Bapak Tiffatul Sembiring membaca doa di sidang tahunan MPR. (Gibran Maulana Ibrahim/detikcom) |
“Gemukanlah badan beliau Ya Allah karena kini terlihat semakin kurus padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja untuk maju terus agar menjadi bangsa yang adil makmur dan sejahtera," begitulah Bapak Tiffatul Sembiring berdoa yang ditujukan untuk Presiden Jokowi. Beberapa anggota dewan yang sedang khusyu' berdoa terlihat dan terdengar tertawa.
Lebih jauh ia melanjutkan doanya untuk Wakil Presiden Yusuf Kalla. "Ya Allah bimbinglah wakil presiden kami Bapak Yusuf Kalla meskipun usia Beliau sudah tergolong tua tapi semangat beliau tetap membara," doanya lagi.
Bapak Tiffatul Sembiring dalam wawancara dengan awak media memang menyebutkan tidak memiliki maksud tertentu.
"Memang saya amati makin kurus aja ya kan, saya doain supaya gemuk. Boleh kan," katanya seperti dikutip dari tribunnews.com. "Doanya supaya dikabulkan oleh Allah," lanjutnya lagi.
Walaupun begitu, setelah melihat video doa Bapak Tiffatul Sembiring dalam sidang tahunan MPR yang juga dihadiri langsung presiden dan wakil presiden, hari ini saya baru sadar, ternyata cuma begini kemampuan berbahasa yang baik dan santun seorang mantan presiden sebuah partai. Seharusnya jika ingin mendoakan kebaikan seseorang sebaiknya memakai kalimat-kalimat yang sopan dan tidak menyinggung fisik.
Saya sangat percaya bapak yang pernah duduk di pimpinan tertinggi partai itu punya niat baik, sangat baik malah: mendoakan kebaikan untuk pemimpin. Kita hanya bisa berhusnudhan. Namun sayang, Bapak Tiffatul Sembiring memakai bahasa yang kurang tepat, di tempat tidak tepat. Acara resmi kenegaraan.
Dari pada memilih kata-kata baik seperti "Semoga selalu diberi kesehatan dan umur panjang", ia lebih memilih kata-kata menyindir fisik "Gemukanlah badan beliau Ya Allah karena kini terlihat semakin kurus..." dan "Ya Allah bimbinglah wakil presiden kami Bapak Yusuf Kalla meskipun usia Beliau sudah tergolong tua tapi semangat beliau tetap membara..."
Kata-kata "Gemukkanlah, kurus atau tergolong tua" bisa dihaluskan dengan kalimat lebih santun dan sopan seperti, "Semoga presiden dan wakil presiden selalu sehat dan panjang umur" atau ungkapan santun sejenisnya. Ini bukan hanya masalah etika berbicara di depan umum, malah lebih besar dari itu. Bapak Tiffatul sedang berdoa. Pengharapan yang sakral kepada Tuhan. Dan pemilihan kata-kata Bapak Tiffatul sungguh tidak tepat (walaupun didasari dengan niat baik).
Kata-kata dalam doa yang tidak tepat itulah akhirnya menjadi bahan tertawaan dan lelucon seluruh negeri. Melalui doa,beliau seolah sedang melakukan stand-up comedy. Dan ini menjadi contoh yang buruk dari seorang pejabat publik. Ini terkait etika dan kepantasan.
Sebagai mantan menteri komunikasi dan informatika, seharusnya beliau paham betul hal-hal sakral nan sensitif terkait etika berkomunikasi. Dan sebagai mantan presiden salah satu partai Islam, beliau seharusnya tahu tata cara berdoa yang baik dan benar di depan publik saat acara resmi. Masak seorang yang diustadkan di kalangan partai Islam, ini saja tidak mengerti?
Tapi apalah daya, dalam sejarahnya, politik memang bisa merusak apa saja. Termasuk doa-doa yang sakral. Mungkin, sudah saatnya doa-doa di momen apapun, khususnya acara resmi kenegaraan, tidak lagi dipimpin politisi.
Kita hanya berharap niat Bapak Tiffatul Sembiring ikhlas dan tanpa maksud "jelek" tertentu. Niat seseorang siapa yang tahu kan? Dan kalaupun tidak menggunakan bahasa yang pantas pada tempatnya, anggap saja sebagai kekhilafan tak disengaja. Pokoknya anggap saja seperti itu.
Jika tidak begitu, anggap saja berangkali Bapak Tiffatul Sembiring sedang berusaha menyalurkan bakat komedinya yang tidak ditampung di DPR. Beliau hanya menyalurkan bakat terpendamnya saja. Sayangnya, disalurkan di saat yang salah.[]
Jika tidak begitu, anggap saja berangkali Bapak Tiffatul Sembiring sedang berusaha menyalurkan bakat komedinya yang tidak ditampung di DPR. Beliau hanya menyalurkan bakat terpendamnya saja. Sayangnya, disalurkan di saat yang salah.[]
Sebuah doa haruslah menjadi sebuah pengharapan yang sakral, karena doa-doa itu dilangitkan kepada Tuhan, kepada Allah, bukan kepada presiden atau wakil presiden.