, tuhan sudah laris terjual. Apa aku harus menunggu stok terbaru, barangkali ada edisi terbaru?

"Tunggu... tunggu... " 

"Siapa yang memborong Tuhan-tuhan itu, Paman?" tanyaku. 

"Hahahaa. Banyak sekali. Mereka, orang-orang sepertimu, yang ingin punya tuhannya masing-masing. Namun, mereka tidak ingin menyembah tuhan itu, orang-orang hanya ingin memperbudak tuhan-tuhan itu, ingin tuhan mengikuti nafsu mereka."

"Hati-hati, Paman. Maksudnya Anda bagaimana?" 

"Hahahaa. Mereka ingin tuhan membenci, seperti orang-orang. Mereka ingin tuhan mencaci-maki, melaknat, dan mengkafirkan orang-orang, bahkan ingin tuhan membunuh untuk diri mereka. Dengan membeli tuhan, mereka berharap bisa memonopoli akhirat, ingin tuhan hanya memasukkan dirinya saja ke surga. Dengan membeli tuhan, mereka merasa mewakili tuhan atas dunia dan akhirat."

"Keterlaluan sekali mereka...!" 

"Hahahaa, munafik sekali Kau anak muda. Bukankah Kau juga datang untuk membeli tuhan untuk mengenyangkan nafsumu? Apa bedanya Kau dengan mereka?" 

Aku dibuat kaku terdiam. Aku benar-benar dihantam dengan pukulan keras. Malu sekali rasanya. Tanpa sadar aku adalah bagian dari orang-orang ini juga, atau jangan-jangan mereka adalah aku, atau aku adalah mereka. 

"Lantas, mengapa Anda menjual tuhan-tuhan itu?" 

"Hahahaa... Kau pikir, Tuhan itu pemain bola. Tuhan tak bisa diperdagangkan. Tuhan Maha Pengasih lagi Penyayang, tak bisa disuruh-suruh, apalagi untuk melaknat dan membunuh. Tuhan bisa memuliakan orang-orang yang kita benci. Tuhan mampu memasukkan siapa saja ke surga, termasuk orang-orang yang kita kafirkan. Tuhan sangat benci orang-orang yang mengatasnamakan nama-Nya untuk berbuat nista dan aniaya."

"Baik, aku sedikit mengerti, tapi ini sama sekali tidak menjelaskan tuhan-tuhan yang Anda jual?" 

"Sudah kubilang, aku tidak menjual Tuhan. Aku hanya menjual berhala. Mereka yang bodoh mengiranya itu Tuhan. Selama ini mereka hanya menyembah berhala dan nafsu mereka sendiri yang disangkanya Tuhan. Hahahaa."

"Semoga Allah memberi kita hidayah, mengampuni kita semua, dan mematikan kita dalam keadaan husnul khatimah."[]

Catatan:
Kisah ini terinspirasi dari film India berjudul PK dengan cerita dan narasi yang berbeda.




Di depan orang-orang,
Kusebut-sebut asma Tuhan,
Kugombali Tuhan di Keramaian.

Saat sendirian,
Saat hanya bersama Tuhan,
Malah kusembah setan-setan.

@farhanjihadi
Kairo, 12.6.2020

Puisi: Kusebut Ini Cinta

(Kusebut ini cinta)
Cinta itu, 
bukan aku benar, kamu salah.
Atau kamu benar, aku salah.
Cinta itu adalah komunikasi.
Bahwa semua bisa salah,
Bahwa semua bisa benar.
Yang mutlak salah adalah,

Kita pecah,
Lalu berpisah.

Cinta itu bukan satu,
Bukan hanya satu tambah satu menjadi kita.
Cinta itu adalah,
Satu melengkapi satu,
Jadilah keluarga.

@farhanjihadi

Cairo (11.5.2019)

Mensyukuri Masakan Kiriman Seseorang


Saat seseorang memberikan makanan yang ia masak padamu, jangan pernah kita sekalipun mengeluh, terlepas bagaimana rasanya: hambar, keasinan, tidak enak, atau rasa yang dulu pernah ada.

Ia sudah memasak dengan sepenuh jiwa raga, mengorbankan uangnya, membuang waktunya yang berharga, bahkan mengorbankan perasaan dan harga dirinya jika nanti dianggap masakannya dianggap buruk atau tidak sedap.

Konon, katanya makanan mengandung filosofi kehidupan, seseorang yang memberi makanan kepada kita pastilah orang yang sangat baik, ia tidak ingin kita kelaparan, bahkan memasukkan berbagai bahan bergizi dan penuh nutrisi agar kita selalu sehat. Bebeda kalau yang masak adalah racun, kan itu tidaklah mungkin, kecuali kalau kita adalah pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), seperti Munir misalnya.

Nah, oleh karenanya jangan pernah mengeluh saat seseorang memasak untukmu, yang mesti kita lakukan adalah bersyukur bagaimanapun rasanya. Bersyukur bahwa seseorang begitu perhatian, bersyukur kita bisa mengenyangkan cacing di perut, bersyukur bisa menambah gizi.

Jika makanan itu diperoleh dari harta baik lagi halal, dan ia memberikannya dengan ikhlas, maka keberkahannya pun berganda. Bahkan kata Imam Asy-Syafii, "Makanan orang shaleh adalah obat".

Tahu, kan? Tidak mudah bagi seseorang untuk memasak bagi orang lain, apalagi bagi seorang perempuan. Banyak sekali hal yang ia pikirkan tentang makanannya.

Oleh karena itu, jika memang tidak suka, Kamu boleh memberi makanannya padaku, plus berikan juga nomor hp-nya kalau ia perempuan. Walau tidak pandai, aku juga ingin memasak sesekali untuknya, kalau bisa selamanya pun enggak apa-apa. 😅
Cara terbaik bersyukur atas masakan seseorang adalah dengan mengucapkan hamdallah, menikmatinya, lalu berterima kasih, agar besok-besok ia mau memasak lagi.😅

Ramadhan Rasa Corona (Covid-19)

(Eurotimes.org)

Bagi pencari ampunan dan pencitraan kepada Tuhan, seharusnya, malam ini adalah teduh yang rindang. Hanya saja, malam ini terasa agak suram, tidak gemerlap, seperti biasa. 

Meskipun begitu, tidak juga kelam seperti aura makam. Tetap banyak orang perlu berburu titik aman, demi berhadapan dengan Tuhan. Berlomba mengambil hati Allah dengan sedekah dan sebarang ibadah. 

Memang, di beberapa negara, malam Ramadhan ini sedikit kelam. Tak ada suara bacaan Al-Quran dari lisan imam, dan dari menara masjid, tak terdengar lagi suara merdu pengajian.

Hanya ada lengang yang sepi, dan sunyi yang senyap. Sedang di bawah atap, masih ada orang-orang yang beribadah dengan emosi, Ramadhan kita jadi kian bertambah kehilangan jati diri.

"Selalu ada hikmah di balik musibah. Berhusnudhan kepada Allah dan terus beribadah dalam keadaan apapun adalah bentuk ketaatan sesungguhnya."

Sudah tabiat manusia.
Riuh di kala pergi,
Tak peduli saat berada di sisi.

Mengaku rindu saat hilang, 
Tak menggenggam saat berdampingan.

Begitulah,
kita dan Ramadhan.



Catatan:
Sebelumnya sudah saya posting di Instagram saya @farhanjihadi di awal Ramadhan 2020.

Puisi: Taubat


Aku, 
Tak pernah lelah berdosa
Lagi, lagi, dan lagi-lagi
Hingga tubuhku sendiri adalah dosa

Aku,
Tak pernah benci bermaksiat
Lagi, lagi, dan lanjut lagi
Hingga jiwaku sendiri adalah maksiat

Aku,
Juga tak pernah berhenti bertaubat
Lagi, lagi, dan taubat lagi
Hingga tubuh dan jiwaku adalah taubat itu sendiri

Sesering itu aku malu berdosa
Sesering itu aku melakukan dosa-dosa baru
Sesering itu aku bermaksiat
Sesering itu juga Tuhan menerima semua taubat

Allah selalu menerima taubatku,
Hingga nanti aku lupa caranya berdosa

Dan aku tahu,
itu tak pernah terjadi.

Aku,
Adalah manusia,
Salah adalah tubuhku.
Jiwa adalah jiwaku.


@farhanjihadi
Cairo (27.5.2020)

Perempuan yang Tertawa Ngakak

Tumpuk tengah. (Dok. Pribadi)
Aku sedang di dapur saat sekelompok perempuan dari negeri entah-berentah tiba, lalu masuk ke ruangan khusus akhwat. Saat itu, aku sedang membantu di Cairo Resto, salah satu warung makan milik mahasiswa Indonesia yang cukup terkenal di kawasan Darrasah, Kairo.

Di samping terkenal dengan bumbu rempah yang kuat, warung ini juga terkenal dengan "Warung buka sebulan, tutup setahun". Slogan ini disematkan pelanggan yang kecewa lantaran sering tutup dapur.

"Salah satu ciri-ciri warung makan yang sukses memang seperti ini, buka sesuka dengkul. Bagai hidup enggan, mati tak mau. Kalau saja bukan karena makanan di sini terlalu nikmat, orang-orang barangkali sudah melupakannya."

Bagi perempuan pencinta kuliner dengan rempah yang kuat, sekaligus ingin tempat yang sedikit punya privasi, Cairo Resto adalah jawaban terbaik. Warung makan ini menyediakan ruangan khusus perempuan yang pintunya bisa dikunci dari dalam. Masalahnya, ruangan ini punya satu kekurangan: tidak kedap suara. 

Tak berapa lama, setelah mereka masuk, terdengar suara tawa menggelegar. Tawa yang menggetarkan gendang telingaku dan dinding dapur. Aku nyaris memegang dadaku, aku khawatir jantung di dalamnya ikut bergetar.

Bagi sebagian orang, barangkali risih mendengar suara "rusuh" seperti ini atau setidaknya mempertanyakan "Perempuan kok ketawanya seperti ini?", aku malah tertarik. Mereka seperti punya inner beauty yang hanya dilepaskan di saat tertentu. 

Adapun yang kemudian membuatku tersentuh adalah mereka melakukan apa yang dikenal dengan "tumpuk tengah" usai makan. Mereka mengumpulkan piring makan mereka, lalu menumpuknya di tengah dengan sangat rapi. 

Sebenarnya, bukan kali ini saja aku melihat hal seperti ini. Pelanggan perempuan memang biasanya lebih peka terhadap pemilik atau pelayan warung makan, mereka terbiasa menyusun sendiri piring sisa makanan mereka, lalu menumpuk rapi di tengah. 

Aku selalu mudah tersentuh dengan hal-hal kecil yang dianggap sederhana bagi orang lain, seperti tumpuk tengah ini misalnya. Lalu, bagaimana dengan masalah ngobrol keras ngalor ngidul cang panah dan suara tawa ngakak hingga ke mana-mana? 

Hmmm, sebenarnya bagiku tidak terlalu masalah, toh mereka tidak sedang berada di perpustakaan, masjid, atau di rumah mertua. Mereka juga tidak tertawa di depan depan lawan jenis, hanya di ruangan khusus tertutup di antara sesama mereka. Jarang-jarang mereka berkumpul bersama, sehingga mereka tertawa seperti ini. Ini rasanya adalah tawa yang mahal dan tak mudah didapatkan. 

Jujur, memang walaupun kita sering melakukannya, baik laki-laki atau perempuan, tertawa berlebihan memang tidak dianjurkan dalam Islam. Seorang ustaz menjelaskan bahwa hukum tertawa sendiri juga bersifat sangat kondisional.

Di mana ia tertawa? Apakah tawanya menyakiti orang lain? Siapa yang tertawa? Apakah ia sudah punya calon atau belum? Kalau belum, siapa namanya? Berapa nomor hp-nya? Bolehkah aku mengenalnya lebih dalam dan menjumpai orang tuanya? Lalu mari kita tertawa bersama hingga tua.[]