Gara-gara Bilik Suara

Aridho (pakai topi hitam) sedang memasukkan kertas suara ke kotak suara. (Image: Dok. Pribadi)
Kami di Mesir memilih calon presiden/wakil presiden dan calon legislatif pada Sabtu, 13 April 2019. Ada kejadian menarik di salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) kami mencoblos. 

Saat memasuki salah satu TPS di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo, aku mendengar seorang panitia penyelenggara Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) berseru kepada pemilih agar tidak mengambil foto di bilik suara. 

"Kepada Kawan-kawan, dilarang mengambil gambar atau foto di bilik suara," katanya. 

Aridho, kawanku, yang sedang duduk di kursi antrian dalam TPS melihat ke arahku dan bertanya hal itu. Soalnya ia memintaku memfoto dirinya saat mencoblos dan saat berada di bilik suara.

"Enggak apa-apa Dho, itu maksudnya kita enggak boleh ambil foto di dalam kotak itu Dhoe. Itu bilik suara. Kalau dari sini enggak apa-apa, ini bilik bersama," kataku padanya dengan suara agak keras sambil menunjuk ke arah bilik suara. 

Perempuan manis tadi tampaknya mendengar kata-kataku, tapi mungkin tidak lengkap, sehingga ia berkata lagi padaku dengan sorot mata yang agak aneh (bukan sorot mata penuh cinta pokoknya).

"Enggak boleh ambil foto di bilik suara...!"

"Iya, iya... Maksud saya, itu bilik suara, tapi ini kan ini ruangan. TPS (buka bagian bilik suara).  Ini bilik bersama," kataku lagi sambil mengisyaratkan telunjuk ke ruangan itu. 

Suasana ruang itu agak gaduh, ia tampak belum mengerti maksudku, atau aku yang memang bego, enggak tahu cara menyampaikan pesan dengan baik kepada perempuan. Entahlah. 

"Foto di dalam situ, enggak boleh ambil," katanya lagi.

Ya Allah. Ia masih belum mengerti juga rupanya. Sambil menghembuskan nafas naga yang panjang, aku yang kesal malah ingin menjawab lagi. Seharusnya aku menyerah saja, setidaknya biar aku kalah berdebat, aku bisa menang di hatinya. Ya kali. 

"Iya, iya, kami tahu. Itu bilik suara, tapi ini ruangan. Bilik bersama...!" 

Seandainya aku khilaf saat itu, bisa saja kujawab, "Iya, aku tahu, itu bilik suara. Kalau bilik rindu, itu milik kita berdua suatu hari nanti..."

Aridho yang juga sudah mulai kesal melihat hangatnya percakapan kami yang makin tidak jelas dan tak kunjung usai, mencoba melerai. 

"Tenang Ustazah, tenang Ustazah," kata Aridho,

"Udah Bang, udah..." 

Aku kecewa sekali dengan sikap Aridho. Padahal kalau bisa, aku masih ingin berbicara lebih lama lagi dengannya. Ya sudahlah, enggak apa-apa. Akulah yang salah, dia cuma salah paham aja. Sebuah dialog antar umat manusia yang sangat tidak bermanfaat dan sarat modus ini akhirnya berakhir. Baru kemudian aku mengambil lagi video dan foto Aridho yang sedang mencoblos. 

Di pemilu ini, pesanku cuma satu, "Kita boleh berbeda pilihan politik, tapi yang namanya persaudaraan dan persahabatan tetaplah nomor satu".[]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »