Para Pembunuh Tuhan?

Bintang.com


Dulu, ketika revolusi industri sukses di Perancis, lalu menjalar hingga ke pelosok-pelosok Erop. Masyarakat Eropa perlahan mulai meninggalkan zaman kegelapan, menjauhi kebodohan dan hal-hal berbau tahayul. Saat itulah kemudian paham atheisme mulai berkembang pesat, mereka berpendapat bahwa Tuhan telah mati.



Tokoh-tokoh anti Tuhan seperti Karl Marx bermunculan. Mereka berkampanye hingga ke jalan-jalan: "Tuhan hanyalah mitos dan tahayul. Tuhan sudah mati dan kalaupun Tuhan belum mati, tugas kita untuk membunuhnya." Begitulah kata Karen Amstrong dalam buku fenomenalnya Sejarah Tuhan. Bagi tokoh-tokoh pejuang atheisme, Tuhan telah tiada, dan menjadi tugas mereka mengkampanyekannya.



Hari ini, berselang beberapa abad, ketika zaman melangkah jauh semakin canggih lagi. Muncul sekelompok manusia-manusia baru yang seolah-olah sangat mencintai Tuhan. Mereka bahkan bertindak lebih jauh, berbuat aniaya menggunakan nama Tuhan, membunuh memakai kalam Tuhan, kezaliman demi kezaliman terjadi, dan panji-panji Tuhan dikibarkan dengan cara-cara keji.


Kelompok-kelompok mereka seperti Abu Bakar Al-Baghdadi seolah mengklaim diri paling mewakili Tuhan. Hukum ISIS adalah representasi murni titah Tuhan yang paling tinggi. Tidak boleh dilanggar. Mereka membakar, menyembelih, membunuh jiwa tak berdosa, mengebom dan melakukan teror dengan teriakan nama Tuhan. Mereka tidak hanya membunuh manusia-manusia anti Tuhan, berbeda Tuhan, bahkan manusia dengan Tuhan yang sama juga disembelih  secara biadab.

Saat kelompok atheisme merasa angkuh saat melenyapkan Tuhan, kelompok Al-Baghdadi dan sejahannam dengan mereka malah mencoba "menciptakan" Tuhan jenis baru. Tuhan yang menyuruh manusia berbuat keji dan membunuh jiwa tak berdosa. Mereka memahami Tuhan dengan sangat dangkal. Tuhan dipahami sebagai pencipta yang keji, pembunuh yang biadab. Bukan Tuhan yang Maha Pengasih seperti yang kita kenal. 

Di tanah Arab, tempat lahirnya tiga agama samawi misalnya, jutaan orang telah terbunuh dan teraniaya akibat ulah mereka yang katanya sedang berkampanye untuk Tuhan. Sampai sekarang pembantaian itu masih belum berhenti, malah semakin berembes ke berbagai negara seperti di Eropa, hingga akhirnya tiba juga di Jakarta. Seperti hari ini di Kampung Melayu.

Jika saja tokoh atheisme seperti Karl Marx bangkit dari kubur, dia mungkin akan menyindir kelompok-kelompok seperti Abu Bakar Al-Baghdadi ini.

"Untuk apa bertuhan, jika harus bertuhan kepada Tuhan yang maha keji. Lihatlah mereka, untuk membunuh manusia tak berdosa saja harus bawa-bawa nama Tuhan."

Dalam hal ini, kata-kata Karen Amstrong selalu benar "Agama memang tidak meracuni apapun, tapi apapun bisa meracuni agama."



Entah ideologi mana yang lebih busuk? Ideologi pembunuh Tuhan atau ideologi yang menjadikan Tuhan sebagai alat pembunuh? Siapakah yang sebenarnya telah membunuh Tuhan? Entahlah. Yang pasti, mereka sama-sama telah melecehkan pengertian Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.[]


Hubungan Akal dan Cinta dalam Islam

shunvmall.com

Dalam Islam, akal memiliki peranan sangat amat penting dalam proses keimanan seorang muslim. Seorang hanya akan dianggap sebagai mukallaf—muslim yang dibebankan hukum Islam kepada dirinya—jika akal dan pikiranya berfungsi. Akal menjadi salah satu syarat mukallaf. Akal dan segala proses berfikir inilah yang nantinya akan melahirkan keimanan.



Bukan hanya itu saja, akal adalah piranti lunak yang juga berfungsi untuk menggiring perasaan. Segala jenis perasaan seperti benci dan cinta lahir setelah melewati proses penyelidikan di bagian otak.


Manusia sangat paham hubungan antara sistem operasi otak (baca: akal) dan perasaan ini, sehingga jika saja ada kasus kekerasan atau kekejian yang melewati batas kita kerap mengumpat pelakunya dengan sebutan "Hana akai, lagee ureung hana utak," kayak orang enggak ada otak, dan sebagainya. Otak atau akal menjadi objek yang terus akan dihakimi terkait manusia yang tak punya rasa belas kasihan. 

Ulama muslim sendiri berbeda pendapat terhadap letak akal itu sendiri, apakah akal letaknya di otak atau di hati. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akal letaknya di otak, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Malik berkeyakinan bahwa akal itu berada di hati, hatilah yang mengirim sinyal ke otak.

Allah telah menciptakan alat yang sangat canggih berupa akal untuk berfikir yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, terutama binatang. Tanpa penggunaan akal yang baik inilah kita cenderung berperilaku hewani, sehingga lahirlah ungkapan-ungkapan jahat seperti: "Kayak binatang atau seperti enggak punya hati" terhadap perilaku tidak manusiawi dan jauh dari sifat kasih sayang. Akal inilah yang menuntun kepada hubungan cinta dan kasih sayang.

Islam menjelaskan hubungan akal dan kasih sayang dengan sangat baik. Dalam kitab Makarimul Akhlak karya Zainab Abbas Zaki dijelaskan bahwa kata-kata "al-Ilmu (ilmu)" hampir tidak pernah ditemukan dalam Al-Quran melainkan selalu berdampingan dengan kata-kata "Ar-Rahmah" yang berarti kasih sayang. 

Seperti surat Ghafir ayat 7,
"Ya Tuhan kami, rahmah dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu.” 

Atau surat al-Kahfi ayat 65,
"Lalu mereka berdua bertemu seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang telah kami beri rahmah kepadanya dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi kami."

Secara tidak langsung Al-Quran ingin menjelaskan kepada manusia bahwa orang-orang yang berakal dan berilmu sangat dekat dengan nilai-nilai kasih sayang—walaupun ayat-ayat Al-Quran lain dan hadis Nabi sangat banyak berbicara tentang cinta dan kasih sayang.

Akal inilah yang selayaknya kita gunakan dengan baik untuk mencapai cinta dan rahmah Allah dengan cara berkasih sayang kepada sesama, khususnya sesama muslim (bukan sesama jenis ya, kalau ini nauzubillah).

Tanpa akal, kita tidak bisa berfikir, menjadi pribadi berilmu dan beriman. Bahkan kita hampir mustahil pribadi yang saling jatuh cinta.
Baca Juga: Sesuai Fakta Al-Quran, Penelitian Modern Mengungkapkan Ternyata Hati Juga Berpikir


*** Note:
Sebelumnya sudah saya muat juga diinstagram saya @farhanjihadi.

Apakah Kita Akan Menyambut Ramadhan Dengan Kebencian?

mexatk.com


Rasanya saya mulai merindukan lagi masa-masa awal menggunakan media sosial. Time line saat itu hanya penuh dengan hal-hal yang berbau romantis, status cinta kegalauan anak muda, kata-kata bijak, kebanyakan sahabat di media sosial terutama facebook malah berlomba menciptakan dan menyebarkan kebaikan.



Sekarang, sebagian kita sedang diliputi rasa kebencian yang tak terkontrol. Kita seolah-seolah lupa bagaimana caranya bersikap baik tanpa menyakiti hati yang lain. Kita merasa bahwa cuman hati dan perasaan kita yang harus dijaga.



Dulu orang-orang suka melampiaskan rasa cinta melalui status, terkadang terkesan lebay hingga membuat kita tersenyum sendiri. Sekarang, orang-orang seakan lebih suka menggunakan media sosial sebagai tempat pelampiasan amarah, tempat menumpahkan kata-kata kotor. Puisi-puisi cinta lalu berubah caci maki. 


Facebook, Twitter, Instagram, hingga grup-grup WA penuh dengan perdebatan tak lagi sehat dan mencerdaskan. Media sosial berubah menjadi tempat penampungan kata-kata sampah. Sialnya lagi, layaknya kebaikan, kebencian juga menular. Maka tak heran banyak di antara kita semakin terseret dalam lingkar kebencian tak bertepi ini.

Saya sempat berharap bahwa pasca Pilkada dan pemutusan vonis, dunia maya sedikit mendingin dan segar. Namun, ternyata sebaliknya. Kisruh dan pertikaian berlanjut, semakin menjadi-jadi. 

Sekarang coba lihat, sekumpulan kita berubah seperti sekump ulan manusia yang doyan mencekik sesama. Lebih keji lagi, sebagian dengan seperti senang melahap daging saudaranya sendiri. Sarapan kita hanya berupa pertikaian demi pertikaian, caci maki, saling kutuk, melempar laknat, fitnah-fitnah, dan entah apa lagi.

Kita barangkali umat yang sedang sekarat, terluka. Sakit. Kita ini hidup dan bertumbuh dalam lingkungan ajaran Rahmatan lil ‘alamin. Namun, akhir-akhir ini rasanya ungkapan laknat melaknat lebih dominan terdengar daripada rahmat. Kita seperti berkeyakinan bisa meraih keagungan Tuhan dengan setiap postingan saling hina dan melempar laknat. Padahal, sebentar lagi kita akan berjumpa Ramadhan, bulan sakral yang penuh rahmat dan maghfirah. Sampai kapan kita akan terus begini? 

Melihat Mesir

Di Mesir, menjelang Ramadhan seperti sekarang, geliat kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah semakin terlihat. Jalanan, toko, rumah dan mesjid-mesjid berhias; mesjid-mesjid dipenuhi jamaah yang beri’tikaf, shalat dan mengaji. Kebersamaan antar sesama masyarakat Mesir terlihat. Banyak Mesjid mengadakan buka puasa bersama Senin-Kamis, seperti di mesjid Sayyidina Husein.

Beberapa waktu lalu kami berkunjung ke Rumah Matarea. Rumah ini dihuni puluhan mahasiswa Aceh yang sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar. Ketika itu beberapa orang Mesir juga datang bertamu, mereka memberikan bantuan berupa makanan pokok hari-hari untuk menyambut Ramadhan. Mereka bahkan menyatakan akan datang lagi untuk memberi bantuan lainnya.

Dalam perjalanan pulang menggunakan Metro, saya menyaksikan banyak orang khusyu’ membaca Al-Quran. Hari biasa, saya hanya melihat satu dua orang yang membaca Al-Quran. Namun, di bulan Sya’ban antusias beribadah warga Mesir mulai terlihat, lebih-lebih saat tibanya Ramadhan.

Di saat rakyat Mesir bergembira, berpesta menyambut Ramadhan dengan semangat beribadah yang kian gencar. Di saat Mesir menyambut Ramadhan dengan meningkatkan nilai ibadah dan menjalin rasa kebersamaan, apakah kita akan menyambut Ramadhan dengan rasa kebencian? Jika politik bisa mengoyak nilai persaudaraan, mengapa Islam dan Indonesia tidak bisa menyatukan? Atau mengapa Islam dan datangnya bulan Ramadhan belum bisa mengeratkan ukhuah islamiyah dan ukhuah indunisiah kita.

Saat ini kita masih dalam atmosfir Sya’ban dan jarak Ramadhan hampir tersisa hitungan jari-jari tangan. Rasulullah Saw pernah menyebutkan bahwa Sya’ban adalah bulan untuk mengagungkan Ramadhan. Nah, bagaimana caranya kita akan mengagungkan Ramadhan, jika sekarang kita saling merendahkan?



Suasana berbuka puasa bersama Senin-Kamis di Mesjid Sayyidina Hussein





Note:
Meskipun menulis ini, bukan berarti saya tak pernah marah. Salah besar bila menganggap saya tak pernah marah, memaki, mencela dan sebagainya. Sebagai manusia saya pernah melewati batas, bahkan lebih parah. Namun, bukan berarti saya tak boleh menulis hal seperti ini.

Anggap saja ini ditulis sebagai pengingat dan renungan diri sendiri, tidak salah juga jika ada yang ingin menganggap ini sebagai pencitraan. Mungkin suatu saat saya akan mendaftar sebagai Caleg, atau seperti harapan paling kecil saya "Semoga saja ada calon mertua yang membacanya."


Jika ingin mengkritik, kritiklah tanpa harus memaki atau melaknat, apalagi memfitnah. Selamat menyambut Ramadhan. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan, disengaja atau tidak.