|
Salah satu jalan di Muiz Street yang dihiasi pernak pernik Ramadhan.
(Dok. pribadi) |
RAMADHAN telah kembali. Bulan mulia yang paling diagungkan ini menyapa seluruh umat Islam di seluruh pelosok dunia. Setiap negara larut dalam ragam tradisi dan budaya dalam menyambut bulan paling agung ini, tanpa terkecuali Mesir.
Ramadhan tahun ini di Mesir jatuh pada musim panas, sehingga mengharuskan umat Islam berpuasa lebih lama tiga jam dari waktu biasa di Indonesia. Jika di Indonesia kita berpuasa selama 13 jam, maka rakyat Mesir berpuasa sekitar 16 jam. Berpuasa di musim panas memberikan tantangan tersendiri. Dengan suhu udara berkisar antara 35 hingga 45 derajat, tentu terasa lebih berat, tapi hal ini akan terobati dengan nuansa dan keunikan Ramadhan yang begitu kental terasa di seantero negara Mesir.
Sama halnya dengan Indonesia, Mesir merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim. Walaupun begitu, negeri yang juga terkenal sebagai Negeri Seribu Menara ini juga memiliki budaya dan tradisi unik tersendiri dalam menyambut dan menghidupkan bulan suci Ramadhan yang mungkin sedikit berbeda dengan Indonesia.
Berikut hal-hal unik berkaitan dengan tradisi dan budaya masyarakat Mesir dalam menyambut dan menghidupkan bulan suci.
Tidak Berbeda dalam Penetapan Awal Puasa
Meskipun menganut empat mazhab dalam fiqh dan banyaknya terdapat aliran tarekat di negara Mesir, hal ini tidak lantas menjadikan Mesir berbeda pendapat dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Umat Islam Mesir sudah bersepakat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan ditentukan oleh lembaga berkompeten. Darul Ifta’ Al-Masriyah (Lembaga Pemberi Fatwa Mesir), lembaga satu-satunya dipercaya dan diakui dalam menjawab segala permasalah agama Islam rakyat Mesir, termasuk dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Lembaga Pemberi Fatwa Mesir yang beranggotakan ulama-ulama besar Al-Azhar ini menentukan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan metode Rukyatul Hilal, cara yang sama yang juga dilakukan di Indonesia. Melihat hilal sendiri dilakukan pada tanggal 29 di akhir hitungan bulan Qamariah dan jika hilal tidak tampak maka bulan digenapkan hingga 30 hari.
Hiasan dan Pernak-pernik Ramadan
“Barang siapa yang gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengampunkan dosanya yang telah lalu”. Rakyat Mesir nampaknya telah menjadikan hadits ini sebagai pegangan hidup dan sudah mendarah daging bagi rakyatnya dalam menyambut datangnya Ramadhan. Rakyat Mesir tahu bagaimana mengungkapkan rasa gembira menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Suasana sangat kontras akan kita dapati jauh-jauh hari mendekati bulan Ramadhan, rakyat Mesir seperti tergerak mempercantik lingkungan tempat tinggal mereka dengan segera pernak-pernik hiasan Ramadhan. Jalanan dan lorong-lorong dihiasi dengan segala pernak-pernik, ragam lampu warna-warni dipasang. Lampu-lampu khas Ramadhan bergelantungan hampir di sepanjang tempat. Sebagian masyarakat yang mampu bahkan membeli pakaian baru menyambut datangnya bulan Ramadhan. Upaya rakyat Mesir memperindah lingkungan dengan beragam pernak-pernik hiasan dan mempercantik diri ini nyaris serupa dengan kemeriahan menyambut hari raya Idul Fitri di Indonesia, bahkan lebih.
Ma’idaturrahman (hidangan kasih sayang)
Ma’idaturrahman merupakan istilah yang digunakan untuk hidangan berbuka puasa yang dibagikan secara gratis. Jika diterjemahkan, ma’idaturrahman ini berarti hidangan kasih sayang. Dinamakan hidangan kasih sayang menyiratkan semangat berbagi keberkahan dalam menu berbuka puasa untuk sesama.
Hampir setiap masjid di Mesir menyuguhkan ma’idaturrahman, sebagian toko dan restoran-restoran juga kerap menyediakan ma’idaturrahman ini. Bukan hanya itu, sebagian orang-orang kaya Mesir biasanya juga turun ke jalan-jalan menjelang waktu berbuka puasa untuk membagikan ma’idaturrahman ini, dan rutinitas ini semakin meningkat menjelang akhir Ramadhan.
Jika di Indonesia, selama Ramadhan kita akan mendapati menjamurnya penjual takjil untuk berbuka puasa. Masyarakat berlomba-lomba berjualan takjil bagi orang berbuka untuk menambah pundi-pundi rupiah. Nah, di Mesir orang-orang berlomba-lomba memberikan takjil ini secara cuma-cuma (ma’idaturrahman). Jadi, kita tidak pernah takut akan kelaparan selama Ramadhan tiba, bahkan bulan ini sendiri terkadang menjadi bulan perbaikan gizi bagi orang-orang kurang mampu, khususnya bagi mahasiswa asing yang kuliah di Mesir.
Tarawih Satu Juz Per Malam
Hampir tidak berbeda dengan Indonesia, pelaksanaan salat tarawih di Mesir dilakukan dalam dua variasi hitungan rakaat. Sebagian masjid di Mesir melaksanakan salat tarawih dengan hitungan 8 rakaat, sebagian lainnya 20 rakaat, seperti halnya Masjid Jami’ Al-Azhar. Darul Ifta al-Masriyah (Lembaga Pemberi Fatwa Mesir) memang memfatwakan salat tarawih 20 rakaat berdasarkan fiqh empat mazhab, namun perbedaan dalam jumlah rakaat ini tidak menjadi sebuah masalah di Mesir sehingga proses pelaksanaan ibadah selama Ramadhan di Mesir berlangsung tenang dan damai.
Proses pelaksanaan tarawih di Mesir terbilang lebih lama dibandingkan dengan Indonesia. Umumnya, masjid-masjid di Mesir dalam setiap salat tarawih mampu menkhatamkan satu juz Al-Quran, baik masjid yang melaksanakan salat tarawih 8 rakaat maupun 20 rakaat. Sehingga hampir seluruh masjid mampu menamatkan seluruh bacaan Al-Quran di malam-malam akhir Ramadhan.
Dari mana masjid di seluruh Mesir mampu mendapatkan begitu banyak penghafal Al-Quran untuk menjadi imam? Jangan heran, karena mayoritas masyarakat Mesir ini memang sudah menjadi penghafal Al-Quran mulai sejak kecil.
Petugas Sahur, Mesaharati
Seperti umumnya di sebagian daerah-daerah di Indonesia, Mesir juga mengenal yang namanya petugas pembangun sahur atau biasanya disebut Mesaharati. Petugas ini biasanya berkeliling perumahan dan apartemen-apartemen untuk mengingatkan dan membangunkan sahur warga yang terlelap tidur. Uniknya, Mesaharati ini membawa sebuah drum silider yang kemudian ditabuh dengan penabuh kayu. Ada juga Mesaharati yang menggunakan periuk nasi sebagai ganti drum.
Mesaharati ini berteriak sambil menabuh drum untuk membangunkan warga. Nantinya, di akhir Ramadhan Mesaharati ini berkeliling lagi untuk meminta upah seikhlasnya kepada pemilik rumah dan apartemen yang ia lewati. Ada juga petugas ini yang bekerja dengan upah "lillahi ta'ala", hebatkan...?
Pengajian Kitab hingga Khatam
Beberapa masjid di Mesir juga menghidupkan Ramadhan dengan membuka pengajian kitab. Pengajian kitab-kitab inipun beragam; mulai dari kitab nahwu, saraf, tauhid, fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir. Bahkan sebagian pengajian dilakukan hingga kitab tersebut khatam di akhir Ramadhan. Kampus Al-Azhar misalnya, kampus tertua di dunia yang berpegang pada empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) ini rutin melakukan pengajian di Masjid Al-Azhar dan beberapa tempat di seputaran komplek kampus Al-Azhar.
Geliat Semangat Keagamaan
Istimewanya berpuasa di Mesir, kita akan dihadapkan dengan nuansa keagamaan yang kental dan kuat selama Ramadhan. Jika Ramadhan tiba, kita akan dengan cukup mudah melihat geliat semangat keagamaan rakyat Mesir yang luar biasa. Dengan mudah kita akan menjumpai orang-orang membaca Al-Quran dan berzikir menggunakan tasbih di tempat-tempat dan kendaraan umum, sebetulnya hal seperti ini juga sudah umum terlihat meskipun bukan di bulan Ramadhan.
Orang Mesir yang bersedekah di bulan Ramadhan juga tergolong banyak, maka tak heran jika kita sedang berada di masjid atau tempat umum, kita akan dihampiri orang Mesir hanya untuk memberi kita sesuatu baik itu berupa uang ataupun berupa makanan untuk berbuka puasa.
Uniknya, Mesir tidak mengenal istilah “Semakin akhir Ramadhan, jemaah semakin berkurang”. Yang terjadi malah sebaliknya, semakin mendekati akhir Ramadhan, semarak dan semangat beribadah rakyat Mesir kian tampak. Masjid-masjid penuh hingga penghujung Ramadhan, saf-saf salat semakin bertambah, jemaah tadarus Al-Quran dan i’tikaf di masjid kian ramai.
Nah, inilah sedikit banyaknya gambaran keunikan proses menghidupkan bulan suci Ramadhan di Mesir. Alangkah indahnya jika semangat positif beragama di negeri para anbiya’ ini dapat menjadi motivasi bagi kita umat Islam di Indonesia, khususnya di Aceh yang memang sudah kental dengan tradisi syariat Islamnya. []
Note:
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Acehkita.com pada awal Ramadhan 2016.