Sinopsis Tari Rapai Geleng (Bahasa Inggris)

Rapai Geleng Dance

Rapai Geleng’s name is combined from two words. “Rapai and Geleng”. Rapai (rapa-ee) is a special kind of tambourine used to accompany songs and dances. It made from wooden frame, with a pair of small metal jingles fixed on it. One of its sides covered with leather layer. “Geleng” itself is an Acehnese word which means “to shake one’s head”.

Rapai Geleng is a dance created especially with this tambourine as its main identity. Almost all of its moves combined with Rapai beats, which control its speed and movement types. A song with islamic teachings also accompanies the dance.

Aside of entertaining the audience, most Acehnese dancer. The songs which accompany the dance contain messages about local community values, which are strongly influenced by islamic teaching.

Rapai Geleng dance has three main section. First section is greeting, in this section the team is asking for permission to start the performance. Starting with islamic greeting such as “Salam ‘Alaikom”. Then, second section is the “body” of this dance. Usually contained the messanges or any other song suited with the occasion. And the last section, dancers asking for permission to leave and apologizing for any mistakes mede in the show.

Rapai Geleng movements basically consist of four types; slow, quick, rapid, and silent. These types of movement describe the dynamic rhythm of life in any community. Each community member has to follow the rhythm so there will be no crash happen. If anyone want to differs, he has to find his own way without blocking someone else’s way. If not, the rhythm will be ruined, and all the dances will end in a total mess.

Rapai Geleng is one of many cultural dances know in Aceh society. But the dance now spread all over Indonesia, learned and taught in many schools, universities and cultural centers.


***

Inilah profil singkat tari Rapai Geleng yang sudah dialihbahasakan oleh Keluarga Mahasiswa Aceh Kairo-Mesir. Perkumpulan Keluarga Mahasiswa Aceh ini memiliki komunitas seni yang digagas oleh mahasiswa-mahasiswa Aceh penggiat seni pada tahun 2009. Aktifitas komunitas ini semakin menggeliat setelah dibentuknya wadah berupa Sanggar Aneuk Nanggroe Egypt. Sanggar ini sendiri bernaung langsung di bawah Keluarga Mahasiswa Aceh Kairo-Mesir dan sampai sekarang komunitas sanggar ini masih aktif menyebarkan kesenian indatu Aceh di bumi para nabi ini.  

Semoga sinopsis singkat yang saya tulis ulang ini bisa bermanfaat bagi kita semua, terlebih para penggiat seni tari tradisi. Dan tentu besar harapan kita semua agar tarian Rapai Geleng ini segera menyusul Tari Saman Gayo yang telah duluan menggetarkan dunia dan diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia tak benda pada Maret 2010 lalu. Semoga.[]


Puisi: Doa untuk Aceh

Foto: forbes.com

Untukmu Aceh,
Aku berdoa
Bermunajat

Tuhan,
Pilihlah kami pemimpin,
Tidak harus shaleh,
Berani,
Jujur dan amanah.

Cukup orang yang waras,
dari ras manusia.
Bukan dari golongan hewan
Apalagi dari kelompok setan.

---
Farhan Jihadi
Cairo,
27 Agustus 2016

Subuh Amat

Gambar: google

Menjelang fajar. Cahaya jingga buram belum mewarnai angkasa. Purnama di ujung timur masih tenang di posisinya, berbaur mesra bersama bintang-gemintang. Ayam Pak Syuib yang biasanya berkokok berbarengan lantunan azan belum terdengar nyaringnya. Suasana komplek Darussalam tampak masih senyap. Hening, sehening dan setenang air di bak mandi. Sebelum akhirnya sebuah gayung dicelupkan, airpun bergelombang. 

Seorang pemuda yang masih memakai sarung tidur mengambil air untuk berwudhu. Tubuhnya masih lemas. Saat air dingin menyentuh wajahnya, mata pemuda itu juga belum terbuka sempurna. Tubuhnya sulit digerakkan. 

Subuh ini teramat istimewa bagi Amat. Setelah sekian lama, tekadnya untuk bisa shalat subuh berjamaah akhirnya terwujud. Ada perasaan gembira saat tahu bahwa dirinya terjaga sebelum ayam Pak Syuib berteriak lantang, pemuda itu menang pagi ini. Ingin rasanya Amat meluapkan ekspresi kemenangannya dengan pergi ke kandang ayam Pak Syuib, membuka pintunya lalu bersorak kencang di wajah spesies bersayap tersebut. Amat begitu ingin memaklumatkan bahwa ia menang pagi ini. 

Amat terlalu benci dengan ayam Pak Syuib, tetangganya. Saban hari ayam tersebut mengolok-olok kebiasaan jeleknya. Biasanya ayam tersebut sudah kenyang mencari makan saat Amat baru terjaga dari tidur yang panjang. Setelah kenyang, ayam-ayam itu sering bermain di depan kamar Amat, tak jarang mereka malah membuang kotorannya di atas sandal Swallow miliknya. Itu membuat Amat tambah benci dan sakit hati. Subuh hari adalah kekurangan Amat. 

Shaf-shaf pertama shalat subuh Mesjid An-Nur selalu kosong dari sosok Amat. Sudah terlalu lama rutinitas ibadah mulia tersebut ditinggalkannya. Hari ini Amat menciptakan sejarah, Ia bangun lebih cepat dari siapapun termasuk Pak Syuib dan ayam-ayamnya yang sangat ia benci itu. 

Banyak orang beranggapan bahwa beruntung dianugerahi tidur nyenyak layaknya Amat. Ia bagian dari segelintir manusia langka di muka bumi, dimana jika sudah tidur Amat akan lupa bagaimana caranya bangun. Bagi sebagian orang mungkin berpendapat seperti itu, tapi tidak bagi Amat. Baginya ini sebuah musibah. Bencana. 

Amat tidak terlalu mempermasalahkan tidurnya, bahkan ia senang rasanya bisa tidur seperti itu. Banyak orang harus minum obat khusus atau berkonsultasi dengan dokter spesialis agar terlelap dengan nyenyak. Hal ini tidak berlaku bagi Amat, ia terkadang bersyukur dengan kondisinya. 

Namun situasi ini tidak berlangsung lama, suatu hari ia meyadari ada hal luar biasa dalam shalat subuh berjamaah. Tidak bisa terjaga untuk berjamaah shalat subuh merupakan sebuah petaka. Ada rahmat Allah luar biasa dalam barisan shaf jamaah shalat subuh, sama seperti rahmat Allah terhadap ayam-ayam liar Pak Syuib. Amat tahu, tapi tetap saja ia tidak bisa merubah kebiasaan indahnya itu. Ia sulit merebut rahmat Allah yang sering didapat ayam-ayam Pak Syuib. Saat azan subuh berkumandang, ia tetap bertahan di posisinya sebagai “mayat hidup”. 

Amat mulai berusaha berubah saat mendengarkan khutbah jum'at seorang ustad yang mengatakan ada pahala dan rahmat Allah yang tak terhingga dalam shalat subuh berjamaah. Ustad tersebut juga menambahkan orang-orang Yahudi tidak akan pernah takut kepada umat Islam jika jamaah shalat subuh tidak sebanyak jamaah jum'at. Penceramah muda itu telah sukses membakar semangat Amat. Kalau saja ustad itu tidak menyala-nyala dalam menyampaikan nasehat, bisa dipastikan Amat akan tertidur bersandar di tiang mesjid dan berpetualang dalam mimpi-mimpinya. 

Dulu ada Rizal, kawan sekamar yang setia membangunkannya untuk shalat subuh berjamaah. Rizal sudah menjadi kawan dan jam waker setia bagi Amat. Rizal tak perlu besusah payah seperti waker tua yang tergeletak di pinggir ranjang Amat. Segelas guyuran air selalu bisa menjadi obat mujarab untuk membuyarkan mimpi-mimpi indah Amat. Awalnya Rizal enggan dan tidak tega dengan cara seperti itu. Amat sendiri meyakinkan untuk mengeksekusinya seperti itu. 

"Jal, kau taukan betapa shalat subuh berjamaah itu sangat penting. Nah, besok tolong kau siram mukaku pake segelas air," pesan Amat memohon. 

"Kalau tidak bangun juga, apa harus kupanggil pemadam kemari, membanjiri kamar kita ini Mat...?" 

"Aku serius. Aku pasti bangun, cuma itu caranya," tambah Amat meyakinkan. 

"Pasti...? yang pasti itu cuma janji Allah Mat. Janjimu mana pernah ada kepastiannya.” 

"Aku yang akan marah kalau kau tidak melakukannya Jal...!" 

"Terserah kau sajalah. Kalau ngak bangun juga, Besok bisa kutambah bubuk cabe ke dalam air itu, Mat." 

“Iya Jal. Kalau perlu Kau tambahkan juga irisan bawang, potongan tomat plus kecap manis. Pokoknya aku harus bangun. Bagaimanapun caranya, yang penting jangan Kau ajak ayam-ayam Pak Syuib itu bersamamu.” Rizal tertawa mendengar ocehan kawannya itu. Rizal tahu bagaimana rasa benci yang sangat dalam Amat terhadap ayam-ayam Pak Syuib. 

Setelah hari itu, Amat mulai rutin shalat subuh berjamaah bersama Rizal. Yah, tentu saja setelah guyuran segelas air ke wajahnya. Mesjid An-Nur yang berdekatan dengan kost mereka menjadi pilihan mereka untuk melaksanakan subuh berjamaah. Kalau bukan adanya rahmat Allah luar biasa dalam jamaah shalat subuh seperti pesan Rasulullah. Ia pasti tak akan mengizinkan Rizal menyirami wajahnya tiap hari seperti itu.
 
Keadaan kemudian berubah. Semenjak ia ditinggal pulang kampung oleh Rizal, Amat kembali ke tradisi lama. Weker yang selalu disetel setiap jam lima pagi hanya menjadi hiasan. Sama sekali tidak berguna melawan tidur maut Amat. Tak cukup itu, alarm di handphone-nya juga diset dengan waktu yang sama dengan weker hijau miliknya itu. Pukul lima tepat, kamar itu riuh tak karuan. Kedua alat itu bersaing menjadi juara membangunkan pemiliknya. Amat lagi-lagi juara dalam persaingan itu, weker dan handphone kalah telak. Berulang-ulang setiap pagi. 

Bisa tidur dimana saja dan dalam kondisi bagaimanapun merupakan kelebihan Amat. Tak berlebihan rasanya jika kawan-kawan Amat memilih menjulukinya “mayat hidup”. Mayat hidup hanyalah panggilan konyol temannya setelah tahu kondisi Amat yang tidur seperti orang tak bernyawa. Suatu ketika teman kampus pernah mengerjainya, Amat dibiarkan tertidur di ruang setelah kuliah bubar. Ia terbangun bersama azan magrib berkumandang di mesjid kampus. Kejadian itu tidak lantas membuatnya jera, minggu selanjutnya dia tertidur lagi. Akhirnya, temannya yang jera dibuatnya. 

Saat kecil Ibu Amat sering menidurkannya dengan bacaan ayat-ayat suci Qur'an, sesekali syair Prang Sabi dari lisan lembut ibunya membawa dirinya terlelap. Ibu Amat tidak pernah berhenti mengaji dan mendendangkan syair hingga Amat hingga ia pulas dalam ayunan. Mungkin inilah penyebab Amat memiliki kapasitas tidur yang extra luar biasa. 

26 Desember beberapa tahun lalu, Amat masih ingat saat begadang di malam minggu bencana itu. Ia tidur setelah melaksanakan shalat subuh. Pagi hari disaat orang-orang berhamburan keluar dari gedung menyelamatkan diri dari gempa bumi, tidak ada yang menyadari Amat masih tertidur pulas di lantai dua sebuah asrama sekolah boarding school Banda Aceh. Dahsyatnya goyangan gempa semakin menyenyakkan tidurnya, sama seperti saat ibunya mengayun-ayunkan ayunan tidurnya waktu ia kecil. 

Beruntung bagi Amat, gempa besar tersebut tak merobohkan asrama. Beruntung juga tsunami yang datang sesaat kemudian masih menyisakan gedung itu beserta Amat di dalamnya. Jika saja Allah tidak menyayanginya. Bisa saja namanya akan terpajang indah di Museum Tsunami sebagai salah seorang korban malapetaka. 

Amat sudah berusaha mencoba menghilangkan kebiasaan jeleknya ini. Ia tidur cepat setelah selesai Shalat Isya, tapi hasilnya nihil. Ia tetap terjaga sendiri pukul 8 pagi. Amat selalu mengeluhkan hal ini pada Rizal. 

"Mengapa ada obat biar cepat tidur tapi tak ada obat biar cepat bangun tidur" 

"itu PR buatmu mat, kau yang harus menemukan obatnya...!" 

Namun, hari ini berbeda. Amat bangun sebelum azan berkumandang. Sebelum ayam-ayam Pak Syuib berkokok. Ia masih memakai sarung tidur saat hendak mengambil air wudhu di bak mandi. Tubuh Amat masih lemas. Saat air dingin menyentuh wajahnya, mata pemuda itu juga belum terbuka sempurna. Tubuhnya sulit digerakkan. 

Amat gembira. Ia bangun sebelum azan berkumandang, sebelum ayam-ayam Pak Syuib mengganggunya. Ia melangkah ke Mesjid An-Nur, melewati kandang ayam Pak Syuib. Amat tersenyum, kali ini ia merasa juara. 

***
 
Matahari mulai mengintip dari ujung timur saat seorang pemuda dengan ransel besar dipundaknya masuk ke sebuah kamar. Alarm masih terdengar meraung-raung saat ia mulai membuka jendela kamar. Cahaya indah matahari masuk penuhi seisi kamar. Ia membuka botol air mineral yang sedari tadi di genggamnya. Pemuda itu menuang air ke sebuah wajah yang masih tertidur polos di atas ranjang. Menyadari air menyentuh wajahnya sontak sosok tertidur itu terjaga. 

"Tsunami...Tsunami... Tsunami..." Teriaknya mencakar-cakar udara. 

"Tsunami gundulmu, shalat subuh dulu sana, Mat...! Sudah syuruq tuh."[]


_______
Note:
Cerpen ini pernah di muat di web kmamesir.org

Amin, Aman dan Eropa

Gambar: flickr.com

Aman dan Amin menelusuri jalan-jalan, melewati lorong-lorong. Mereka  berjalan kaki sambil mengobrol macam-macam.

“Lihat Min, negeri ini begitu kotor. Kumuh dan jelek. Sampah berserakan dimana-mana. Tidak ada seorangpun yang peduli, apalagi pemerintah” Keluh Aman sambil membuang bungkusan rokok di tengah jalan yang mereka lalui. Amin tidak peduli. Tanpa sepengetahuan Aman, Amin memungut bungkusan rokok itu lalu membuangnya ke tempat sampah.

Mereka kemudian berbelok ke kiri. Menelusuri lorong-lorong baru. Kemudian Aman dan Amin berhenti seketika melihat dua orang sedang beradu lidah. Cek cok di tengah jalan. Beruntung, beberapa orang datang dan melerai pertikaian mulut lebih besar terjadi.

“Lihat lagi Min. Masyarakat negeri kita begitu temperamen. Tidak seperti masyarakat Eropa, lemah lembut” Amin yang mendengar ocehan Aman hanya terdiam. Aman terus menyembulkan asap rokok dengan kasar. Aura kemarahan sangat jelas di wajahnya.

“Bangsa kita mudah tersulut emosi. Mudah panas. Benar-benar memuakkan” Nada Aman semakin meninggi seakan Amin disalahkan. Sesekali ketika berbicara dengan nada tinggi Aman meludah-ludah ke tanah. Wajahnya beringas seperti harimau terbakar ekornya.  

“Kenapa bangsa kita tidak bisa menjadi seperti bangsa Eropa. Bersih dan sopan santun. Bangsa kita bangsa tidak beradab. Bodoh. Tolol” Semprot Aman kepada Amin sambil melempar puntung rokok ke pinggir jalan dengan kasar. Amin kembali memungut puntung rokok tersebut tanpa sepengetahuan Aman. Saat itu Amin hendak membuangnya ke tong sampah, namun tidak jadi dilakukan.

“Min Keuh, Kenapa negeri kita begini bodohnya, Min…?

Amin sedari tadi terus bersabar atas ocehan Aman menjadi panas. Kesabarannya sudah diambang batas, sesekali asap keluar dari kedua telinganya. Aman lantas memasukkan putung rokok tadi ke saku baju Aman.

“Di Eropa sana ngak ada orang seperti eluu, di Eropa ngak ada orang buang sampah dan marah-marah sembarangan seperti eluu. NGACA GUBLUUK...!!!” Amin berteriak keras, tepat muka Aman.

“Kamu kenapa, Min…? Kenapa ekspresimu seperti itu”

Amin yang ditusuk dengan pertanyaan seperti itu cuma bisa bengong. Mulutnya terbuka lebar-lebar, rahang bawahnya menyentuh tahan.

“Hah…. Aku lupa, rupanya Aman budeg. Tuli permanen sejak beberapa tahun lalu” Gerutu Amin dalam hati.