Sinai dan Perasaan yang Tertinggal

Di puncak Sinai (Foto: Nurul Hadi)
"Berjalanlah kamu di muka bumi ini." Inilah redaksi yang digunakan Allah dalam beberapa Al-Quran terkait rihlah, dalam konteks "agar kita lebih bersyukur dan lebih dekat dengan Allah."

Beberapa hari yang lalu, aku mengikuti rihlah rohani bersama Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir ke Gunung Sinai, tempatnya Nabi Musa As menerima wahyu dari Allah Swt. Kami juga menyempatkan diri berziarah ke makam Nabi Harun As dan Nabi Saleh As.

Sebuah perjalanan selayaknya memang harus berorientasi niat lillahi ta'ala, mensyukuri, men-tadabburi penciptaan alam, menelusuri nilai historis yang bisa "mengakrabkan" diri kepada Allah.

Di samping itu, sebuah perjalanan juga menjadi ajang mengakrabkan diri dengan sesama dan mengeratkan rasa persaudaran. Bahkan kerap kali, sebuah perjalanan mampu melengketkan hubungan bilateral antara dua orang yang saling mencintai. Nah, yang terakhir ini, jika kita berada di posisi sebagai saksi cinta mereka, tentu sangat menyakitkan.

Nahasnya, ketika berada di puncak dan saat menuruni Gunung Sinai, aku sempat berada di posisi ini. "Dan rasanya tahu enggak gimana...?" Sakit banget, bagai diiris-iris sembilu, lalu disiram kuah asam pedas (ini sih malah enak jadinya).



Di puncak Sinai, awalnya aku memang asyik sendiri, hanyut dalam sunrise yang indah. Menikmati sinar mentari menyapu wajah. Aku bahkan tidak menggubris ajakan berfoto bersama bareng KMA di sudut lain.


Keasyikan sendiri ini ternyata sekejap saja. Hanya sesaat. Kemudian pandanganku tertuju pada beberapa pasangan bulek cantikyang entah dari manaberfoto layaknya pengantin baru. Saling merangkul, dan sebagian lagi kulihat saling merekatkan pipi dengan manja. Pikiranku terbang tinggi ke atas, lalu jatuh menghantam bumi, pedih. Sunrise yang indah itu tiba-tiba jadi basi, aku menelan ludah. Pahit ternyata.

Aku akhirnya memilih menghibur diri, mencoba menjauh dari bulek-bulek tak berperasaan ini. Aku berjumpa ketua panitia rihlah Zulfahmi, aku ingin mengajaknya berfoto bersama sekali lagi bareng rombongan KMA.

"Maaf Bang, kami baru saja berfoto bareng. Anak-anak sebagian sudah turun. Kalau ingin berfoto lagi silahkan. Ini spanduk rihlah kita."

"Ya udah enggak apa-apa," ujarku sambil berlalu.

Masak aku harus berfoto sendiri pakek spanduk 2 meter. Bisa-bisa bulek-bulek sok romantis tadi meledekku. "Coba lihat, sial banget pemuda itu. Sudah sendiri disuruh endorse spanduk lagi. Pasti berat banget hidup dia." Aku tentu tidak mau menjadi bahan tertawaan dan lelucon gara-gara spanduk ini.

Aku khawatir saja, seandainya aku berfoto sendiri dengan spanduk yang bertulis Bahasa Indonesia "Rihlah Keluarga Mahasiswa Aceh" bisa-bisa diartikan absurd sama bulek-bulek sok romantis itu dengan misalnya "I am single, I am very happy." Kan ini keterlaluan banget ya. Aku tidak mau dituduh sedang menghibur diri dengan ungkapan norak sepeti itu. Jika ingin memilih ungkapan, aku akan memilih ungkapan yang lebih bergengsi seperti, "I am single, I am sick." Sakit jiwa.

Dari rombongan KMA Tour the Sinai, aku termasuk orang yang turun terakhir dari puncak. Awalnya, aku turun bareng Keluarga Malaysia. Ternyata hal sial belum lepas dariku, di depanku ternyata ada pasangan muda yang juga sedang turun. Ini pasti pasangan muda yang tak jauh berbeda dari bulek-bulek tadi. Aku ingin segera melewati mereka, tapi jalurnya terlalu sempit. Aku harus bersabar dan mencari-cari celah. Perasaanku benar-benar enggak enak.

"Abang, pelan-pelan... Abang hati-hati... Abang, tangganya licin," pesan perempuannya dengan suara dibuat lembut dan manja. Mereka berpegangan tangan. Terkadang berfoto selfie. Aku kayak orang begok di situ. "Ya Allah, semoga mereka tergelincir, semoga mereka jatuh." Buru-buru aku harus beristigfar bekali-kali setelah sempat terlintas doa terkutuk ini. Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya. "Sabar Farhan, sabar..."

"Ustad, boleh minta foto tak?" Pemuda Melayu itu mengiba padaku.

"Boleh Ustad..." Aku terpaksa mengambil foto romantis mereka, dengan menutup mata.

"Sudah Ustad," kataku sambil mengembalikan hp-nya. Mereka melihat hasilnya.

"Kepalanya tak ade Ustad, boleh tak minta foto sekali lagi?" Aku mengangguk. Setelah mengambil foto mereka, aku bergegas turun, menyusul rombongan terakhir Keluarga Mahasiswa Aceh. Aku mencoba menjauh sejauh-jauhnya dari Melayu tak peka itu. Aku belum tahan banting. Hati dan perasaanku belum kuat.
Belajar dari sini, ternyata sebuah perjalanan juga bisa menghasilkan sebuah perasaan yang terlalu sulit dilupakan. Dan sialannya perasaan yang sulit kulupakat itu ya seperti ini. Hari itu, saat tiba di kaki Gunung Sinai, Pidi Baiq seakan-akan berteriak padaku, "Kan sudah kubilang, jomblo itu berat, Kamu enggak sanggup!"[]

Baca juga: Hikayat Yakhrib Beit 

Penggoda

Gambar: Google
Apa aku bahagia? Apakah aku sedih? Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, aku mencintainya. Setengah abad lebih telah kuhabisan waktu bersama dirinya atau setidaknya dulu aku pernah terlalu mencintainya. Namun, kini ada sejenis keraguan mulai menyelinap ke hatiku melalui rongga-rongga kepingan kenangan. Dulu, jika ada yang bertanya apa aku mencintainya? Spontan lidahku menjawab cepat tanpa spasi, aku memang jatuh hati padanya.

"Apa Kamu mencintainya?" Aku bingung menjawab hal seperti ini, aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Pikiran dan hatiku masih belum satu pendapat. Benarlah kata mereka, cinta bisa membuat orang cerdas menjadi bodoh, membuat orang bodoh menjadi gila. Membuat orang gila bagai makhluk tak bernyawa.

Aku seperti berjodoh sejak kecil dengan dirinya. Masih terekam dalam memori ingatanku, saat pertama mengenalnya. Hatiku menjerit, awalnya memang aku tidak begitu suka dengannya. Saat pertama mengenalnya pikiranku masih jernih, seolah bisa membaca tanda-tanda batiniyah. Ada bagian kecil hatiku berbisik bahwa dibalik wajah cantiknya ia menyimpan kebusukan.

Ia selalu punya cara agar aku tetap jatuh hati padanya. Ia memang cantik, punya daya tarik. Siapapun yang melihat pasti terpana, hanya orang tertentu yang bisa menjaga diri untuk tidak terpikat dengannya. Semula aku mengira akan bertahan dalam godaannya. Dugaanku salah, aku terjerembab dalam lautan asmara cinta dengannya.

"Meskipun cantik, Kamu harus hati-hati dengannya. Jangan terlalu mencintainya. Jangan sampai Kamu terbuai hingga mabuk kepayang mencintainya hingga melupakan segalanya, Nak," begitulah kata ibu saat melihatku mulai dekat dengannya. Saat itu aku belumlah benar-benar jatuh cinta padanya. Ibu hanya khawatir aku terjerumus kedalam cinta yang membutakan, hingga terpelosok ke dalam hal tidak baik.

Dasar, entah bagaimana firasat seorang ibu itu selalu saja benar. Tak lama setelah itu, aku benar-benar terlena, tergoda. Aku mabuk kepayang dengan cintanya, setiap waktuku kehabisan bersamanya. Kecantikan dan rayuannya membuatku tak berdaya. Ia bukan hanya cantik, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya begitu indah. Ia punya daya pikat multi dimensi, bukan hanya akal, nuraniku juga terkadang hilang saat bersamanya.

Namanya Nia, paras cantik melekat di wajahnya. Tutur katanya lembut, menghanyutkan setiap telinga. Jika ia berjalan, semua panca indera seolah menjadi satu, terpaku pada kecantikannya. Harus kuakui, hampir tidak ada yang tidak mencintainya. Hari ini aku telah memploklamirkan diri bahwa aku termasuk salah seorang diantara mereka.

Aku mencintai Nia. Nia pandai memberi warna dan rasa dalam hidupku. Bagaikan pelangi, ia cerdas memberi warna di setiap lukisan hidupku. Ia sumber tenaga, juga sumber nyawa buatku. Aku benar-benar gila karenanya.

Nia terkadang tidak hadir saat kubutuhkan, sering kali ia mengecewakanku. Namun, hal itu tidak menjadi sebab pudarnya cintaku pada Nia. Kekurangan dan kecacatannya tidak mampu menurunkan derajat cinta pada dirinya. Setiap petak-petak kehidupan telah kulewati bersamanya dan tidak sedikitpun cintaku berkurang kepadanya.

Nia suka berbohong, aku mencintainya segala kebohongannya. Ia suka menipu, aku menyukai segala tipu dayanya. Bahkan, Nia juga mengajariku caranya berdusta, aku mengikuti caranya, sifatnya. Nia telah menjadi bagian penting hidupku. Hidupku penuh kebohongan, kedustaan dan tipu daya. Satu hal yang tidak bisa kudustai, aku mencintai Nia.

Hari-hari berjalan, bulan-bulan berlalu. Pun tahun silah silih berganti. Nia semakin cantik, parasnya semakin cerah, semakin menggoda. Aku dan Nia tak bisa dipisahkan, kami menyatu. Cinta Nia memabukkan, mencintai gadis itu seperti candu. Ia membuatku ketagihan untuk terus mencintainya. Ia membuatku melalaikan orang tua, ia bahkan membuatku melupakan agamaku.

Kini, di saat tubuhku ringkih, tua. Ia masih mencoba menggodaku. Pesonanya masih bersinar, ia bahkan membuatku lupa segalanya. Yang paling aku sesalkan, ia mencoba menjauhkanku dengan Tuhan. Nia sangat pencemburu, segala cara ia lakukan termasuk menjauhkanku dengan Penciptaku. Ia selalu punya cara dan biasanya selalu berhasil, terlebih untuk orang seperti diriku.

Apa aku masih mencintainya? Aku ragu. Apa aku menyesal? Entahlah. Aku tidak punya jawaban yang tepat. Tapi, yang pasti saat ini aku sedih. Kulirik wajah Nia, ia masih mempesona seperti dulu. Aku hampir mati, dan Nia masih memabukkan hati.

Hari ini, hari terakhirku. Ribuan kilometer waktu telah kujelajahi bersama Nia. Aku terbaring, Nia disisiku. Ia masih berusaha menggodaku, pesonanya masih belum luntur. Hanya saja tubuhku sudah tua, tidak lagi bisa lagi menikmati kecantikan Nia.

Aku akan pulang dan mungkin Nia akan pergi memadu cinta dengan orang lain. Ia akan hidup bersama orang lain, merajut kisah cinta bersama mereka. Merayu dan menggoda hingga mereka seperti diriku, melalaikan agama hingga melupakan Tuhan.

***

Sekarang aku berdiri di depan malaikat, aku ingin berjumpa dengan Tuhan, Penciptaku. Malaikat mencegah. "Kau tidak pantas menemui Tuhan. Tuhan yang maha indah belum berhak untuk Kau jumpai. Kau lebih mencintai Dunia, kekasihmu. Bukankah tuhanmu itu Dunia?" kata-kata Malaikat menghujam tubuh lemahku.

"Dunia? Tidak, aku tidak mengenalnya. Aku hanya mengenal Nia, bukan Dunia." Aku tertawa, benarkah aku tidak pantas menemui Tuhanku? Butir-butir kristal kini mengalir manganak-sungai di wajahku. Nia, sekarang kau sedang menggoda manusia mana lagi?


---
Note:
Cerita mini ini pernah diikutsertakan pada lomba Sayembara Cerita Mini Yaman 2016 se-Timur Tengah dan Afrika dengan judul yang sama. Dan alhamdulillah terpilih sebagai salah satu dari 50 naskah terbaik (urutan ke-15).

Baca juga cerpen lainnya: Mahar Berduricerita tentang peliknya persoalan mahar di Aceh dilihat dari kacamata lajang yang tak kunjung merajut hubungan asmara serius nan halal.

Mahar Berduri

shaadiwala.in
 "Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kawin seikat mawar dibayar tunai," ucap Mahmud tegas. 
Para hadirin terlihat keheranan, sebagian berbisik-bisik, bagaimana mungkin gadis secantik dan secanggih Fatimah di negeri itu dinikahkan ayahnya dengan mas kawin hanya berupa seikat mawar. Hal ini tergolong sangat langka di negeri Achin, negeri tua yang bertetangga dengan Samudra Hindia itu hidup dalam tradisi dan adat yang kental, termasuk dalam tradisi pernikahan. Dan hal seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Kejadian yang hampir mustahil ini tentu saja membuat tamu undangan terkesima, seolah tidak percaya, belum lagi yang menjadi mempelai wanitanya bukanlah sembarangan perempuan. Adalah Fatimah, putrinya Tuan Daud, saudagar besar di ibu kota. Fatimah bukan hanya berparas cantik seperti ibunya yang memiliki garis keturunan Arab, ia wanita berpendidikan. Fatimah lulusan ilmu kedokteran di kampus bergengsi di Achin, sebelum akhirnya dipersunting Mahmud. 

Negeri Achin cukup kuat menjaga adat dan tradisi warisan leluhur, terutama dalam tradisi pernikahan dan pesta perkawinan. Mahar yang menjadi syarat nikah haruslah berupa emas yang berjumlah besar. Dalam tradisi keachinan, mahar itu barang gengsi yang tidak termasuk dalam kaidah tawar-menawar.

Dalam perkara mahar, Achin punya standar kuat. Seorang pemuda yang sudah cukup umur layaknya Mahmud misalnya, jika ingin mempersunting seorang gadis biasa lagi sederhana di negeri Achin, maka ia haruslah menyediakan mahar paling minimal senilai sepuluh mayam emas. Mayam adalah takaran resmi emas di Achin, satu mayamnya berkisar 3,3 gram emas. Sehingga jika saja satu mayam emas seharga 1,8 juta dalam nilai standar, maka sepuluh mayam akan berjumlah 18 juta rupiah. Walaupun perempuan negeri Achin terkenal berparas cantik dan terdidik, tetap saja menjadi beban berat bagi pemuda yang terlanjur memaklumatkan cinta dengan perempuan negeri itu.

Jadi, seandainya Mahmud atau siapapun pemuda yang ingin mempersunting gadis berparas cantik serupa Fatimah ditambah jebolan kampus terkemuka, putri dari keluarga terpandang seperti Tuan Daud, pemuda tersebut haruslah ikhlas menyediakan setidaknya dua puluh Mayam emas paling minimal. Dan ini belum termasuk seserahan, uang hangus, isi kamar dan segala tetek-bengek lainnya. Untuk itu, Mahmud tentu harus punya brangkas dengan isi rupiah lebih seratus juta.

Mahalnya mahar wanita Achin inilah yang telah menyebabkan krisis batin sangat mendalam bagi para pemuda dan perjaka di negeri itu. Terlebih, bagi pemuda yang juga mengalami krisis finansial pada waktu yang sama. Umur mereka semakin hari, semakin bulan, semakin tahun, semakin sulit diajak berkompromi dengan waktu.

Jiwa-jiwa yang sejatinya sudah sangat siap menghujani seorang wanita dengan kasih sayang seakan kian dipersulit mendapatkan wadahnya. Tradisi mahar ini telah membelenggu jiwa-jiwa kesepian. Mencerabut harapan pemuda untuk membina kisah cinta yang halal dalam ikatan suci pernikahan.

Maka sangat tak heran jika jamaah para undangan terkejut saat mendengar lafaz ijab qabul Mahmud yang hanya berupa seikat mawar. Jamaah bertanya-tanya, “Apakah Tuan Mahmud sudah hilang akal? Atau ia sedang ikut-ikutan membuat sensasi demi mencalonkan diri di Pilkada tahun depan?”

Namun begitu, kejadian langka ini tentu saja membuat sebagian undangan sedikit bernafas lega. Terdengar bisik-bisik di antara undangan berpendapat, sederhananya mahar putri Tuan Daud ini akan menjadi momen inspirasi bagi orang tua lain untuk menikahkan anaknya dengan mahar yang sederhana, sehingga dapat menurunkan angka kesendirian dan krisis kesepian yang semakin tahun menunjukkan persentase kenaikan di Achin.

Sebagian lagi punya pendapat berbeda. Mahar berupa seikat mawar yang sederhana itu juga turut menyebabkan sebagian kecil tamu undangan berpikir menyimpang. Mereka menganggap mempelai wanita tidak lagi suci sehingga dinikahkan dengan mahar demikian kecil, untuk menyamarkan hal itu digunakanlah seikat mawar agar terkesan romantis.

Meski begitu, mayoritas para undangan tetap berpikir positif dan menganggap ini akan menjadi prosesi akad nikah dengan mahar paling unik dan romantis yang pernah mereka lihat semasa hidup mereka secara langsung di negeri dengan tradisi ketat seperti Achin. 

***

Sementara para undangan sibuk dengan pikiran dan pendapatnya masing-masing, para saksi nikah masih saling berpandangan dan belum juga memberikan jawaban berupa kata "Sah". Mahmud harus mengulang lafaz ijab qabul, yang sempat salah. Sudah tiga kali nafasnya terhenti di kalimat "seikat mawar". 

Para tetamu undangan beserta sanak famili yang berhadir di mesjid terlihat mulai keheranan, Fatimah juga mulai khawatir. Banyak yang tidak mengerti detik-detik sakral seperti itu. Maklum, yang berhadir kebanyakan masih lajang nan bujang yang merapat bersama kelompok kesepian.

Jantung Mahmud berdegub kencang. Keringat tampak mulai terpancar keluar dari keningnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya, Mahmud berusaha bersikap tenang dan mencoba mengulang kembali:

"Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kawin seikat mawar yang diikat dengan rantai emas 50 mayam dibayar tunai," ujarnya, seperti laporan inspektur upacara kepada komandan upacara. Tegas.

"SAH!"

Fatimah anak gadis Tuan Daud kini sah menjadi istrinya. Ia kini sudah melewati satu anak tangga, dari fase mencintai menjadi fase memiliki. Wajah Mahmud yang terlihat gelisah tiba-tiba berubah begitu menyegarkan. Tenang dengan sedikit senyuman. Berbeda dengan tamu undangan, mereka masih belum bisa memahami dengan cermat proses akad nikah yang semula sempat dianggap akad nikah dengan mahar sederhana, seikat mawar. Mahar yang tadinya terkesan romantis itu kini hilang. Lenyap bersama angan-angan tamu undangan. 

Sebagian besar tamu undangan yang tadinya keheranan menjadi terkejut. Tamu undangan yang datang bersama kesendirian hidup, kini lemas, seolah waktu sedang berhenti di tempat. Tanpa kemajuan. Tamu undangan yang berharap menemukan belahan jiwa. Para pemuda lajang yang sudah berkepala tiga; kelompok duda dan pria beristri yang sempat berpikir ingin membuka cabang kedua; mereka semua terdiam, menelan ludah pahit dalam-dalam. Gairah kehidupan baru yang sempat mereka rasakan beberapa saat hilang. Menyisakan kebingungan. Sebagian memaki dalam hati. Sebagian lagi memilih bersabar, sabar yang menyakitkan.

"Heh, sudah kuduga. Mana ada wanita yang mau dipersunting dengan seikat mawar...?" Gerutu Agam, seorang diantara para undangan yang tadi sempat berpikir menyimpang.

"Haha, kalau seandainya kau yang menjadi wanita, kau juga pasti tak mau hanya diberi seikat bunga, kan. Kecuali bunga bank...?" Seseorang menyela sambil menghadap Agam.

"Bukankah perempuan suka diberikan bunga, bukankah hal itu terlihat indah, bukankah dan bukankah, hal itu romantis bukan...?

"Romantis...? Jangan terlalu naif Gam, jangan terlalu banyak menonton drama India apalagi Korea. Film mereka hanya menumpulkan panca indera, khususnya realitas akan cinta dan perasaan. Kita tidak hidup di dunia khayal mereka. Bagi sebagian orang, seikat bunga juga simbol bagi sebagian laki-laki yang belum siap serius atau seperti dangkalnya otak kotormu yang sempat beranggapan bahwa calon istri Mahmud tidak lagi suci."

"Tidak serius bagaimana maksudmu...?"

"Laki-laki yang serius bukan memberinya bunga tapi kepastian."

"Yah, itu sudahlah pasti. Bukankah bunga itu sebagai tanda cinta, sedangkan kepastian itu adalah komitmen...?"

"Tahukah kamu Gam, mengapa mahar wanita di negeri ini sangat mahal...? Agar suaminya nanti tidak mudah bertingkah kurang ajar terhadap istrinya. Ia pun pasti akan berpikir ratusan kali jika ingin menjatuhkan cerai kepada istrinya, apalagi setelah memberinya mahar yang banyak. Bukankah perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah perceraian. Mahar yang besar bukan hanya untuk istri tapi bisa juga digunakan sebagai investasi bagi suami istri kelak jika dibutuhkan dalam keadaan mendesak."

"Bukankah Islam melekat kuat dalam tradisi negeri kita. Tidakkah tuan mendengar Sabda Rasulullah bahwa pernikahan paling berkah ialah pernikahan yang maharnya sedikit?. Seharusnya mahar juga disederhanakan seperti para sahabat Rasul yang dinikahkan hanya dengan mahar sepasang sandal, cincin besi, baju perang usang..."

"Apakah ada pemuda di negeri kita yang kecintaan dan ketangguhan imannya terhadap Islam seperti sahabat Rasulullah, Gam...?" Orang itu memotong kalam Agam dengan cepat, memutuskan kalimat yang belum sempurna terucap, lantas ia melanjutkan.

"Tahukah Kamu, mengapa anak perempuan dalam adat negeri ini mewarisi rumah dan disebut sebagai po rumoh, pemilik rumah? Itu agar jika ada keributan rumah tangga, maka bukan istri yang harus keluar angkat kaki dari rumah, melainkan suami. Adat dan tradisi kita terlalu menjaga kehormatan perempuan, Gam. Sudah sebijaknya bagi kedua pasangan untuk menjaga keharmonisan keluarga terutama suami, karena jika tidak, maka suaminya akan butuh modal besar lagi untuk melamar anak gadis lain di negeri ini," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Di saat Agam sedang terlibat diskusi alot, Mahmud dan Fatimah terlihat sedang melakukan sesi pemotretan setelah prosesi akad nikah berakhir. Agam masih juga belum menemukan hubungan antara kehormatan wanita, mahar yang tinggi dan membina rumah tangga. Bagi dirinya yang masih hidup dalam kegelapan perasaan dan dihimpit kesendirian, sulit mengerti teori rumah tangga yang rumit.

Mahar yang tinggi di negerinya itu membuat Agam dan laki-laki senasib dirinya hanya bisa menghadiri upacara dan pesta pernikahan, lalu pulang bersama kesepian. Agam masih belum mengerti, kesendirian yang terlalu lama telah membuat jiwanya tidak lagi sejalan dengan adat istiadat negeri. Adat istiadat telah melukai hatinya.

"Bagaimana dengan cinta...? Bukannya yang lebih dibutuhkan manusia khususnya wanita adalah cinta. Bukannya mahar yang tinggi...? Agam bertanya lagi setelah sempat terdiam beberapa waktu.

"Cinta itu bukan ucapan tapi wujud pembuktian, seberapa banyak lafaz cinta yang kau ucapkan akan tidak berarti tanpa pembuktian. Dan itu tidak cukup dengan seikat mawar, bukan juga segenggam mahar. Tapi setidaknya mahar menjadikan laki-laki terlihat lebih serius, terlihat lebih mapan dihadapan wanita."

"Baiklah tuan, saya tidak ingin memperpanjang perkara ini. Anggap saja saya sedikit mengerti. Apakah Tuan juga menikah dengan perempuan dari negeri ini...?

"Tidak. Belum. Saya sedang mencari bunga, siapa tahu ada diantara tamu undangan itu. Mencari bunga itu seperti meminta hujan di musim kemarau. Harus sering berdoa dan shalat minta hujan yang banyak. Barulah turun hujan."

"Apa hubungannya Tuan...? tanya Agam penasaran.

"Kalau enggak ada hujan, bagaimana mungkin bunga bisa tumbuh dan mekar"

"Hah....? Janganlah Tuan tunggu hujan turun, kita bisa tanam sendiri dan siram sendiri. Setelah itu barulah berdoa agar dia tumbuh dengan baik dan mekar dengan indah," kata Agam, ia melanjutkan.

"Tapi, saya rasa bukan itu masalah tuan. Saya rasa tuan juga belum berhasil mengumpulkan mahar seperti halnya saya," kata Agam mantap. Pria itu menunduk lama. Tak ada lagi jawaban. Tak ada lagi pembelaan. Kalimat terakhir itu menusuk dengan tepat. Kali ini Agam menang. Telak.

***

"Allahu Akbar... Allahu Akbar..." Azan Zuhur terdengar menggema mengisi seluruh lapisan perut mesjid termegah di negeri Achin. Alunannya beriringan, bersamaan saat seseorang menyentuh pundak Agam.

"Gam, Gam, Gaam," orang itu mulai menggoyang pundak Agam. "Bangun Gam, bangun. Lagi Azan, acaranya sudah selesai."

"Maharnya berapa Mat?" Rahmat terdiam saat ditusuk tajam pertanyaan tiba-tiba yang begitu cepat, ia tak berkata apapun. Alis tebalnya terangkat, dahinya berkerut. Rahmat mengingat-ingat maksud pertanyaan kawannya yang baru saja terjaga.

Melihat kawannya kebingungan, Agam mengulang pertanyaan. "Berapa mayam emas mahar Fatimah, Mat...?

"Seikat mawar"

"Serius...? Cuma seikat mawar, tanpa mayam emas. Yang benar saja Mat...?"

Rahmat mengangguk beberapa kali lalu berkata "Makanya kalau lagi prosesi akad nikah, Kau jangan tidur, jadikan pelajaran. Khususnya bagi jomblo dosis tinggi kayak dirimu itu, Gam."

Agam bangun dan tidak lagi memperdulikan ocehan Rahmat, berjalan menjauh. Agam terlalu senang, batinnya gembira. Hatinya terhibur, wajahnya tersenyum. Ia berharap akan ada orang tua lain yang terinpirasi dari sikap saudagar kaya seperti Tuan Daud dan membuat pemuda lain seperti dirinya mudah melamar seseorang.

Agam melangkah keluar mesjid. Mesjid megah berwarna dominan putih dengan kubah hitam itu sudah terlalu banyak menyaksikan sejarah. Dari sejarah cinta raja-raja dan penduduk negeri, hingga sejarah kelam Perang Belanda. Mesjid yang masih tegak berdiri itu juga masih dipaksa menyaksikan perang cinta melawan tradisi dan adat istiadat yang menyatu kuat dengan mahar yang tinggi.

"Tahukah kau Baiturrahman, hari ini cinta telah menang melawan tradisi." Begitulah batin Agam ketika menatap mesjid itu seakan berbicara dengannya. Ia berdiri gagah bak jendral perang Belanda yang baru saja mengalahkan serdadu negeri Achin di perang besar dulu.

Dari kejauhan Rahmat masih melihat Agam tersenyum sendirian di luar mesjid. Apa yang sedang dipikirkan Agam tidak seorangpun tahu, tidak juga dengan Rahmat. Ia hanya menatap kawannya itu dengan keheranan lalu berujar pelan.

"Agam bodoh. Benarkah ia tidak tahu bahwa maharnya Fatimah berupa seikat mawar yang diikat rantai emas 50 mayam? Biarlah, nanti dia juga akan tahu sendiri. Seharusnya dia ikut jejakku, nulis di Steemit, atau jika Bitcoin sudah diharamkan, kuyakin dia cocok jadi Youtuber, siapa tahu bisa kaya mendadak."[]

Note:
Sebelumnya sudah tayang juga di kmamesir.org