Puisi: Hud-Hud

Image: google


Hud-hud,
Negeriku teramat jauh,
Asing dari tempatku, juga dari duniamu
Kalaulah mungkin,
Bolehkah kuutus jasadmu dengan membawa jiwaku

Hud-hud,
Jika berkenan
Jadilah mata, hidung, juga telingku
Lihatlah tampang negeriku
Hiruplah aroma pokok-pokok kayu
Dengarlah merdunya nyayian surga bangsaku

Hud-hud,
Layaknya Nabi Sulaiman pernah mengutusmu
Khabarkan pada negeriku
Disini ada yang merindu

_____
Farhan Jihadi
Cairo,
24 April 2016 (tepat di ulang tahunku ke-27)

Bunga yang Pernah Kau Campakkan

Image: google
Maukah kau mendengar sebuah kisah, sedikit saja. Ini tentang bunga yang kau petik dengan liar dari sebuah taman, bunga yang kau pegang dan kau bawa kemana-mana. Bunga yang kemudian layu ditanganmu lalu kau campakkan begitu saja tanpa perasaan. Bunga yang kau buang di pinggir jalan. Bunga yang dibakar matahari, kemudian dipijak kendaraan, bahkan dikencingi anjing gila yang belum belajar sopan santun.

“Tahukah kau nasibnya kini…? Maukah Kau kuberitahu tentangnya sedikit…? Tapi kuharap Kau tak cemburu. Kalaupun kau memilih tidak mau mendengar kisahku, aku tetap akan bercerita."

Seseorang menemukan bunga yang sudah berantakan itu. Ya, bunga itu; bunga yang kau buang, bunga yang telah kau campakkan. Orang itu melihat dengan jeli. Ia yakin masih tersisa sesuatu yang sangat penting nan berharga dalam bunga itu. Ternyata bijinya masih sangat utuh, belum lecet sedikitpun, tidak seperti kelopaknya yang sudah hancur. Lantas ia memungutnya, membawanya pulang dengan hati-hati. Ia juga menyisipkan doa, agar bunga itu melahirkan bunga jenis baru yang jauh lebih indah.

“Tahukah kau…?”

Kini biji bunga itu sudah tumbuh dengan sangat indah. Jauh lebih indah saat kau memetiknya dengan kasar dulu. Biji itu juga melahirkan bunga jenis baru yang jauh lebih banyak, begitu indah. Semuanya merekah dengan sempurna. Siapapun yang meliriknya, pastilah jatuh hati dan terpesona. Tidak ada seorangpun yang tahu, mereka berasal dari bunga yang hancur berantakan. Tidak ada yang tahu, bunga itu bagian dari bunga yang pernah kau singkirkan dengan cara kejam.

“Tapi, kali ini kuingatkan Kau… Jangan sesekali mengusiknya, apalagi memetiknya tanpa izin…!”

Bunga itu kini dirawat dengan sangat baik. Disiram dengan air kebaikan yang berasal dari sumur keberkahan. Dipupuk dengan rasa taat dan dipagari dengan keimanan yang kuat. Kau tak bisa lagi sembarangan menyentuhnya, memetiknya, apalagi hingga merusak seperti dulu.

“Jika Kau tetap melakukan perbuatan keji itu, bukan hanya aku. Tuhanpun pasti akan melaknatmu”

Itulah secuil kisahku padamu. Di tangan yang tepat ia bisa harum semerbak, aromanya mewangikan seluruh taman, bahkan seluruh negeri. Kini, ia sedang menunggu. Menunggu dan menunggu. Menunggu seseorang yang tepat. Bukan orang yang tidak punya etika seperti dirimu. Pokoknya bukan tipe brengsek sepertimu. Titik. Ia sedang menunggu seseorang yang tahu tata krama, seorang yang punya etika. Seseorang yang mengerti bangaimana harusnya mencintai. Seseorang yang tahu bagaimana merawat bunga agar tidak layu. Seseorang yang mau meminta baik-baik kepada pemiliknya. Sudah seharusnya bunga yang indah itu cuma mau dipetik dengan cara yang indah. Bukan cara maling seperti yang pernah kau gunakan.

Sudah sepantasnya, semua bunga itu diperlakukan dengan cara yang sama indah. Karena semua bunga indah dengan bentuknya tersendiri, wangi dengan aromanya tersendiri…? Bunga-bunga itu harus diperlakukan dengan cara yang baik-baik dan indah. Oleh seseorang, oleh semua orang. Termasuk dirimu.

Dan seperti kataku, ia kini sedang menunggu seseorang yang baik-baik. Seseorang yang bukan pura-pura baik. seseorang yang benar-benar baik. Namun sayangnya,seseorang baik-baik itu tidak lagi jatuh padamu. Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah pantas seorang yang pernah merusak taman bunga diberikan sekuntum mawar...? Sekuntum bunga...? Hanya orang bodoh yang melakukannya.

“Oh ya, sebaiknya Kau belajar menanam dan merawat rumput dulu sebelum mendengar kisahku”


________

Note:
Ingat, bukan hanya laki-laki yang menginginkan perempuan baik-baik, perempuan juga tidak menginginkan laki-laki yang kurang tahu adat. Dan yang lebih penting daripada semuanya adalah sama-sama berusaha menjadi baik. Satu lagi yang perlu diingat, bahwa penulis termasuk seseorang yang masih belajar dan berusaha menjadi tipe baik-baik. Tapi kalau tipe tampan-tampan srigala, dari lahir saya tidak masuk kelompok elit ini. Saya cuma termasuk tipe tampan-tampan korban drakula. Itu saja.

Nenek Tua Mesir yang Menginspirasi

Image: google

Walau tidak terlalu padat, Metro (kereta api listrik Mesir) yang kutumpangi tak lagi menyisakan bangku kosong. Sebuah sudut di salah satu gerbong kujadikan tempat bersandar, cukup meringankan tubuh daripada harus berdiri tanpa sandaran. Kampus tempat tujuanku masih jauh, harus melewati belasan terminal pemberhentian, menyisakan beberapa kilometer lagi.

Di depanku, di atas salah satu bangku. Duduk  seorang nenek tua, tua sekali. Tampak dari keriput di wajahnya. Kedua tangannya memegang tablet berukuran 7 inci, mata beserta wajahnya seakan tertelan ke dalam benda canggih tersebut. Nenek ini terus menjadi fokus perhatianku.

"Yang benar saja nenek itu, canggih benar bawa-bawa tablet. Jika saka yang dibawanya tablet obat anti kepikunan, saya bisa memakluminya. Ini tablet, makhluk canggih multidimensi" ujarku dengan rahang terbuka nyaris hingga ke lantai gerbong.

Mulutnya terus-terusan bergerak tak beraturan, aku hanya mengira mulutnya itu bergerak karena laju getaran kereta api yang aku tumpangi ini. Relnya mungkin tidak rata atau gerbongnya yang sudah lumayan tua seumuran dan seangkatan dengan nenek ini. Tampaknya nenek ini lebih tua, Metro bergoyang sedikit, mulut si nenek juga makin bergetar.

"Kasihan banget nenek itu, seharusnya daripada membeli tablet, lebih baik ia beli obat anti getaran mulut" begitulah batinku.

Metro berhenti di terminal berikutnya. Mataku masih memusatkan perhatian pada nenek tua itu. Metro berhenti bergerak sebentar di terminal,namun mulutnya masih bergetar seperti tadi. Tak ada yang berubah. Mulut nenek ini masih saja bergetar. Metro kembali berjalan, kini rasa penasaranku makin tak terbendung. Perlahan, aku mulai mendekati nenek tua  ini yang jaraknya cuma 2 meter lebih dari tempatku berdiri. Sebisa mungkin aku mencoba melirik layar tabletnya. Kini, aku menatap layar tabletnya dengan jelas.

"Allahu Akbar, ia sedang membaca Al-Qur'an"

Sontak aku terkejut, wajahku tak kutahu lagi bentuk ekspresinya. Kacamata yang kupakai hampir saja jatuh. Hatiku benar-benar malu saat itu juga. Sangat. Pelan-pelan dengan penuh perasaan malu aku kembali ke posisi semula. Di sudut, di salah satu pojok. Dengan perasaan berbeda. Malu, sendiri dan konyol. 

Aku makin serius memperhatikannya. Kali ini aku kagum. Terharu.
Dari jauh seorang wanita bercadar sedang menjajakan tisu (Sebagian besar penjaja tisu di Mesir identik dengan peminta-minta, mayoritas rakyat Mesir hanya memberi uang tanpa mengambil tisu mereka).

"Ada yang perlu tisu...Ada yang perlu tisu...? Begitulah teriak wanita bercadar itu yang sesekali diiringi kalimat "Shallu 'alan nabi, shallu 'alan nabi", ujarnya mengingatkan penumpang untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Kini, mataku kembali tertuju ke nenek tua tadi, kulihat ia sedang sibuk melihat-lihat tasnya. Dari gerakannya, aku yakin ia sedang mencari recehan pound untuk diberikan kepada wanita bercadar itu.
Metro kembali berhenti, pintu gerbong terbuka. Wanita bercadar itu langsung keluar, nenek tua itu memanggilnya. Tangan nenek itu menggenggam sesuatu. Bukan recehan, tapi uang kertas. Nominal tentu lebih besar. Wanita bercadar itu langsung berlalu, ia tidak melihat ataupun mendengar suara kecil nenek tua itu.

Aku ingin membantu memangginya, tapi sayang. Metro kini sudah dipenuhi penumpang. Posisiku saja kini terjepit. Kini agak sulit menatap nenek itu, postur tubuhnya sedang duduk dengan mulut yang kini mulai bergetar lagi cuma bisa kulirik dari celah-celah ketiak penumpang lain. Tubuhku terlalu kecil dibandingkan tubuh bangsa Arab ini. Ditambah lagi, rasanya ketiak mereka juga belum mengenal Rexona. Aku benar-benar KO.

Metro tiba lagi di terminal berikutnya, kulihat nenek itu bersiap keluar. Para penumpang membuka ruang agak nenek tersebut bisa keluar dengan mudah. Seorang bahkan dengan rela menggandeng tangan wanita tua itu menuju pintu keluar. Aku sempat terharu melihat sikap mereka terhadap orang tua. Seandainya sikap baik ini juga dipraktekkan sedikit terhadap ketiak mereka. Alangkah sempurnanya hariku pada hari ini.

Pintu gerbong mulai menutup. Dari luar sebuah tulisan besar melekat di dinding terminal, Saad Zaqlul.

"Kapaloe, seharusnya aku juga berhenti di terminal ini."

Metro kembali berjalan ke terminal selanjutnya. Artinya aku harus turun di terminal selanjutnya dan mengganti Metro untuk kembali ke Saad Zaqlul, tempat dimana nenek tua barusan turun. Sial. 

Hari ini aku seperti kena kutukan, kualat istilah orang tua kampungku. Semenjak melihat nenek tua itu memengang tablet, pikiranku langsung negatif. Wajar juga rasanya, karena orang tua seumuran nenek itu di kampungku permainannya hanya antara rumah dan musala. Rumah sebagai tempat istirahat dan musala untuk pengajian, tempat menambah bekal akhirat.

Banyak sekali hal yang  kupelajari hari ini. Nenek yang nyaris menjemput maut ini tidak gagap teknologi, malah ia memanfaatkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Sangat jauh berbeda denganku. Metro bergoyang, melaju ke terminal selanjutnya. Tidak ada lagi yang bergetar selain perasaan yang merasa bersalah dan hati yang merasa takjub.

Melihat dan bertemu orang-orang baik selalu bisa menjadi guru kehidupan bagi kita. So, berbuat baiklah dimanapun dan kapanpun agar kita juga menjadi guru bagi orang lain. Dengan atau tanpa kita sadari.

Puisi: Cukup

Image: google

Jangan bawa kami ke dalam trauma masa-masa itu
Jangan biarkan luka-luka masa silam itu kembali

Kalian lebih tau,
luka-luka itu belumlah sembuh hingga kini
Masa dimana orang tua bersimbah darah di depan anak-anaknya
Anak-anak direnggut kebahagiaannya dari pelukan orang tua

Masa-masa keji, kejam, hina
Tanpa prikemanusiaan dan belas kasihan
Masa air mata dan darah bercucuran dirata tempat
Nyawa tak bernilai apalagi berharga

Kebakaran merajalela
Rumah-rumah dan sarana pendidikan musnah tak bersisa
Masa-masa penuh kemunafikan dan saling menyalahkan
Orang tak dikenal akhirnya disalahkan dimana-mana

Apa kalian buta…?
Tidakkah kalian lihat…! Mayat, darah dan air mata berhamburan
Berapa banyak perempuan menjadi janda
Belum lagi yang hilang kesuciannya

Apa kalian tuli…?
Tidakkah kalian dengar jerit tangis pecah disetiap sudut rumah

Tidakkah kalian punya hati…?
Berapa banyak butir-butir peluru menikam tubuh tak berdosa
Pernahkah kalian menghitungnya

Tidakkah kalian sadar, melihat dan mendengar…?
Kenapa kalian tidak pernah belajar pada pengalaman
Kenapa juga kalian tidak takut murka Tuhan
Bukankah kita telah diuji
Lebih tepatnya mungkin kita dimurkai

Tidakkah air besar itu menyadarkan kita
Kemana hilangnya hati nurani kalian…? Kemana…? Biar kami cari…

Katanya kalian ingin membuat negeri ini lebih
Lebih sejahtera, lebih aman, lebih damai, lebih baik katanya
Bukankah pemerintahan sudah kalian kuasai penuh…?
Kemana juga janji-janji kalian itu…?

Secepat itukah kalian melupakannya
Mungkinkah kami yang terlalu berharap banyak
Kami hanya orang-orang bodoh memang
Pandai tapi kembali bodoh ketika pemilu tiba. bodoh

Kami tak butuh apa-apa
Kami tak minta apa-apa
Kami juga tak perlu bendera apalagi merdeka

Meskipun perut kami lapar
Kami hanya mau hidup damai
Jangan bawa lagi luka tragis itu
Sudah cukup….!
Sekarang, buatlah kami bahagia

_____________________
Note:
*Sewindu MOU Helsinky
15 Agustus 2013, Tungkop. Aceh. Peaceful Country.
Sebelumnya saya muat di Facebook pribadi saya klik

Gadis Apartemen Seberang

Image: google
Salah satu jendela flat apartemen di hadapanku terbuka. Dari celah jendela yang terbuka itu tampak seseorang dengan kerudung jingga. Kerudung besarnya terurai hingga dada. Wajahnya putih, begitu menyegarkan. Matanya bulat. Alisnya tebal dengan hidung mancung melekat di bawahnya. Jarak apartemen itu hanya beberapa meter, tidak terlalu jauh. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Cantik. 

"Kenapa Agam tidak memberitahukan padaku tentang gadis ini. Ia sering duduk di balkon ini. Agam pasti pernah melihatnya juga. Pasti itu." 

***

Matahari mulai beranjak terbit dari ujung paling timur, segala jenis warna mulai jelas terlihat. Pemandangan indah bermunculan. Birunya langit luas di angkasa dihiasi sedikit percikan awan susu, apartemen bertingkat di seberang berwarna kecoklatan serupa warna kulitku, sebatang pohon penuh dedaunan hijau dengan sekelompok burung gereja hinggap di dahannya. 

Pagi memang awal segala keindahan. Mata sebagai indra penglihat akan berfungsi maksimal setelah cukup beristirahat. Penikmat mentari pagi seperti diriku tentu sulit mengambarkan betapa indahnya pagi hari. Yah, walaupun tidak sesulit usaha Agam membersihkan balkon belakang yang sudah bertahun-tahun tidak terawat ini. 

"Sudahlah Gam, tidak ada gunanya kau membersihkan balkon angker ini. Pemandangan di belakang inipun tak ada yang menarik. Sia-sia saja kerjamu itu, buang-buang tenaga." 

Minggu lalu aku melihat Agam sedang bersusah payah merapikan dan membersihkan balkon belakang yang tak pernah dijamah ini. Balkon penuh benda-benda rongsokan yang ditinggalkan pemilik sebelumnya. 

"Jangan lupa Allah itu indah dan mencintai segala keindahan". Ia menjawabnya dengan begitu religius seolah sedang menceramahiku. 

Balkon angker yang tidak pernah tersentuh selama bertahun-tahun tiba-tiba dibersihkan Agam, layaknya ia membersihkan motornya yang setiap minggu dicuci, disampo, dilap dan disemir dengan Kit. Cuma yang terakhir yang tidak digunakan. Tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya balkon seandainya dilap lagi menggunakan Kit, pengilap body motor. Bisa-bisa kakiku terpeleset berdiri disini. 

"Gam, sesekali jangan cuma dicuci. Pakailah motormu itu membonceng seorang gadis, bawa dia ke mana gitu. Pantai Lhoknga atau air terjun Samahani atau bisa juga kau bawa ke tempat lain, Gam. Jalan-jalan, happy-happy."

"Atau jangan-jangan kau ingin menikah dengan motor butut peninggalan prasejarah itu. Jika iya, Kau tak perlu mengundangku ke pesta nikah. Aku pastikan tidak akan datang," begitulah sindirku padanya hampir tiap pekan. Motor antik yang saban minggu disemir dengan Kit itu memang tak pernah tersentuh seorang wanita pun. Hanya ibu dan kakak perempuan Agam yang selalu dibawa keliling, selebihnya hanya teman laki-laki tanpa termasuk teman waria. 

"Terserah kau saja, Min. Aku nggak mau mengikuti jejakmu. Saban hari membawa anak gadis orang yang berbeda tiap minggu bahkan tiap hari. Hari ini si A, besok si B. Besoknya lagi si C, si D atau mungkin sampai si Z" 

"Hei... Hei... Tidak ada si D, ya. Cuma sampai si C, semuanya-pun kau mengenalnya," aku menolak jika Agam menyebutku memiliki banyak perempuan. Apa salahnya sih memiliki banyak kekasih? Jika satunya membuatku pusing, aku bisa memilih yang lain. Simple. 

"Bukannya masalah si A, si B atau si C. Masalahnya kau membawa-bawa mereka tanpa ikatan pernikahan. Tidakkah kau mengerti hal itu...? Aku tidak tahu apa yang kau lakukan saat berdua saja bersama mereka. Pegang tangan, ciuman atau bahkan..." 

Aku langsung menghentikan perkataannya itu, Agam terkadang kelewatan batas menghakimiku. Ia selalu berceramah hal yang sama setiap saat, katanya berpegang tangan yang bukan muhrim itu haram, apalagi sampai berpelukan dan ciuman. Aku sudah tahu, bahkan sudah hafal isi nasihat rohaninya itu. Seharusnya ia mengganti topik khutbah, agar jamaah sepertiku tidak bosan. 

Ia juga menceramahiku tentang zina. Kalau hal itu, tanpa diceramahinya semua orang juga tahu. Saban Jum'at ustaz tetangga berkhutbah masalah zina; mulai dari zina mata, telinga, tangan, hati dan zina-zina yang lain termasuk zina pikiran dan zina pemikiran. Yang aku khawatirkan malah Agam, aku berharap ia tidak menganggap dirinya lebih suci daripada diriku karena inilah salah satu ciri orang-orang yang mulai terkena zina pemikiran, begitulah kata pak ustaz tempo hari. Seharusnya zina pemikiran ini juga diutamakan sehingga orang-orang yang menganggap dirinya suci dan menuduh orang lain penghuni neraka berkurang. 

"Hari ini kau membawa Susi, besoknya Sasa, esoknya lagi kau membawa Sisi. Pada akhirnya mereka hanya akan jadi sisa bagi orang lain," katanya seperti biasa menutup kuliah tujuh menit itu. 

Aku memang tidak pernah berbuat lebih dari yang disangkakan Agam, biarpun ilmu agamaku minus setidaknya aku tidak pernah melebihi batas bercumbu dengan anak gadis orang. Kalaupun iya, itu pun kami lakukan bukan dengan paksaan tapi kemauan, jadi tidak ada pihak yang tersakiti. Agam terlalu kuno. Tidak berpikir maju. Kolot. 

Ia tidak mengerti bagaimana indahnya memegang tangan wanita, memeluk dan sebagainya yang lazim dilakukan orang pacaran. Baginya memegang tangan wanita yang bukan muhrim itu berdosa, apalagi jika dilakukan lebih dari itu. "Haram tingkat tinggi," begitulah Agam mengistilahkan dosa besar. 

Ia memang terlalu berpikiran buruk tentangku, aku tidak pernah sekalipun berbuat hingga ke tingkatan dosa besar seperti itu. Walaupun sejujurnya aku paham maksud Agam, semua nasihatnya benar. Tidak ada yang salah tapi ia terlalu berlebihan. 

Begini-begini aku juga mengerti sedikit tentang agama. Setiap gadis yang kuajak mingguan selalu kuminta untuk membawa mukena, karena biasanya jika azan berkumandang, kami singgah ke mesjid untuk shalat sejenak. Walaupun ada juga gadis yang selalu enggan kuajak shalat dengan berbagai alasan. Saat ngedate kami pasti menghabiskan waktu yang lama dan tentu melewati banyak waktu shalat, tapi ia sekalipun tak pernah shalat. Gadis ini selalu beralasan; lagi tidak suci, lagi berhalangan, lagi datang bulan dan macam-macamnya. Menurutku ini tipe gadis penyakitan. Entah kapan gadis itu punya waktu suci hanya untuk sekedar shalat atau mungkin ia memang benar-benar tidak suci lagi, entahlah. Aku bernasihat, namun bagi sebagian orang terkadang nasihat itu percuma, termasuk bagiku. 

Seharusnya Agam bersyukur punya sahabat yang mengajak orang lain kepada kebaikan sepertiku, seperti nasihatnya itu. Siapa tahu gadis yang bersamaku itu bertambah baik, tambah rajin shalat misalnya. Perubahan memang membutuhkan waktu, manusia tidak bisa berubah secepat kilat. Manusia jelas bukan seperti balkon yang dalam satu hari bisa kinclong, bersih mengkilat tanpa noda dalam sekali sentuhan Agam. 

Minggu lalu, balkon masih sangat berantakan. Barang-barang tak berguna berserakan tak beraturan. Kayu-kayu lapuk bertumpuk bersama kumpulan besi-besi berkarat, puluhan botol minuman kosong berjajar di antara goni penuh baju dan sepatu bekas. Kardus-kardus yang berhimpitan dengan plastik berwarna bertaburan. Buku-buku serta majalah kuno yang entah milik siapa. Semuanya barang peninggalan penghuni lama yang sekarang entah di mana. 

Beruntung, ia masih bisa menemukan beberapa barang layak pakai. Sebut saja, satu periuk nasi yang masih bagus setelah dibersihkan dengan susah payah dan satu set meja-kursi yang tengah kududuki ini. 

Sebenarnya, baru kali ini aku duduk di balkon ini. Tempo hari, setelah balkon bersih, Agam sering memakai balkon sebagai tempat mengulang-ulang hafalan. Ia telah terdaftar di kelas menghafal Al-Qur'an yang baru dibuka pihak kampus untuk mendukung mahasiswa yang ingin mendalami dan menghafal Al-Qur'an, mungkin ini juga yang menggerakkannya membersihkan balkon. 

***

Matahari kini kian meninggi. Kelompok burung gereja terbang, menghilang, meninggalkan pohon sendiri. Warna kecoklatan apartemen seberang semakin cerah terpantulkan. Langit tidak lagi dihiasi percikan awan susu seperti biasa. Mungkin awan susu sudah melebur bersama kopi hangat di tanganku. 

Setelah melihat gadis dari sebuah flat apartemen seberang beberapa hari lalu aku jadi sering duduk di balkon ini. Ya, tentu saja setelah Agam selesai mengulang hafalan Al-Qur'annya. Biasanya ia mengulang hafalannya siap subuh hingga matahari keluar. Aku sengaja tidak menanyakan tentang gadis apartemen seberang, bisa-bisa ia memberiku tausiyah dan aku harus mendengarnya seperti terdakwa di majelis persidangan. 

Setelah beberapa hari dalam pantauan, gadis apartemen seberang yang kutunggu itu membuka jendela tepat pukul 8 pagi. Selalu dia yang membuka jendela di flat tersebut; bukan ibunya, ayahnya atau siapapun yang lain yang tinggal bersamanya. Aku tidak tahu, ia melakukan itu karena memang rutinitas atau karena gadis itu tahu bahwa aku merindu untuk menatapnya setiap hari. Keduanya mungkin benar atau yang kedua mungkin lebih tepat. 

Salah satu pintu belakang flat di apartemen seberang terbuka bersamaan dengan bibirku yang menyentuh gelas kopi. Gadis itu keluar dengan membawa ember penuh kain. Wajahnya tampak lelah. Ia mungkin baru saja selesai mencuci pakaian. Kerudungnya terurai hingga dada. Keringat di wajahnya seolah membentuk make-up alami yang membuatnya semakin terlihat anggun. 

"Hei... Namamu Putri ya...?" teriakku dari arah balkon saat ia sibuk menjemur pakaian. Ia tidak melihat, bahkan tidak menoleh sedikitpun. Rasanya aku telah salah memanggil nama. Putri, nama yang kutebak ternyata bukan dirinya. 

"Heeei, namamu Putri ya...?? Aku mengulang dengan nada lebih jelas. Ia belum menoleh. Putri memang bukan namanya. Wanita senang dipanggil dengan nama yang indah dan "Putri" menjadi pilihanku. Biasanya wanita yang kusapa begitu pasti menoleh walaupun itu bukan nama aslinya. 

Aku mulai memanggil dengan nama lain, mungkin salah satu ada namanya. Segala nama wanita dalam pembendaharaan kamusku kusebutkan. Mulai dari huruf A seperti huruf Z, mulai dari Anita hingga Zebra (maksudku Zenab, Zebra itu nama motor butut belang-belang Agam). Gadis itu tak mendengar, tak melihat. Percuma. 

Mungkin gadis ini berbeda, selama ini belum ada wanita yang tidak menoleh saat mendengar suara indahku. Gadis ini menarik, tidak biasa. Ia istimewa. Gadis ini pasti tuli. 

Dari balkon seberang terlihat ia hampir selesai menjemur pakaiannya. Tali jemuran di balkon seberang itu tampak hampir penuh, tanpa berpikir panjang setelah dicampakkan begitu saja, jiwa kesatriaku tumbuh. Allah masih menganugerahkan karunia kekuatan yang luar biasa untukku dan ini tidak boleh disia-siakan. Entah bagaimana caranya, aku melompat. Tanpa sadar telapak kakiku menyentuh permukaan tanah. Aku sekarang berada di luar balkon. 

"Assalamualaikum, Ukhti" sapaku sambil bergerak ke arah balkon di flat apartemen seberang, tempat gadis itu menjemur pakaian. 

Meskipun menjawab salam hukumnya wajib, yang disapa tak menunjukkan gelagat apapun. Sapaan pamungkas "Akhi-Ukhti" yang biasanya digunakan jamaah rohani kampus juga tidak membuatnya bergeming. Ia masih fokus dengan kesibukannya. Menoleh tidak, melirik pun tidak, apalagi melempar sebuah senyuman. 

Sekarang jarakku dengan gadis itu sangat dekat. Aku berusaha menyapanya dengan salam yang masih sama. Hasilnya nihil. Dengan jarak dekat seperti ini mustahil ia tidak mendengar, kecuali jika ia memang mengalami masalah pendengaran seperti dugaanku sebelumnya. 

"Hei Putri, menjawab salam hukumnya wajibkan...? Apalagi salam dari pria keren." Lagi-lagi aku berbicara sendiri, layaknya artis yang melakukan monolog di atas panggung. Tanpa seorang pun yang menonton. Kosong, sepi. Monolog pagi hari yang sangat menyedihkan. 

Sesaat sempat terbesit dalam pikiranku untuk memanggil namanya dengan lebih indah, lebih manusiawi, seperti saat memanggil adik-adik mahasiswa baru di masa orientasi, "brengsek". Kata yang sebenarnya tidak manusiawi dan bernada provokasi ini terkadang berhasil. Tidak hanya dalam urusan cinta, dalam politik negeri ini juga sering demikian. 

Kata seperti brengsek, jahannam dan semisalnya lazim digunakan di negeri ini. Politikus menebar cinta saat pemilu tapi menciptakan kebrengsekan demi kebrengsekan ketika berkuasa. Menjahanamkan etika dan estetika. Tapi, aku bukanlah politikus, bukan juga pemuda brengsek. Aku hanyalah pencinta. Kata brengsek itu tidaklah cocok bagi jiwa-jiwa pencinta sepertiku dan tentu saja lebih tidak manusiawi untuk seorang wanita. 

Gadis itu kini balik badan. Tali jemuran penuh, tidak menyisakan celah sedikit pun, bahkan untuk seekor burung yang biasa hinggap di atasnya. Gadis itu berlalu, masuk ke dalam flat. Pintu balkon kini tertutup. Sedang aku masih di tempat. Mematung tidak bergerak beberapa lama, tanpa alas kaki. Layaknya orang bodoh. 

"Hei Min, Hei... Ngapain disana nggak pakek selop, lagi ngejar maling ya...?" 

Panggilan Agam dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Ia benar, aku memang sedang mengejar maling. Maling yang sangat cantik. Agam terlihat tertawa, sangat langka rasanya melihat ia tertawa keras seperti itu. 

"Astaghfirullah, Miiin, kalau mau keluar, pakek baju dulu." 

Teriakan Agam mengingatkan sesuatu, ternyata ia sedang melihatku; menggunakan celana pendek, tanpa baju, tanpa alas kaki dan rambut panjang yang masih acak-acakan. Benar-benar sempurna.


___________
Tulisan ini pernah dimuat di www.kmamesir.org klik

Kopi Bang Dolah

Image: google
Rutinitas di sebuah warung kopi sangat ramai pagi itu. Aroma kopi arabika dari dataran tinggi Gayo menyebar hingga ke tengah jalan seakan mencoba merayu orang-orang untuk singgah sebentar, menyeruput kopi. 

Suara penghuni warung tak kalah ramainya. Mereka sibuk dengan obrolan masing-masing. Suara mereka serupa suara lebah madu saat sarangnya dilempar. Berisik dengan nada berantakan, walau terkadang indah untuk didengar. Geliat warung kopi yang terletak di persimpangan desa itu mulai bernafas kembali semenjak beberapa tahun lalu, saat damai tiba di Aceh. 

Pada masa konflik, warung kopi itu dulu pernah dibakar suatu malam oleh mereka yang disebut sebagai orang tak dikenal. Warung kopi Bang Dolah itupun hangus terbakar. Tak ada yang tersisa selain puing-puing kehancuran dan beberapa sendok kopi yang menghitam. 

Setelah damai, sekarang kondisinya jauh berubah. Sekarang warungnya lebih luas dan tidak lagi berdindingkan kayu seperti tempo dulu. Dinding beton dibalut cat berwarna hijau muda membuatnya lebih cerah. Pengunjungnya pun sekarang jauh lebih ramai. Aura kebahagiaan memenuhi setiap sudut warung. 

Seorang bapak dengan kaos hitam bergambar peta Aceh masuk warung. Sarung bermotif kotak-kotak melekat di pinggangnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dengan warna kulit sedikit lebih cerah dari warna bajunya. Matanya tajam menatap sekitar. Semua orang di warung memperhatikan dan menyapanya dengan wajah penuh keakraban. Senyumnya mengembang lalu tertawa lepas saat Bang Dolah pemilik warung membisikinya sesuatu. 

Hampir saja tidak ada kursi tersisa. Beruntung Bang Dolah menyimpan kursi untuknya. Ia langganan tetap warung kopi itu. Bang Dolah kemudian meletakkan sebuah kursi plastik berwarna hijau berdekatan dengan dapur peracik kopi sebagai tempat duduknya. Pagi itu ia lebih memilih duduk sendiri menolak ajakan beberapa kawan bergabung bersama mereka. 

Katanya duduk dekat dapur peracik kopi lebih nyaman, lebih mudah baginya mencium aroma kopi. Alasannya klise, aroma khas kopi yang dipanaskan dalam suhu tertentu membuatnya nyaman. 

Ia tak lagi asing bagi penduduk daerah itu. Orang-orang mengenalnya dengan nama Cek Mat. Dulu ia merupakan salah seorang kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia bertanggung jawab terhadap salah satu sagoe (daerah), lebih tepatnya ia merupakan panglima sagoe. Sebagai panglima sagoe, ia bukan hanya disegani oleh kawannya sesama GAM tetapi juga ditakuti oleh Tentara Republik Indonesia. 

Ia direkrut di sebuah pesantren tradisional pada saat seorang anggota GAM bersembunyi di asramanya. Di asrama pesantren itu ia menyatakan niatnya untuk bergabung dan membantu perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa tahun setelahnya, ia diangkat menjadi panglima sagoe untuk daerahnya. 

Cek Mat memiliki sifat yang ramah dan mudah berbaur dengan masyarakat. Tak jarang ia juga sering membantu masyarakat. Cek Mat memiliki latar belakang pendidikan dan agama yang kuat dari pesantren tradisional sehingga terkadang ia juga mengisi ceramah-ceramah agama. Hanya sebagian masyarakat yang tau bahwa Cek Mat adalah panglima sagoe bagi daerah mereka. 

Pada masa konflik, Cek Mat ialah salah seorang yang paling dicari. Itu terjadi setelah iring-iringan truk berisi puluhan pasukan tentara yang baru didatangkan dari Pulau Jawa diserang di daerahnya. Konon, belasan tentara baru tersebut tewas dalam serangan nahas itu. Cek Mat dan kelompoknya dituding sebagai dalang dalam kejadian itu. Tentara marah besar. Mereka menyusupkan mata-mata untuk mencari tahu sosok Cek Mat untuk dibunuh tapi ia tak pernah ditemukan. Masyarakat melindunginya. 

Damai datang, ia kembali ke kehidupan normalnya. Ia memilih menjadi petani dan guru agama di desanya. Penghasilannya tak seberapa dibandingkan dengan teman seperjuangannya. Kawannya sesama GAM banyak telah sukses menjadi pejabat dan petinggi di beberapa daerah di Aceh. 

Ia juga beberapa kali diajak untuk turun dalam dunia politik seperti yang digeluti oleh sebagian besar kawannya itu namun ia menolak. Sikapnya tegas. Ia lebih memilih menjadi masyarakat biasa. Jauh dari lingkar kekuasaan dan politik. Tiada seorangpun yang dapat membujuknya. Niatnya tidak berubah, sama seperti niat awalnya bergabung dengan GAM untuk mewujudkan cita-citanya melihat kehidupan rakyat Aceh menjadi yang lebih baik. Bukan untuk tujuan yang lain. 

Tiada seorang pun yang dapat mengubah pendiriannya itu. Ia selalu punya jawaban menarik jika seseorang mengajaknya bergabung dalam dunia politik seperti saat Bang Dolah menggodanya di warung kopi itu untuk terjun dalam politik.

"Mat, jika kau mendaftar sebagai calon bupati atau seorang anggota dewan maka semua masyarakat pasti akan memilihmu. Saya yakin akan menang mutlak." 

"Tidak Dolah, aku tau politik di negeri kita seperti apa. Sekarang lihat, para koruptor yang ditangkap itu dulunya mereka adalah aktifis dan sebagian lagi mahasiswa yang dulu aktif memperjuangkan hak-hak rakyat. Sekarang mereka menginjak-injak rakyat. Aku tidak ingin seperti itu Dolah," ujar Cek Mat menjelaskan. 

"Tapi aku yakin kau tidak akan berubah, apalagi seperti mereka itu." 

"Kau belum tau Dolah, coba lihat lagi kawan-kawanku di pemerintahan. Mereka mengkritik pemerintah sebelumnya tapi mereka sendiri lebih buruk dalam memimpin. Bahkan mereka melupakan janji-janji manis politik mereka dulu." 

"Aku tidak mau suatu saat aku melupakanmu Dolah. Melupakan warga kampung ini. Ini suatu kejahatan besar bagiku Dolah. Apalagi jika sampai melupakan warung kopimu ini." lanjut Cek Mat menjelaskan lalu tertawa. 

"Tapi katanya politik itu dapat mensejahterakan rakyat" 

"Iya, ia dapat mensejahterakan rakyat tapi tak jarang menginjak rakyat dengan berbagai topeng termasuk memakai topeng kesejahteraan. Politik negeri kita itu seperti kopi hitam dalam gelasku ini. Gelap. Jika satu atau dua tetes susu kau celupkan dalamnya tetap warnanya hitam. Bahkan satu sedokpun belum cukup dan jikapun kau campurkan susu sebanyak kopi hitam ini warnanya akan menjadi coklat, tapi tidak dengan politik negeri kita. Ia tetap akan hitam. Kamu mengertikan maksudku Dolah...?" 

"Ya, aku mengerti Mat" 

"Taukah kau Dolah, karena kurang baik melekat, buah jatuh dari pohonnya. Karena ekonomi yang kurang baik, rupiah juga jatuh. Itu hukum alam namanya. Sekarang kita lihat politik. Lihat pejabat kita, mereka yang tidak bisa memimpin malah sekarang ngotot dan memaksa diri untuk naik lagi 2017 nanti sebagai calon pejabat. Antara pejabat dan penjahat dekat persamaannya di negeri kita. Tahukah kau mengapa mereka naik lagi Dolah. Apa tujuan mereka...?" 

"Yang pasti mereka bukan mau kopiku Mat." Dolah menjawab sambil tertawa. Setelah kejadian itu, Bang Dolah tak lagi menggodanya untuk bergabung dalam politik. Bang Dolah harus menyerah, Cek Mat bukan tipe orang yang mudah dirayu jika tekadnya sudah bulat. Pendiriannya tak bisa digoyang apalagi dirobohkan.

"Kukatakan padamu Mat, harga kopiku hari ini tidak naik untukmu," bisik Dolah setiap Cek Mat melangkah masuk ke dalam warung kopinya.

___________
Tulisan ini pernah dimuat di www.kmamesir.org klik

Cinta dan Permata

Image: google

Fajar menjelang sebentar lagi. Aku masih saja mematung di atas hamparan sajadah merah bergambar Ka'bah. Kedua tangan menopang dagu menatap ke arah gambar dinding Ka'bah itu. Kucoba memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya perlahan. Percuma. Rasa sesak di dada belum juga reda.

Kejadian tadi sore masih terperangkap dalam ingatan. Berbayang tak lepas. Seandainya tidak ada pembicaraan kelanjutan kisah cinta kami ke arah makin serius. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan itu.

Sejujurnya, separuh hatiku masih mencintainya namun sebagian yang lain tak setuju serta menolak untuk terus melanjutkan cerita ini ke arah lebih serius. Pernikahan. Sikapnya tadi sore membuatku begitu terpukul.

Reaksinya membuatku tersentak seakan tak percaya apa telah terjadi. Syok, terkejut bukan kepalang, ternyata selama ini ada rahasia besar yang tersembunyikan dan ia tutupi. Aku merasa tak yakin bisa mempertahankan perasaan ini dan aku harus melupakannya. Sekarang.

***

"Nama kakak saya ini Permata Ustad," kata Aman saat sesosok gadis dengan balutan hijab merah jambu keluar membawa dua gelas teh manis dan sepiring gorengan.

"Silakan Ustad, teh dan gorengannya dicicipi," ujarnya sopan dengan senyum mengembang diapit dua lesung pipi manis di parasnya. Aku segera membalas senyumnya.

"Iya, makasih banyak."

Selama sebulan aku bertugas menjadi guru privat Aman untuk mendongkrak nilai-nilai pelajaran di sekolahnya. Anak itu baru memasuki kelas enam sekolah dasar. Sang ibu ingin agar nilainya ini meningkat dan lulus dengan nilai memuaskan di ujian akhir. Namun selain pelajaran sekolah Aku juga mengajar Aman mengaji dan Bahasa Arab, hingga ia memanggilku ustad.

Awalnya aku tidak terlalu memedulikan kakak Aman, Permata. Selain mengajar kontrak di salah satu pesantren dan menjadi guru privat di beberapa rumah, aku terlalu disibukkan dengan tesis yang hampir rampung. Tidak ada waktu untuk memikirkan cinta apalagi Permata, hingga pada akhirnya sebuah sms masuk ke handphone-ku dari nomor tak kukenal.

"Assalamualaikum ustad, gimana perkembangan Aman"

"Alhamdulillah Bu, Aman sekarang sudah lumayan bagus bacaan Al-Qur'annya dan tahun depan mungkin sudah bisa diterima di pesantren favoritnya," balasku. Tak ada dugaan lain karena nomor handphone-ku cuma kuberikan pada bocah itu dan ibunya.

"Maaf Ustad, ini Permata. Kakaknya Aman."

Sejak itulah Permata mulai masuk dalam kehidupanku. Ia mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri yang juga sedang berjuang dengan skripsinya. Persamaan ini membuat kami mudah menjadi dekat. Terkadang Ia menjadi sering mengantarku hingga ke pintu gerbang rumahnya setelah selesai mengajar. Sering kali setelah berada di halaman rumah kami bercerita lumayan lama sambil berdiri hingga suara Aman menegur kami.

"Sudah kak, Pak Ustad sudah terlalu lelah besok disambung lagi!" Begitu teriak Aman menggoda kakaknya dari depan pintu.

Tiap hari ia mulai menanyakan kabarku dan beragam pertanyaan lain tentang aktivitasku. Meminta nasihatku untuk skripsinya ataupun menyemangatiku. Membaca sms dan membalas pesannya sudah menjadi kebiasaan baru yang kusukai tanpa sadar.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya perasaan itu tumbuh dan kuat juga. Satu hal telah kusadari. Aku tak bisa lagi menyembunyikan dorongan perasaan yang tak biasa saat bertemu dengannya. Aku mencintainya. Gayung bersambut, ia juga mempunyai perasaan yang sama saat kuutarakan isi hatiku ini. Aku mencintainya tapi tetap tidak ada istilah pacaran dalam kamus kehidupanku. Jika waktunya sudah tepat aku akan melamarnya dan menikahinya. Ia pun memahaminya. Sejak saat itu ia kuminta tak lagi memanggilku ustad.

Waktu terus berjalan, sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya. Seperti saat ia minta ditemani ke perpustakaan mencarikan buku untuk skripsinya. Aku menolaknya tapi keesokan harinya aku membawa 3 buku yang dibutuhkan untuk skripsinya. Aku khawatir ajakannya membawaku kepada proses pacaran.

Sore itu pun tiba. Sore yang tak pernah kuduga akan menjadi sore paling menyakitkan dalam kehidupan asmaraku dengannya. Sore itu seharusnya aku mengajar seperi biasa, kondisi Aman yang terbaring lemas di tempat tidur lantaran demam menyurutkan niatku. Permata meminta maaf tak mengabariku soal kondisi adiknya terlebih dulu.

Ia mengajakku menuju teras rumah. Kami duduk bersisian di atas dua kursi berbeda yang dipisahkan sebuah meja kecil. Ada dua gelas teh manis yang terhidang, seperti biasanya.

Ia bercerita banyak tentang teman-teman dan kampusnya. Aku juga mengajukan banyak pertanyaan karena memang banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya. Segala hal tentang gadis itu yang telah membuat hatiku bergejolak tiap bertemu dengannya. Aku ingin hubungan ini mengarah ke arah seharusnya. Pernikahan. Kemudian sampailah arah pertanyaan ke hal tak terduga.

"Permata pernah pacaran?" Sudah sangat lama aku ingin bertanya seperti ini.

"Pernah Bang, cuma sekali."

"Waktu pacaran dulu gimana Permata?" Tanyaku lagi.

"Biasa Bang, jalan-jalan. Pegang-pegangan tangan…" suaranya terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu melanjutkan. "Terkadang ciuman."

Sikapnya makin membuatku penasaran. Dengan sedikit tercekat, aku bertanya lagi, "Maaf Permata, bukan bermaksud berpikiran kotor. Jujur, pernah nggak Permata melakukan hal yang lebih dari itu?"

Ia diam sebentar. Menggangguk pelan, lalu tangisnya pecah tak tertahankan. Air matanya mengalir deras membentuk aliran sungai raksasa di pipinya yang kemerah-merahan. Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Hanya ada suara tangis yang menyayat hati. Itulah jawabannya.

Aku terkejut, syok. Tak pernah terlintas di pikiranku akan melihat reaksi Permata yang membuatku terdiam kaku. Udara segar sore itu seakan tercemar dengan beragam polusi. Sulit bagiku bernafas saat itu. Kami terdiam membatu, hanya terdengar tangis Permata yang tersendat-sendat. Air matanya terus mengalir deras dan makin tak terbendung saat aku minta izin pulang.

Suasana jalanan Banda Aceh sore itu seperti suasana hatiku, panas, macet dan gaduh dengan bermacam-macam bunyi klakson kendaraan. Tidak, suasana hatiku lebih parah. Setidaknya tidak terjadi kecelakaan lalu lintas sore itu, beda dengan hatiku. Remuk berantakan.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari mendengar tangis penyesalan Permata. Memang benar, Umar bin Khattab yang hampir membunuh Rasulullah-pun akhirnya menjadi pembela Rasulullah yang paling tegas bahkan beliau dimakamkan berdampingan dengan Rasul. Tapi bukan untukku, aku belum siap menerima kenyataan ini. Inilah salah satu alasan mengapa aku membenci pacaran model anak zaman sekarang.

Bagaimana mungkin untuk menjaga hal yang paling penting dari seorang wanita itu ia tidak bisa. Jodoh memang rahasia terbesar Tuhan, tapi kita juga diberikan pilihan untuk memilihnya Adakah yang menginginkan permata yang retak? Kalaupun ada, itu bukanlah diriku. Maaf.[]



***
Diadaptasi dari kisah nyata seseorang.
Tulisan ini pernah dimuat di www.kmamesir.org klik