Perempuan di Loket Metro

Terminal Saray El Kobba. (Foto: dok. pribadi)
Aku sedang berdiri di depan salah satu loket penjualan tiket Metro, kereta api listrik Mesir, saat seorang bapak mencoba merebut antrianku. Nampaknya ia sedang terburu-buru. Petugas tiket perempuan yang melihat, menegurnya dengan keras.

"Bapak, mohon maaf. Enggak boleh serobot antrian, Pak. Duluan anak muda ini yang antri barusan." 

Terjadi percekcokan, sedang aku hanya menatap perempuan itu dengan pandangan takjub. Jarang-jarang petugas tiket melakukan protes kepada calon penumpang yang mencoba menyerobot antrian. Biasanya dibiarkan, atau tetap ditegur, tapi ala kadar, hanya untuk basa basi.

Di Mesir, menyerobot antrian memang sudah menjadi kebiasaan yang diwajarkan. Sebuah peradaban yang harusnya sudah bisa dimusnahkan, karena sangat menyiratkan budaya tak berpendidikan.

Petugas seperti perempuan ini harusnya diperbanyak dalam setiap sudut birokrasi Mesir yang amburadul. Proses yang rumit, petugas yang tidak acuh, dan suka mempersulit perkara, ditambah masyarakat yang belum dewasa membuat proses birokrasi Mesir umumnya kacau balau. Biorakrasi berbelit-belit dan bikin pening kepala. Terkadang untuk mengurus berkas sederhana saja, kita harus bolak balik berkali-kali. Kita dipaksa harus beristighfar dan bershalawat setiap saat. 

Ya, tentu saja dalam kasus tertentu seperti perempuan manis di depanku ini sebagai pengecualiannya. Jika orang Mesir lain membuatku harus beristighfar, jika melihat perempuan ini aku malah jadinya bertasbih. Subhanallah 3000 kali. Memang, dalam sekian detik duniaku jadi cerah merona. Paras dan akhlak perempuan ini terlalu menyilaukan mataku. 

Bapak yang menyerobot antrianku masih beradu argumen dengan perempuan ini. Kubiarkan bapak ini terus berbedat. Bagiku, tikung menikung ini hal biasa, apalagi cuma ditikung antrian. Halah. Ini terlalu sepele bagi seorang Farhan Jihadi. Jika banyak orang marah atau sedih jika ditikung, seperti ditikung menikah duluan sama adik leting misalnya. Bagiku ini persolan biasa saja. Aku memang punya prinsip, kalau mau menikung ya silahkan.

Prinsip "rendah hati" milikku ini bertambah kuat jika di depan perempuan seperti petugas ini. Aku ingin membuktikan, bahwa aku ini terlalu bijak dibandingkan orang-orang Mesir. Dalam ilmu memikat, memang harus ada udang di balik bakwan, kalau tidak, bakwannya tidak nikmat.

"Enggak apa-apa, enggak apa-apa. Silakan duluan, Pak!" kataku. Dengan persetujuanku, akhirnya petugas melayani pembelian tiket bapak ini terlebih dulu. 

Akhirnya giliranku tiba. "Ma'alaisy ya Abla, terminal Saray El-Kobba dekat enggak dengan kampus Ain Syam?" 

"Kamu sebenarnya mau ke mana? Ada terminal Saray El-Kobba, ada juga terminal Ain Syam."

"Saya mau ke Fakultas Tarbiah, Ain Syam. Dekat dengan Sarah El-Kobba, kan...?" tanyaku untuk memastikan. 

"Oh ya, kalau itu dekat."

"Tamam. Kalau begitu, saya ingin dua tiket ke Saray El-Kobba."

"Okey..." katanya mantap.

Doi tersenyum manis sekali, membuatku melelah bagai eskrim di atas aspal pada musim panas.

Dalam sejarah pembelian tiket Metro, baru kali ini aku menjumpai petugas sopan dan ramah banget seperti ini, apalagi perempuan. Aku kehilangan udara. Sepertinya aku butuh oksigen. Tampaknya dia telah menghisap seluruh oksigen di muka bumi ini.

"Ada perlu yang lainnya?" tanyanya ketika menyerahkan tiket. 

"Khalas... Enggak apa-apa, enggak ada lagi. Terima kasih banyak, Abla."

"Tayyib... Okey..." katanya dengan lembut. 

"Hmmm... Tunggu sebentar... Ma'alaisy, nampaknya mungkin aku perlu satu tiket lagi nih..."

"Masyie, tiket ke mana, Sarah El-Kobba lagi...?" katanya sopan. 

"Enggak, ini tiket spesial. Hmmm... Tiket ke hatimu, ada enggak...?" kulihat dia tersipu malu-malu. Pipinya merona, merah sekali. Bisa kulihat raut wajahnya yang kini murni telah memerahjambukan seluruh tubuhku.

Astagfirullah.

Nasib memang tak bisa ditolak. Sayang sekali, tiga percakapan terakhir itu boleh kusebut hanya halusinasi. Aku juga memang tidak ingin berbicara seperti itu. Sama sekali tidak sopan atau bisa-bisa aku dianggap sedang melakukan pelecehan secara verbal.[]

Masjid dan Para Wisatawan Non-Muslim di Masjid al-Azhar Mesir

Para wisatawan di dalam masjid al-Azhar. (Foto: Dok. pribadi)
Malam kemarin, ketika mau salat magrib, aku melihat sekelompok wisatawan asing yang berwajah Eropa sedang mendengar seseorang menjelaskan sesuatu di ruang tengah terbuka di dalam masjid al-Azhar. Mereka terlihat khusyuk mendengar penjelasan dari pemuda itu.  Wisatawan asing masuk ke masjid Al-Azhar, yang perempuan diberikan kain dan jilbab untuk menutup aurat. belajar tentang sejarah masjid, berdiskusi sejarah Islam, dan melihat fungsi masjid sesungguhnya.


Aku hanya melihat mereka sekilas, lalu bergegas ke menuju saf salat. Ini sebenarnya bukan fragmen langka. Beberapa masjid di Mesir memang membuka diri untuk dikunjungi wisatawan, termasuk para wisatawan non-muslim. Mereka biasanya diberi penjelasan tentang sejarah masjid, Mesir, dan yang paling penting mengenal langsung Islam dari rumah Tuhan, tempat rahman dan rahim Allah disyiarkan dengan hebat.

Jauh ribuan tahun sebelumnya, Rasulullah Saw. juga pernah melakukan hal yang sama. Pada suatu hari, Rasulullah Saw. menjamu umat Kristiani dari Najran. Rasulullah Saw. mengajak mereka berdiskusi tentang agama dan ketuhanan. Ketika waktu sembahyang tiba, mereka meminta izin untuk melakukan ibadah di masjid. Para sahabat sempat protes. Namun, Rasulullah Saw. mempersilahkan mereka salat di dalam masjid Nabawi. Usai salat, Rasulullah Saw. kembali berdiskusi dengan lembut dengan mereka.

Pada April 2017 lalu, terjadi peledakan bom di gereja Mar Girgis, Tanta, Mesir. Bom meledak di tengah-tengah umat Kristen Koptik yang sedang beribadah. Korban tewas mencapai 28 jiwa, dan mecederai sedikitnya 70-an orang. Sebuah masjid berdekatan dengan gereja langsung membuka posko kesehatan untuk korban bom di gereja. Umat muslim datang untuk mendonorkan darah bagi korban peledakan bom.

Per hari ini, untuk menangkal aksi islamophobia, masjid-masjid di Eropa mulai membuka pintu yang luasa bagi pemeluk agama lain untuk masuk dan melihat masjid dari dalam. Mereka membuat program wisata dengan tema mengunjungi masjid. Setiap non-muslim diperbolehkan masuk masjid, berdiskusi, bahkan berdebat tentang agama dan ketuhanan.

Rumah ibadah seperti masjid seharusnya memang seperti ini, membuka diri seluas-luasnya kepada semua orang, agar kampanye rahmat dan rahim Allah, tidak hanya terkurung di komunitas muslim. Namun, juga menyebar ke luar, seluas-luasnya.

Menjadi muslim bukan berarti menghilangkan jiwa kemanusiaan terhadap pemeluk agama lain dan menutup diri dari pergaulan sosial. Masjid sudah seharusnya dikembalikan kepada fungsi utamanya, menyebarkan kebaikan dan keberkahan ke semua manusia. Kita tak pernah tahu, barangkali Allah memberi hidayah kepada para wisatawan non-muslim yang berkunjung Al-Azhar melalui masjid dan penjelasan ramah kita tentang Islam.[]

Tentang Kita

(Image:leaderonomics.com)
Apa kabar Sayang? Sudah lama aku tak mendengar kebisingan. Dari mulutmu yang terus mengoceh dan tak bisa Kamu tahan. Suara bising yang menenangkan. Bahana yang menyejukkan. Sebuah riuh yang saat ini cukup kurindukan. Apa kabar embun pagi di seberang? Masihkah sejuk dan menyegarkan?


Bagaimana foto terakhir kita di pintu gerbang sebuah bandara yang kita ambil malu-malu? Masihkah seringkah Kamu memandangnya, lalu berharap aku pulang segera? 

Aku selalu ingat, saat itu Kamu berkata, "Wajah kita mungkin akan menua, tapi di dalam foto ini, kita selalu muda dan bahagia". Lalu Kujawab, "Bahwa biarpun kita menua, tapi perasaanku padamu tetap sama. Tidak ada yang akan berubah, selain bertambah kuat".

Lalu kita mengaminkannya bersama.

Oh ya, aku ingin sedikit bercerita. Di sebuah ruangan yang luas, beberapa waktu lalu akhirnya aku disidang. Seperti biasa, Keluarga Aceh di sini selalu siap disibukkan, siap membantu melebihi yang diminta. Mengambil foto, video, dan bahkan mereka menyiapkan makanan untuk para undangan, jumlahnya tak tanggung-tanggung: ratusan. 

Namun sayang, entah mengapa jumlah yang hadir pada saat itu tidak sampai setengahnya saja. Padahal, aku ingat saat kita dulu masih tinggal berdua di sini, saat jumlah kita tidak sampai dua ratusan, seluruh ruangan penuh, hingga meluap ke luar, ke lorong-lorong, hingga ke jalanan. 

Sekarang jumlah kita lima ratusan, tapi sayangnya jumlah kursi yang terisi tak sampai setengah. Aku sempat sedih, tapi lantas berpikir jernih. Mungkin saja banyak yang sedang sibuk kuliah, talaqqi, atau sibuk yang lain. Mahasiswa sekarang memang punya terlalu kesibukan yang bermacam-macam, termasuk sibuk berdemonstrasi menuntut perubahan reformasi atau apalah namanya. Waktu yang mereka punya seakan tidak cukup.

Kondisi sekarang sudah berbeda seperti saat kita tiba di Mesir dulu. Dibandingkan duku, sekarang alhamdulillah sudah banyak mahasiswa yang berani lanjut S2 di sini. Mereka adalah calon-calon tokoh masyarakat dan pemuka agama ke depan.

Lihat saja, dalam satu bulan ada beberapa sidang munaqasyah. Dulu, Kamu tentu ingat, dalam satu tahun saja, belum tentu ada satu mahasiswa kita yang munaqasyah. Sekarang, sebentar-sebentar sidang, sebentar-sebentar munaqasyah, sebentar-sebentar selesai kuliah. Barangkali, hal ini juga membuat orang-orang mulai bosan menghadiri hal yang sama terus menerus. Berbeda sepertiku yang tidak pernah bosan merindukanmu.

Bukan hanya sidang sebenarnya, saat ada acara samadiyah pun orang-orang kayaknya sudah malas datang. Sepertinya, orang hanya datang jika yang terkena musibah adalah orang yang dia kenal atau orang terdekatnya saja. Selebihnya, aku hanya melihat ruang yang terlalu banyak menyisakan celah kosong. Padahal dulu, kenal enggak kenal, jika ada acara samadiyah selalu ramai orang-orang berdatangan.

Semoga asumsiku ini tidak benar. Sebenarnya aku tidak percaya bahwa rasa sosial kita sudah tergerus dan berkurang. Mungkin Kamu ingat kasus mahasiswa Aceh yang sakit dan akhirnya meninggal kemarin. Aku nyaris menangis melihat semangat sosial mahasiswa Aceh di sini. Ini belum termasuk dukungan dari berbagai pihak baik dari Aceh atau pun luar.

Aku lihat sendiri, bagaimana rumah sakit selalu penuh siang-malam. Ramai sekali yang datang. Sampai-sampai petugas rumah sakit menegur beberapa kali. Siang malam mereka berjaga menemani orang sakit. Perempuan-perempuan Aceh pun tanpa diminta membuat piket khusus masak. Tiap hari, tiga kali sehari mereka memasak untuk dibawa ke rumah sakit. Kami tak pernah kekurangan makanan di rumah sakit. Semua bahu-membahu membantu apa yang bisa dibantu. Di sinilah aku merasa bahwa penting sekali kita punya keluarga, apalagi di saat tengah krisis seperti ini.

Kuharap rasa sosial dan kebersamaan sebagai keluarga ini terus terjaga, sebagaimana kita yang selalu menjaga cinta kita ini.

Terus terang, memang banyak yang sudah berubah sejak Kamu pulang tiga tahun yang lalu, dan meninggalkanku bertarung sendirian di sini. Banyak yang sudah berubah, atau mungkin umurku yang memang sudah terlalu usang. Aku berharap dan berdoa ini perubahan ke arah yang baik. 

Seorang kawanku yang juga akan disidang berubah lebih jauh lagi. Bukannya takut saat disidang tidak ada yang datang. Ia malah berniat tidak mengundang siapa pun dalam sidang munaqasyah. Ia akan sidang sendirian, tanpa suporter. Alasannya sederhana dan masuk akal juga tampaknya.

"Ini ruang sidang. Ini persidangan, bukan mau nonton bola, enggak perlu pakek suporter. Aku nanti tidak akan mengundang siapa pun," katanya tegas. Menarik juga idenya ini. Sangat kreatif pikirku. 

Mengundang atau tidak mengundang saat sidang munaqasyah bukanlah masalah bagiku. Bahkan, jika yang datang tidak banyak juga bukanlah sesuatu yang harus ditangisi. Banyak hal yang jauh lebih penting yang perlu dipikirkan, melihatmu tertawa gembira misalnya. 

Pun seperti tadi, tidak mengapa juga walau tidak banyak yang bisa tidak datang ketika munaqasyah, toh aku tahu mereka punya prioritas lebih penting. Aku yakin mereka juga mendoakanku untuk meraih nilai terbaik. Yah, buktinya saja, dalam persidangan yang berlangsung lima jam itu, aku memperoleh predikat mumtaz. Ini berkat doa orangtua, doamu di sepertiga malam, dan juga doa-doa mereka.

Namun, bukan mumtaz yang membuatku terlalu bahagia, bahkan ingin berteriak, jarak kita yang semakin dekat membuatku menangis bahagia setelah sidang usai. Sabar sebentar lagi, aku memang akan segera pulang. Rasa rindu sedang memberontak di tubuhku, ingin segera keluar dan memeluk buah hati kita. Aku kangen aroma tubuhnya yang mungil itu. 

Seperti kataku tempo dulu, "Adalah jarak, musuh utama rasa bosan. Cinta memang mengharuskan kerinduan. Namun, apabila hati sudah memantapkan pilihan, semua bisa memenangkan pertarungan. Tak akan ada kehilangan. Pada orang-orang optimis, jarak adalah kekuatan." 

Seperti biasa, setiap hari, jangan berhenti bersuara, walau hanya ucapan selamat pagi atau malam. Nanti, jika tak kuat menahan rasa, pejamkan mata, lalu tatap foto kita saat bersama. Ingat, selalu ada cinta di sana.[]

Note:
Bukan kisahku, dan sudah diposting beberapa bulan yang lalu di salah satu akun media sosial milikku.

Salah Panggil Nama

Di salah satu bagian kampus. (Foto: Dok. Pribadi)
Duwal 'Arabiah. Kampus ini memiliki sistem yang lumayan rapi, misalnya saja dalam kantor administrasi, mahasiswa yang memiliki keperluan harus registrasi dengan mengambil nomor antrian layaknya di perbankan. Kertas antriannya pun dibedakan sesuai bagian administrasi yang ingin kita kunjungi: bagian diploma (pra-magister), magister dan doktoral. 

Aku tiba di kantor administrasi kampus dan langsung meminta nomor antrian kepada Ammu Sayed, petugas yang duduk cantik di tempat registrasi. Biasanya Ammu Sayed menanyakan keperluan kita dan mau ke bagian administrasi mana. 

"Aku ingin mengurus surat aktif kuliah magister, Ammu," kataku. 

"Masyie... Okay..." Ammu Sayed kemudian menekan tombol di mesin elektronik dan memberiku kertas bernomor 201.

"Syukran Ammu, Ammu ganteng deh..."

Setelah menunggu lebih kurang sepuluh menit, akhirnya tiba giliranku. Dan aku pun masuk ke dalam ruang administrasi magister. Di dalamnya ada dua pegawai perempuan sedang duduk bermanis manja di balik meja kerja. 

"Ada keperluan apa? Mana nomor antriannya?" 

Aku kemudian menampakkan nomor 201.

Mereka berdua tersenyum. "Bukan ini. Ini nomor antrian diploma, kalau ruang diploma di sebelah ini. Kamu salah masuk ruangan," kata salah seorang dari mereka. 

"Oh ya, tadi saya dikasih Ammu Sayed cuma nomor ini."

"Ya udah, ambil lagi nomor antrian lain di magister."

"Okey... Asyiap Ibu...." 

Kemudian aku mengambil nomor antrian ulang di magister. Ammu Sayed memberiku nomor 9, sedang saat itu antrian baru berjalan di nomor 3. Masih agak lama. 

Nomor antrian. (Dok. pribadi)
Sambil menunggu antrian, aku bermain hp dan terkadang Ammu Sayed mengajakku berbicara. Bertanya tentang Indonesia dan hal-hal sederhana lainnya. Aku lantas bertanya nama dua pegawai perempuan di bagian magister kepada Ammu Sayed. Seingatku, sudah hampir dua tahun mengurus administrasi magister, aku belum hafal nama dua perempuan ini. Bagiku, terlalu susah mengingat nama perempuan, seperti rumitnya membaca perasaan mereka. Dan sepertinya nama perempuan yang selalu aku ingatnya, ya cuma Kamu aja. Iya, Kamu.

Sebenarnya, ada tiga pegawai di ruang magister, satu orang lagi laki-laki. Namanya Ahmad. Aku hanya ingat betul wajah pemilik nama ini, soalnya ia pernah bikin aku kesusahan dua tahun lalu saat pengurusan awal surat aktif kuliah. Hari ini kulihat batang tengkoraknya tidak tampak. Apa ia sedang ambil part time di tempat lain? Sebagai penjual gorengan atau narik ojek online misalnya. Entahlah. 

Kini giliranku tiba, aku masuk lagi ke ruangan tadi, dan sekarang aku sudah sedikit percaya diri. Saat aku masuk lalu duduk, mereka berdua tersenyum. Tumben mereka berdua tersenyum, biasanya suka cemberut. Apa karena wajahku hari ini terlalu manis sehingga membuat mata mereka silau?  

"Saya ingin mengurus surat aktif kuliah, sekalian ingin bertanya syarat untuk daftar sidang apa-apa saja," kataku pada salah satu dari mereka. Sesaat sebelum semua selesai dicatat, aku mencoba berbasa-basi dengan berterima kasih dengan menyebut nama beliau dengan sangat fasih. 

"Terima kasih banyak Ustazah Lola, semoga Allah memberkati Anda..."

Setelah mendengar ini, pegawai perempuan itu bengong, sedangkan petugas perempuan satu lagi tertawa.

"Siapa yang Kamu panggil Lola...?" 

"Apa? nama beliau Lola? kalau nama beliau Lola, nama saya berarti Nona?" sahut satunya lagi. Kini mereka berdua tertawa. Aku juga ikut tertawa pelan bagai orang bodoh. 

"Celaka aku, salah panggil nama. Padahal sudah kuhafal namanya tadi, kok bisa salah. Kurang asam nih Ammu Sayed, udah salah kasih nomor antrian, salah pula kasih nama orang," batinku.

"Maaf, maaf Ustazah. Saya benar-benar tidak tahu. Tadi Ammu Sayed kasih tahu saya bahwa nama Anda Lola"

"Yang benar Kamu, mana Ammu Sayed. Ini enggak kami selesaikan surat aktif kuliah Kamu," ancam salah satu dari mereka. Mampus aku, sial benar hari ini. Berulang kali aku minta maaf karena kesalahan tak disengaja ini. 

Mereka berdua masih tetap tertawa. Ini membuatku sedikti lega. Nampaknya mereka tidak marah atau bisa saja dua perempuan ini memang marah tapi menyembunyikannya dengan tawa. Semua perempuan memang cantik dan sulit dimengerti oleh otak laki-laki. Inilah alasan kita mencintai mereka.

Sesaat setelah itu, tanpa diduga Ammu Sayed masuk ke ruangan. Sesekali Ammu Sayed memang keluar masuk ke bagian magister, untuk memastikan atau mengecek sesuatu.  Ibu yang kupanggil Lola tadi langsung protes kepadanya. 

"Ammu Sayed, dibilang sama bocah ini, Anda bilang nama saya Lola, ya?" 

"Hah... Tidak, tidak pernah saya bilang Lola. Saya bilang Moona. Dia mungkin salah dengar, lalu panggil Anda Lola," kata Ammu Sayed membela diri. Cilaka.

"Waduh, maaf Ustazah. Ma'alaisy... Beliau benar, saya salah panggil nama..."

"Bagaimana bisa dari Moona menjadi Lola...?" 

Aku meminta maaf lagi, lagi dan lagi. Mereka berdua tertawa lagi, Ammu Sayed tak ikut ketinggalan. Kurang asam nih Ammu Sayed.

Susah memang jika terlalu mencintai seseorang, sering kali kusebut namamu, nama perempuan lain jadi salah, kan? Hahaha.

Hari ini aku sadar satu hal bahwa salah memanggil nama orang penting itu kadang bisa menggelikan. Enggak apa-apa salah manggil nama di sini, yang jangan itu salah nyebut namamu di akad nikah. Benar begitu, My Love?[]