Aku pun buru-buru menuju tempat fotokopi di seberang jalan—yang tak begitu jauh dari kampus. Saat menyeberang jalan, tanpa sengaja aku menyenggol orang Mesir. Terjadilah pembicaraan yang intim di antara kami sepanjang jalan ini. Dari penampilannya pemuda ini tampaknya orang berpendidikan; rambut tersemir, baju-celana rapi, plus sepatu mengkilat. Ditopang penampilan menarik, abang ini tak kalah dengan petugas costumer service di perbankan.
Dia mulai memuji orang-orang Indonesia dengan luar biasa. Hal wajar saat orang Mesir bertemu dengan siapapun, mereka pasti akan mengeluarkan pujian setinggi langit. Walau sudah terbiasa, aku tetap terhanyut dalam langit pujian. Aku tahu tabiat mayoritas orang Mesir itu rusaknya luar biasa, namun aku tetap berusaha memujinya. Yah, hitung-hitung basa-basi yang kemungkinan berhadiah pahala.
Hal tak diduga terjadi, bukannya malah tersanjung dengan pujianku, ia malah menyanggah. Ia tidak sependapat. Baginya, orang Mesir itu tabiatnya kasar dan tak dapat dipercaya.
"Tidak, orang-orang Mesir itu kampret semua. Enggak ada yang bagus-bagusnya di sini. Beda sekali dengan negerimu, orangnya ramah dan lembut-lembut," ungkapnya.
"Tidak Kawan, banyak juga orang-orang baik di sini. Aku bertemu banyak sekali orang-orang baik di sini. Di negerimu ini."
"Tidak, tidak, kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit sekali," katanya dengan tangan yang bergerak entah kemana-mana. Intonasinya naik turun, nada suaranya meninggi. Aku terpaku di tempat, terdiam bagai tiang listrik pinggir jalan. Jika penyelenggara sebuah acara demonstrasi membutuhkan massa, pemuda ini sangat cocok berperan sebagai sounds system atau pengeras suara. Bahayanya jika tipe ini menjadi pendakwah, ia bisa menggait ribuan jamaah yang punya hobi yang sama, membakar apapun hanya dengan teriakan-teriakan.
Jujur saat itu aku beneran takjub, baru kali ini aku mendapati orang Mesir yang begitu jujur melihat bangsanya, bersemangat mencela penduduk negerinya sendiri. Biasanya, seburuk apapun Mesir ini, mereka tetap menyebutnya "ummut dunya", tak pernah mencelanya. Aku merasa "pendakwah" ini sudah bertaubat sebagai orang Mesir garis keras atau mungkin ia sedang dalam hijrah menjadi orang Mesir garis lucu, entahlah.
Setelah berhenti "berdakwah" dengan menghina orang Mesir yang katanya kurang ajar semua. Ia memberiku beberapa tips agar tidak mudah percaya kepada orang Mesir yang menurutnya tak bisa dipercaya. Sebagai jamaahnya yang taat dan dibikin takjub dari awal, aku menyimak tipsnya dengan khidmat. Hening dimulai.
"Jika Kamu mendapati orang Mesir yang mengganggumu. Meskipun kecil, kamu harus melawan. Kamu pegang bajunya seperti ini," katanya sambil menarik baju depan. Ia kemudian kemudian memukul pundakku.
"Jika Kamu ada masalah apapun, datanglah ke tempatku. Aku tinggal di ujung sana, tidak jauh dari sini," ia menunjuk deretan toko di depan. Aku mengangguk dan sangat berterimakasih. Sebagai pendawah, kurasa ia sangat sukses, bukan hanya memberikan retorika, ia juga mengajari ilmu praktek terapan, seperti yang dilakukan padaku.
Kami pun saling berpamitan.
Kami pun saling berpamitan.
Selang beberapa langkah, aku seperti merasakan hawa atmosfir yang tidak enak. Aku langsung meraba-raba kantong celana. Sialan, hp-ku hilang. Bagai tersambar petir, mataku langsung mencari sosoknya.
Beruntung, ia masih di sana. Berdiri di samping mobil seperti orang bersembunyi. Ia melihatku. Aku melihatnya. Kami saling bertatapan mata. Ada perasaan yang begitu dalam saat memandang wajahnya. Mungkinkah ini yang namanya cinta? Apa-apaan ini? Salah, salah, aku sangat emosi saat itu.
Dengan nada tinggi, aku meminta kembali hp. Entah jebolan dari kampus kriminal yang mana, ia malah tersenyum dan berteriak dengan rasa bangga, tanpa rasa bersalah.
"Gimana...? Kamu enggak sadar saat aku ambi hp-nya kan...?" Aku diam sejenak, mereka ulang, apa sebenarnya yang telah terjadi. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin berteriak di mukanya saat itu juga, kalau perlu dengan TOA mesjid.
"Iya... Iya... Orang Mesir memang yakhrib beit semua, kayak Elo."
Aku urungkan niat tercela ini, aku tahu tidak semua orang Mesir seperti dirinya. Sepanjang perjalanan pulang, aku seperti berzikir, sibuk mengulang-ngulang lafaz "Mesir yakhrib beit, Mesir yakhrib beit," hingga ribuan kali. Tak terhingga. Asam.[]
Pengalaman lain: Nenek Tua Mesir yang Menginspirasi.
Seringkali kita harus introspeksi diri, melihat kejadian sial yang kadang menimpa kita sendiri dengan hikmah. Aku bersyukur tidak benar-benar kehilangan hp di tanganku ini. Hari itu, Allah mengajarkanku untuk lebih waspada dan berhati-hati lagi. Sekali lagi, pepatah jangan pernah menilai orang dari cover membuktikan daya magisnya, dan aku korbannya.
Pengalaman lain: Nenek Tua Mesir yang Menginspirasi.
EmoticonEmoticon