Ilustrasi. (Dok. Pribadi) |
Hari ini, aku merenungkan sesuatu. Suatu hal yang barangkali sudah bosan kita dengar karena terus menerus dibicarakan: cinta dan Nabi Adam dan Siti Hawa.
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak etis dipertanyakan, "Mengapa Nabi Adam mencintai Siti Hawa?" Paken, limaza, and why?
Pertanyaan ini dimulai dengan asal muasal cinta itu sendiri. Apakah ia lahir atau diciptakan Menjawab pertanyaan ini, tentu saja aku percaya dua-duanya atau dua-duanya sebenarnya adalah hal yang sama.
Cinta lahir. Ia lahir bersamaan dengan lahirnya manusia pertama. Cinta juga diciptakan. Pasti. Nabi Adam diciptakan dari proses penciptaan yang rumit, tapi cukup enteng bagi Allah Swt. Sebuah kalimat ajaib "kun fayakun", maka jadilah sesuai kehendak-Nya.
Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, Allah menciptakan cinta dalam satu paket utuh dalam jiwa Nabi Adam. Tanpa cinta, bagaimana Nabi Adam bisa mencintai Allah? Juga, tanpa cinta barangkali mustahil bagi Nabi Adam untuk terus mencintai dan merindukan Siti Hawa setelah berpisah jarak tak terkira saat dihempas ke bumi.
Lalu, mengapa Nabi Adam mencintai Siti Hawa?
Kita sama-sama tahu bahwa dalam pendapat yang kuat disebutkan, bahwa Siti Hawa diciptakan dari bagian tubuh Nabi Adam. Lalu, apakah Nabi Adam mencintai Siti Hawa, karena diciptakan dari tubuh Nabi Adam sendiri. Dalam artian, Nabi Adam sebenarnya tidak mencintai Siti Hawa, tapi hanya mencintai bagian dari tubuh dan jiwanya sendiri?
Nah, jikalau analoginya seperti ini, artinya Siti Hawa juga demikian. Ia tidak mencintai Nabi Adam karena Nabi Adam, tapi Siti Hawa mencintai Nabi Adam karena ia bagian tubuh yang lain dari Siti Hawa sendiri.
Kemudian, bukankah saat itu cuma ada satu laki-laki dan satu perempuan. Bagaimana jika Allah menciptakan banyak laki-laki dan perempuan dalam satu waktu dengan nama yang bermacam-macam? Bagaimana jika Allah tidak menciptakan Siti Hawa dari bagian tubuh Nabi Adam, apakah Nabi Adam akan tetap mencintai Siti Hawa atau sebaliknya?
Dari pergalutan pemikiran tak jelas dan perlu di-astagfirullah-kan ini, aku menarik kesimpulan sederhana.
Pertama, Nabi Adam mencintai Siti Hawa, karena Siti Hawa bagian dari jiwa dan raganya. Kedua, Nabi Adam mencintai Siti Hawa karena ia benar-benar mencintai Siti Hawa sepenuhnya. Ketiga, Nabi Adam mencintai Siti Hawa, karena tidak ada pilihan yang lain. Keempat, Nabi Adam mencintai Siti Hawa karena ia bagian dari jiwa raganya dan juga karena ia benar-benar mencintai Hawa.
Lalu di manakah peran Allah? Ya, semuanya memang tak terlepas dari peran penciptaan Allah yang sempurna, tentang cinta dan tentang segalanya.
Perdebatan tentang cinta dan alasan mengapa Nabi Adam mencintai Siti Hawa, hari ini makin meluas, terus bertambah banyak, dan dalam bentuk berbeda.
Dulu hanya ada Nabi Adam dan Siti Hawa, mereka tidak ada pilihan lain. Hari ini hukum probabilitas semakin luas, "Adam" semakin banyak, bentuk dan sifatnya semakin bervariasi. Begitu juga dengan "Hawa", jumlahnya semakin tinggi, dengan bentuk dan sifat bermacam rupa.
Di sinilah makna cinta kembali diperdebatkan dengan model yang berbeda. Mengapa kita harus jatuh cinta?
Cinta kemudian diapresiasi dengan berbagai variasi. Mulai dari tolok ukur fisik, harta, tahta, kesalehan, kenyamanan, hingga "tak perlu alasan untuk jatuh cinta".
Dasar jatuh cinta pun jadi sangat beragam, dari yang benaran jatuh cinta, karena rasa penasaran, hingga cinta jahat yang hanya bernafaskan nafsu.
Lalu bagaimana dengan benci antitesis dari cinta? Apakah proses penciptaannya sama seperti cinta? Atau cinta dan benci itu satu paket yang tak bisa dipisahkan, yang kemudian disebut dengan perasaan?
Sampai ke sini, aku semakin bingung. Aku berpikir sendiri, aku bingung sendiri. Namun, satu hal yang terus kuyakin dengan yakin dan tak membuatku bingung adalah: aku mencintaimu. 😅