Puisi: Ia dan Doa-Doa

Gambar: google

Bait-bait suci berarak mengangkasa
Bersama sayap-sayap suara
Menentramkan jiwa
Ikhlas, syahdu dan berwarna

Ia seorang pemuda dengan doa-doa
Membekukan malam di tengah gulita
Dengan sujud mengharap cinta
Pemuda sederhana, berhasrat ahli surga

Malaikat-malaikat terjaga
Melihatnya,
Mendoakannya

Sedang aku, pemuda disebelahnya
Dalam lamunan mimpi-mimpi dunia
Enggan terjaga
Jauh dari doa-doa
Tidak dekat dengan surga
Akrab dengan dosa-dosa

---
Farhan Jihadi,
Cairo, 28 Juli 2016 / 22 Syawal 1437

Puisi: Penyakit

Gambar: Google 

Penyakit-penyakit mengurat-nadi
Kepala dengan tengkorak tanpa isi, minim nutrisi
Penuh sesak, antara semak-semak dan belukar
Enggan mendengar, buta melihat
Jari-jemari yang jahat,
Mulut-mulut bermaksiat.

Kini penyakit menjamah hati
Berlagak seperti tuhan
Merasa diri paling suci
Ia berteriak,
Dalam riak-riak kesombongan
"Hanya aku yang pantas benar sendiri,
hanya aku obat dari segala penyakit"

Penyakit
Ia hanyalah Penyakit,
Menular. Berbahaya.
Dan layak dimusnahkan. Berkali-kali.

---
Farhan Jihadi,
Cairo.
Senin, 18 Juli 2016

Uniknya Proses Membayar Zakat Fitrah di Dekat Mesjidil Haram

Gambar: Dokumentasi pribadi 

Ada yang menarik sepanjang jalan di Hayyu Otaibah dan Hayyu Sulaimaniyah, daerah yang tidak jauh dari Mesjidil Haram. Malam-malam terakhir Ramadhan hingga malam Idul Fitri banyak terlihat penjual beras India di pinggir jalan di daerah yang terkenal dengan "kampung para pendatang" ini. Jumlah mereka lumayan banyak, berbaur dengan penjual baju kaki lima.

"Zakat Fitrah, zakat Fitrah, sudah bayar zakat Fitrah...? " begitulah terkadang mereka berteriak memanggil orang-orang yang lewat. Mereka ternyata sedang menawarkan jasa jual beli beras zakat Fitrah untuk masyarakat Mekkah umumnya dan jamaah umrah dari berbagai dunia.

Beras yang dijual sebagai zakat tersebut umumnya beras India, bentuknya sedikit lebih panjang dari beras kita di Indonesia. Beras yang wajib dizakati di Arab Saudi lazimnya memang beras beras jenis ini, dan ini disebabkan masyarakat Arab Saudi mayoritas mengkonsumsi beras India.

Beras India yang dijual ini dikemas baik dalam kantong plastik, ukurannya 3 kg/kantong. Tiga kilogram ini merupakan takaran untuk jatah zakat fitrah per-kepala. Per-kantong yang berisi 3 kilogram ini dijual seharga 15 Riyal atau setara lebih kurang 50 ribu rupiah.

Keunikan ini ternyata tidak berhenti disini. Kali ini saya benar-benar dibuat heran. Ternyata, mereka tidak hanya menjual jasa beras untuk zakat fitrah. Lebih dari ini. Mereka juga menyediakan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat) berupa fakir miskin. Singkatnya, kita yang sudah membeli beras ini tidak perlu repot-repot mencari mustahiq zakat, penjual beras zakat ini juga menyediakan mustahiq zakat. Paket lengkap, beli beras zakat plus menyalurkannya langsung di tempat.

Prosesnya sangat instant. Misalnya saya membeli beras India yang seharga 15 Riyal ini, sesudah itu saya langsung diarahkan untuk menyalurkan zakat saya kepada fakir miskin yang sudah disediakan oleh penjual beras zakat tadi. Unikkan...?

Dan yang membuat saya lebih tersenyum lagi ialah proses selanjutnya. Dan ini benar-benar bisa membuat saya "hening cipta" melihat fenomena langka ini.

Setelah beras zakat ini kita beli dan salurkan kepada fakir miskin yang sudah disediakan itu, apakah berhenti disitu...? Ternyata tidak sodara-sodara. Jadi ternyata, oleh fakir miskin tersebut beras zakat tadi dijual lagi kepada si penjual (dengan harga saya tidak tahu berapa). Proses "ajaib" ini terus berlangsung hingga subuh menjelang di hari Idul Fitri besoknya.

Lumayan lama saya nongkrong di sekitar Hayyu Sulaimaniyah melihat kejadian baru nan langka ini. Lantas, apakah ada yang membeli beras zakat ini namun ia tidak menyalurkan kepada fakir miskin yang disediakan pejualnya langsung...?

Ternyata ada.

Saya sempat melihat seorang wanita bercadar membeli beras zakat ini, tapi ia lebih memilih menyalurkan zakatnya ini kepada penyapu jalan yang berada tak jauh dari penjual beras zakat ini. Namun, tak berapa lama berselang, abang cleaning service ini ternyata juga menjual kembali berasnya kepada penjual zakat pertama tadi. Disinilah saya benar-benar dibuat ngakak oleh fenomena langka ini.

Saya tidak tahu berapa mereka menjual lagi beras zakat ini kepada penjual, apakah masih sama 15 riyal atau lebih murah sedikit. Sayapun juga tidak tahu apakah cara ini legal atau tidak, karena saya tidak mendapati kejadian seperti ini terjadi di bagian lain dekat Mesjidil Haram seperti di daerah Misfalah. Ada yang berencana mencoba proses ini di Aceh atau di Indonesia...? Kalau ada saya bersedia menjadi penjualnya. []

-----
[Foto]
Hasan (memakai baju merah), salah seorang penjual beras zakat diapit oleh dua wanita yang katanya Hasan mereka fakir miskin (baca: mustahiq zakat).

Serunya Ramadhan di Mesir

Salah satu jalan di Muiz Street yang dihiasi pernak pernik Ramadhan.
(Dok. pribadi)

RAMADHAN telah kembali. Bulan mulia yang paling diagungkan ini menyapa seluruh umat Islam di seluruh pelosok dunia. Setiap negara larut dalam ragam tradisi dan budaya dalam menyambut bulan paling agung ini, tanpa terkecuali Mesir.

Ramadhan tahun ini di Mesir jatuh pada musim panas, sehingga mengharuskan umat Islam berpuasa lebih lama tiga jam dari waktu biasa di Indonesia. Jika di Indonesia kita berpuasa selama 13 jam, maka rakyat Mesir berpuasa sekitar 16 jam. Berpuasa di musim panas memberikan tantangan tersendiri. Dengan suhu udara berkisar antara 35 hingga 45 derajat, tentu terasa lebih berat, tapi hal ini akan terobati dengan nuansa dan keunikan Ramadhan yang begitu kental terasa di seantero negara Mesir.

Sama halnya dengan Indonesia, Mesir merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim. Walaupun begitu, negeri yang juga terkenal sebagai Negeri Seribu Menara ini juga memiliki budaya dan tradisi unik tersendiri dalam menyambut dan menghidupkan bulan suci Ramadhan yang mungkin sedikit berbeda dengan Indonesia.

Berikut hal-hal unik berkaitan dengan tradisi dan budaya masyarakat Mesir dalam menyambut dan menghidupkan bulan suci.

Tidak Berbeda dalam Penetapan Awal Puasa

Meskipun menganut empat mazhab dalam fiqh dan banyaknya terdapat aliran tarekat di negara Mesir, hal ini tidak lantas menjadikan Mesir berbeda pendapat dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Umat Islam Mesir sudah bersepakat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan ditentukan oleh lembaga berkompeten. Darul Ifta’ Al-Masriyah (Lembaga Pemberi Fatwa Mesir), lembaga satu-satunya dipercaya dan diakui dalam menjawab segala permasalah agama Islam rakyat Mesir, termasuk dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Lembaga Pemberi Fatwa Mesir yang beranggotakan ulama-ulama besar Al-Azhar ini menentukan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan metode Rukyatul Hilal, cara yang sama yang juga dilakukan di Indonesia. Melihat hilal sendiri dilakukan pada tanggal 29 di akhir hitungan bulan Qamariah dan jika hilal tidak tampak maka bulan digenapkan hingga 30 hari.

Hiasan dan Pernak-pernik Ramadan

“Barang siapa yang gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengampunkan dosanya yang telah lalu”. Rakyat Mesir nampaknya telah menjadikan hadits ini sebagai pegangan hidup dan sudah mendarah daging bagi rakyatnya dalam menyambut datangnya Ramadhan. Rakyat Mesir tahu bagaimana mengungkapkan rasa gembira menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Suasana sangat kontras akan kita dapati jauh-jauh hari mendekati bulan Ramadhan, rakyat Mesir seperti tergerak mempercantik lingkungan tempat tinggal mereka dengan segera pernak-pernik hiasan Ramadhan. Jalanan dan lorong-lorong dihiasi dengan segala pernak-pernik, ragam lampu warna-warni dipasang. Lampu-lampu khas Ramadhan bergelantungan hampir di sepanjang tempat. Sebagian masyarakat yang mampu bahkan membeli pakaian baru menyambut datangnya bulan Ramadhan. Upaya rakyat Mesir memperindah lingkungan dengan beragam pernak-pernik hiasan dan mempercantik diri ini nyaris serupa dengan kemeriahan menyambut hari raya Idul Fitri di Indonesia, bahkan lebih.

Ma’idaturrahman (hidangan kasih sayang)

Ma’idaturrahman merupakan istilah yang digunakan untuk hidangan berbuka puasa yang dibagikan secara gratis. Jika diterjemahkan, ma’idaturrahman ini berarti hidangan kasih sayang. Dinamakan hidangan kasih sayang menyiratkan semangat berbagi keberkahan dalam menu berbuka puasa untuk sesama.

Hampir setiap masjid di Mesir menyuguhkan ma’idaturrahman, sebagian toko dan restoran-restoran juga kerap menyediakan ma’idaturrahman ini. Bukan hanya itu, sebagian orang-orang kaya Mesir biasanya juga turun ke jalan-jalan menjelang waktu berbuka puasa untuk membagikan ma’idaturrahman ini, dan rutinitas ini semakin meningkat menjelang akhir Ramadhan.

Jika di Indonesia, selama Ramadhan kita akan mendapati menjamurnya penjual takjil untuk berbuka puasa. Masyarakat berlomba-lomba berjualan takjil bagi orang berbuka untuk menambah pundi-pundi rupiah. Nah, di Mesir orang-orang berlomba-lomba memberikan takjil ini secara cuma-cuma (ma’idaturrahman). Jadi, kita tidak pernah takut akan kelaparan selama Ramadhan tiba, bahkan bulan ini sendiri terkadang menjadi bulan perbaikan gizi bagi orang-orang kurang mampu, khususnya bagi mahasiswa asing yang kuliah di Mesir.

Tarawih Satu Juz Per Malam

Hampir tidak berbeda dengan Indonesia, pelaksanaan salat tarawih di Mesir dilakukan dalam dua variasi hitungan rakaat. Sebagian masjid di Mesir melaksanakan salat tarawih dengan hitungan 8 rakaat, sebagian lainnya 20 rakaat, seperti halnya Masjid Jami’ Al-Azhar. Darul Ifta al-Masriyah (Lembaga Pemberi Fatwa Mesir) memang memfatwakan salat tarawih 20 rakaat berdasarkan fiqh empat mazhab, namun perbedaan dalam jumlah rakaat ini tidak menjadi sebuah masalah di Mesir sehingga proses pelaksanaan ibadah selama Ramadhan di Mesir berlangsung tenang dan damai.

Proses pelaksanaan tarawih di Mesir terbilang lebih lama dibandingkan dengan Indonesia. Umumnya, masjid-masjid di Mesir dalam setiap salat tarawih mampu menkhatamkan satu juz Al-Quran, baik masjid yang melaksanakan salat tarawih 8 rakaat maupun 20 rakaat. Sehingga hampir seluruh masjid mampu menamatkan seluruh bacaan Al-Quran di malam-malam akhir Ramadhan.

Dari mana masjid di seluruh Mesir mampu mendapatkan begitu banyak penghafal Al-Quran untuk menjadi imam? Jangan heran, karena mayoritas masyarakat Mesir ini memang sudah menjadi penghafal Al-Quran mulai sejak kecil.

Petugas Sahur, Mesaharati

Seperti umumnya di sebagian daerah-daerah di Indonesia, Mesir juga mengenal yang namanya petugas pembangun sahur atau biasanya disebut Mesaharati. Petugas ini biasanya berkeliling perumahan dan apartemen-apartemen untuk mengingatkan dan membangunkan sahur warga yang terlelap tidur. Uniknya, Mesaharati ini membawa sebuah drum silider yang kemudian ditabuh dengan penabuh kayu. Ada juga Mesaharati yang menggunakan periuk nasi sebagai ganti drum.

Mesaharati ini berteriak sambil menabuh drum untuk membangunkan warga. Nantinya, di akhir Ramadhan Mesaharati ini berkeliling lagi untuk meminta upah seikhlasnya kepada pemilik rumah dan apartemen yang ia lewati. Ada juga petugas ini yang bekerja dengan upah "lillahi ta'ala", hebatkan...?


Pengajian Kitab hingga Khatam

Beberapa masjid di Mesir juga menghidupkan Ramadhan dengan membuka pengajian kitab. Pengajian kitab-kitab inipun beragam; mulai dari kitab nahwu, saraf, tauhid, fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir. Bahkan sebagian pengajian dilakukan hingga kitab tersebut khatam di akhir Ramadhan. Kampus Al-Azhar misalnya, kampus tertua di dunia yang berpegang pada empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) ini rutin melakukan pengajian di Masjid Al-Azhar dan beberapa tempat di seputaran komplek kampus Al-Azhar.


Geliat Semangat Keagamaan

Istimewanya berpuasa di Mesir, kita akan dihadapkan dengan nuansa keagamaan yang kental dan kuat selama Ramadhan. Jika Ramadhan tiba, kita akan dengan cukup mudah melihat geliat semangat keagamaan rakyat Mesir yang luar biasa. Dengan mudah kita akan menjumpai orang-orang membaca Al-Quran dan berzikir menggunakan tasbih di tempat-tempat dan kendaraan umum, sebetulnya hal seperti ini juga sudah umum terlihat meskipun bukan di bulan Ramadhan.

Orang Mesir yang bersedekah di bulan Ramadhan juga tergolong banyak, maka tak heran jika kita sedang berada di masjid atau tempat umum, kita akan dihampiri orang Mesir hanya untuk memberi kita sesuatu baik itu berupa uang ataupun berupa makanan untuk berbuka puasa.

Uniknya, Mesir tidak mengenal istilah “Semakin akhir Ramadhan, jemaah semakin berkurang”. Yang terjadi malah sebaliknya, semakin mendekati akhir Ramadhan, semarak dan semangat beribadah rakyat Mesir kian tampak. Masjid-masjid penuh hingga penghujung Ramadhan, saf-saf salat semakin bertambah, jemaah tadarus Al-Quran dan i’tikaf di masjid kian ramai.

Nah, inilah sedikit banyaknya gambaran keunikan proses menghidupkan bulan suci Ramadhan di Mesir. Alangkah indahnya jika semangat positif beragama di negeri para anbiya’ ini dapat menjadi motivasi bagi kita umat Islam di Indonesia, khususnya di Aceh yang memang sudah kental dengan tradisi syariat Islamnya. []


Note:
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Acehkita.com pada awal Ramadhan 2016.

Kisah Nyata: Para Penipu di Mesjid Suci

Gambar: Dokumentasi pribadi


"ASSALAMU'ALAIKUM...Do you speak English...?" Kata seorang pria di perlintasan bukit Shafa. Pertanyaan ini membuatku tersenyum. Selanjutnya aku sudah tahu apa yang akan dia sampaikan panjang lebar. Ini pertemuanku dengan manusia model ini untuk yang kelima kalinya, jadi aku hafal betul apa yang dia ucapkan. Biasanya, selanjutnya ia pasti akan menjelaskan bahwa dirinya berasal dari Pakistan atau India.

"I am from Pakistan." Tepat seperti dugaanku.

Beberapa menit sebelumnya dalam perjalanan melengkapi rukun umrah, aku sempat berdoa agar dipertemukan lagi dengan orang "Do you speak English" model ini. Aku yakin, jumlah mereka banyak dan kemungkinan masih satu komplotan.

Ini putaran Sa'iku yang keenam. Satu putaran lagi lari-lari kecil dari bukit Shafa-Marwah akan membuatku menyelesaikan salah satu rukun umrah sebelum tahallul. Di bukit Shafa inilah ia menghampiri jamaah umrah, seperti ia mendekatiku setelah selesai membaca doa. Dalam beberapa hari ini aku memang rutin melaksanakan umrah, namun bukan untuk diriku sendiri. Aku melakukan badal umrah untuk keluargaku yang sudah meninggal dunia.

Pria ini mengulurkan tangan kanannya, tangan kananku menyambut. Kami berjabat tangan lumayan lama, aku sengaja tidak memberi kesempatan ia melepas tanganku. Aku mencoba menggenggam tangannya seperti lazimnya dalam prosesi aqad nikah. Erat. Mataku menatap tajam matanya. Kali ini aku sudah bersumpah tidak memberi lagi kesempatan.

"Do you speak English...?" 

"Yes, Iam speaking English. But just little, not good" Aku menjawab dengan Bahasa Inggris yang terbata-bata. Aku tidak peduli salah benar, yang penting ia mengangguk tanda paham.

Ia menatapku dengan mata penuh pengharapan dan wajah dibuat-buat hingga terlihat menyedihkan, lalu menjelaskan bahwa ia kehilangan koper dan semua barang berharganya di bandara, katanya ia juga sudah lapor polisi namun belum mendapatkan semua barangnya itu. Katanya ia tidak punya uang sama sekali, "Everything Lost" Begitu ungkapnya dengan nada memelas. Dan sekarang ia perlu uang untuk makan, ia bersama anak dan istrinya tidak punya satu apapun. Ia juga ingin berangkat ke Madinah secepat mungkin. Ia memohon agar aku memberikan sedikit uang untuknya.

Ia berkata demikian dengan sangat lancar seolah-olah sedang menghafal teks proklamasi kemerdekaan. Perkataannya mengalir tanpa spasi, sangat lancar. Entah berapa kali ia sudah mempraktekkannya di depan orang lain.

Sesudah ia menjelaskan semuanya, aku tersenyum. Hampir saja aku tertawa.

"Do you remember me...?" Wajahnya tampak kebingungan saat aku bertanya apakah ia masih mengenalku. Tidak, ia tidak mengenaliku, mungkin terlalu banyak orang nampaknya yang telah ia tipu. Dengan Bahasa Inggris minim dan pas-pasan yang terkadang bercampur Bahasa Arab aku menjelaskan padanya, bahwa kami pernah bertemu beberapa hari yang lalu. Ia benar-benar tidak ingat.

Lalu lintas orang di bukit shafa lantai satu sesak, orang-orang tak memperhatikan kami. Mereka khusu' dengan ritual ibadah umrah sendiri. Aku ingin segera menyelesaikan ini, bergabung bersama mereka, menyudahi Sa'iku. Tanganku yang kecil masih menggenggam tangannya yang lumayan besar.

"This is Mesjidil Haram, don't make Haram here. You lying me. You are lier" Tak ada lagi basa-basi, ini sudah kelima kali aku berjumpa orang seperti ini di sini. Ia makin kebingungan saat kujelaskan bahwa kami pernah bertemu dan ini kali ke lima, sebelumnya aku hanya berkata "I am so sorry, i have no money". Hari ini aku sudah bertekat menegurnya, dan ini kesempatan yang bagus. Ia sudah menipu di tempat paling suci umat muslim sedunia, Mesjidil Haram. Berkali-kali. Tak bisa lagi dibiarkan begitu saja.

Ia terkejut saat aku menjelaskan bahwa sudah bertemu empat orang kawannya yang melakukan hal serupa. Genggaman tangannya seperti kehilangan kekuatan. Wajahnya mulai keheranan.

"If I look up you again here make like this. I break you and i will call police" Aku mengancam akan melaporkannya ke polisi jika melihat ia melakukan hal itu lagi disini. Sebelum berpisah dengannya aku memastikan sekali lagi negara asalnya. Aku sedikit ragu pria berasal dari Pakistan, negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar dunia setelah Indonesia.

"Are you really from Pakistan...?

"Yes" Ia mengangguk.

"If you from Pakistan, don't make your country not good because of you" Dua kali aku mengulang kalimat ini. Ia terdiam tidak berkata apa-apa lagi, hanya kepalanya yang sedikit memberi isyarat mengangguk. Aku mencengkram kuat tangannya, lalu berlalu pergi melanjutkan rukun Umrahku.

Namanya Arvit, aku akan ingat nama ini walaupun yakin Arvit bukan nama asli pemuda yang mengaku dari Pakistan ini. Terlalu banyak bangsa Pakistan dan India disini, jumlah mereka mendominasi. Beberapa papan pengumuman di Mesjidil Haram dan Mesjid Nabawi bahkan dilengkapi dengan bahasa Urdu, bahasa mayoritas yang digunakan di Pakistan dan India. Umumnya mereka bersifat seperti layaknya orang Indonesia, baik, ramah dan lemah lembut. Namun, tetap saja manusia jenis "Do you speak English" dan komplotannya ini sebagai pengecualiannya.

Komplotan "Do you speak English" ini nampaknya lebih suka membodohi orang dari daratan Asia khususnya berwajah Melayu yang menjadi korban. Terlalu baik, ramah, dan peka terhadap kesulitan orang lain membuat orang-orang dari Melayu seperti Indonesia dan Malaysia nampaknya lebih mudah dikibuli.

Jika kamu ke tanah suci baik Mekkah atau Madinah, berhati-hatilah terhadap orang-orang seperti ini. Jumlah mereka saya yakin lebih satu atau dua kelompok. Bayangkan saja, dari ratusan ribu jamaah yang berumrah tiap hari, khusus saya pribadi saja bisa bertemu mereka sebanyak lima kali. Dan saran jika bertemu mereka, ajaklah atau tariklah tangan mereka ke petugas keamanan yang berjaga di sekitar tanah suci, saya yakin mereka akan takut.
Siapapun dan dimanapun berhati-hatilah. Berada di tempat paling suci di dunia tidak lantas membuat orang menjadi baik. Banyak sekali diluar sana orang-orang yang memanfaatkan kebaikan hati kita dengan cara tidak benar. Dan lazimnya di setiap tempat selalu saja ada manusia yang tidak baik. Dan jika kita merasa diri sebagai bangsa Indonesia atau Aceh khususnya, jika melakukan sesuatu hendaklah jangan sampai mencemari tanah air dengan sikap kita yang kurang pantas. Karena betapapun itu, harga diri bangsa kita lebih berharga dari harga diri kita sendiri.

***
Note:
Pernah saya muat sebelumnya di facebook saya sendiri beberapa hari yang lalu. Setelah saya posting ulang di blog ini, saya bertemu lagi dengan mereka sebanyak dua kali, artinya saya bertemu mereka sebanyak tujuh kali. Entah mengapa mereka suka menghampiri saya, apa karena wajah saya terlalu polos dan nampaknya gampang dikibuli? Entahlah.