Liverpool, Mesir, dan Gelas yang Pecah

Baki berisi gelas, dan arang syiya yang jatuh. (Image: Dok. pribadi) 
Di sebuah persimpangan jalan di Husein, Kairo, dua pemuda bertubrukan. Salah seorang yang membawa baki aluminum menghempaskan muatannya. Dua buah gelas dan arang syisya membentur bumi. Pecah, menghamburkan pecahan kaca tajam ke jalanan. Kedua pemuda itu saling menyingkir dari lokasi pecahan kaca dan saling pandang. 

Kukira adegan selanjutnya mereka akan beradu mulut, saling dorong-mendorong atau adu debat dan nyali untuk membuktikan siapa yang bersalah. Aku memprediksi hal ini bukan tanpa sebab. Kejadian seperti ini sudah lumrah di Mesir, terlebih saat suhu Kairo mulai memasuki musim panas, orang-orang cenderung gerah dan mudah meluapkan amarah.

Mereka biasanya tak lagi peduli siapa yang benar dan siapa yang salah, mereka hanya ingin tetap berdebat, untuk memperlihatkan kepada penonton live drama jalanan: siapa yang paling heroik dan patriotik. Jiwa orang-orang Mesir adalah jiwa penuh harga diri, tak boleh dilecehkan. Walaupun bersalah, berdebat dan beradu mulut hingga perkelahian kerap dilakukan untuk membuktikan siapa paling jantan. Bagi mereka, siapa pun yang menang adu mulut dan jotos adalah juara.

Di sini, juara tidak ditentukan siapa yang kalah, tapi ditentukan oleh ketegangan urat saraf dan leher. Semakin besar urat leher yang menonjol, semakin potensial memenangkan laga jalanan. 

Jika perkelahian jalanan ini sudah mulai masuk ke arah perkelahian, orang-orang yang menonton akan ikut nimbrung. Niatnya untuk menyelesaikan masalah, tapi realitanya semakin menambah tensi perkelahian.

Jika awalnya yang bertengkar hanya dua orang, maka selanjutnya perkelahian akan semakin ramai. Di tahap ini, keriuhan semakin serba tidak jelas, kita tidak tahu lagi siapa yang bermasalah dan objek permasalahannya. Semua serba absurd. Menonton live perkelahian ini lebih seru daripada menyaksikan laga tinju bebas dunia, karena kita tidak tahu siapa yang akan menang dan ending dari perkelahian.

Aku masih berdiri di persimpangan jalan itu, berharap bisa menyaksikan lagi live tarung bebas jalanan dua pemuda Kairo ini.

Malam itu, Selasa (7 Mei 2019), tak jauh dari tempatku berdiri, sebuah kedai teh tengah menyiarkan leg terakhir semifinal Liga Champion: Liverpool versus Barcelona. Sebelumnya, Liverpool sudah dibantai di kandang Barcelona di laga awal dengan skor 3:0. Sebuah televisi di kedai itu tengah menyiarkan drama seru kesatria Liverpool melawan kekalahan mereka sebelumnya di kandang Barcelona.

Di menit sebelum tabrakan kedua pemuda terjadi, Liverpool sudah merobek gawang Barcelona 2:0. Perolehan skor agregat antar Liverpool dan Barcelona menjadi 2:3. 

Meskipun Liverpool adalah klub asal Inggris, tapi bagi rakyat Mesir, Liverpool adalah klub nasional bagi seluruh rakyat Mesir (untuk saat ini). Klub yang harus didukung dengan penuh jiwa.

Muhammad Salah. (Image: en.as.com)
Adalah Muhammad Salah yang menjadikan rakyat Mesir bersatu dalam satu komando mendukung dan mendoakan kemenangan Liverpool meskipun berbeda pilihan politik dan agama. 

Malam itu, Salah, pemain asal Mesir ini cedera. Ia tidak bisa ikut bermain melawan Messi dan kawan-kawan. Salah hanya duduk cantik di tribun penonton bersama istrinya. Ia memang tidak ikut bermain, tapi tulisan besar "NEVER GIVE UP" di kaus yang dikenakan Salah menunjukkan, bahwa ia bersama seluruh suporter di Stadion Anfield mendukung kawan-kawannya untuk memenangkan laga. 

Sedangkan bagi rakyat Mesir, Liverpool harus menang agar mereka masih bisa menyaksikan Muhammad Salah bermain di final Liga Champion. 

Atmosfir Anfield malam itu begitu mengerikan bagi skuad Barcelona, teriakan-teriakan suporter Liverpool seperti menghempaskan mental permainan Barcelona. Messi dan kawan-kawan seperti kehilangan taring tidak seperti sebelumnya saat mereka bertarung di kandang sendiri. 

Teriakan dan sorakan pendukung Muhammad Salah dan Liverpool di kedai-kedai Mesir pun tak kalah membahana. Saat gol ketiga melesat ke gawang gawang Barcelona, seluruh penghuni kedai historis. Sebagai berdiri dari tempat duduknya.

Sebagian pejalan kaki yang terkejut berlari ke arah kedai, ingin menyaksikan tayangan ulang gol ketiga Liverpool itu. Saat gol ketiga itu terjadilah, seorang pemuda menabrak pembawa baki minuman hingga membuat gelas teh pecah berserakan di jalan.

Dua pemuda itu masih saling menatap. Pemuda pembawa baki minuman itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya memberikan gestur heran. Tanpa dikomando, mereka berdua saling berpelukan bagai sepasang kekasih yang sudah lama tak berjumpa. 

Setelah berpelukan, mereka langsung berdiri di depan kedai, melihat tayangan ulang gol ketiga Liverpool yang membuat agregat menjadi 3:3. Mereka kemudian berteriak sekali lagi. Sebuah teriakan kemenangan, tanpa memperdulikan lagi gelas pecah yang berserakan. Malam itu, bola kembali menyatukan dua warga yang nyaris bertengkar. 

Mungkin kita di Indonesia juga butuh kekuatan dan kesegaran lain yang mampu mengalihkan dan mengakrabkan diri setelah berbagai polarisasi politik terjadi. Kita harus saling merangkul, bukan saling "memukul" hingga pecah bagai gelas kaca. Untuk itu apa pun yang bisa menyatukan kita, sangat dibutuhkan, baik itu sepak bola atau olahraga lain. Seperti kita ingat saat Asian Games tahun lalu, bagaimana Jokowi dan Prabowo saling berpelukan.[]

Jokowi dan Prabowo. (Image: Detik.com)

Gara-gara Bilik Suara

Aridho (pakai topi hitam) sedang memasukkan kertas suara ke kotak suara. (Image: Dok. Pribadi)
Kami di Mesir memilih calon presiden/wakil presiden dan calon legislatif pada Sabtu, 13 April 2019. Ada kejadian menarik di salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) kami mencoblos. 

Saat memasuki salah satu TPS di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo, aku mendengar seorang panitia penyelenggara Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) berseru kepada pemilih agar tidak mengambil foto di bilik suara. 

"Kepada Kawan-kawan, dilarang mengambil gambar atau foto di bilik suara," katanya. 

Aridho, kawanku, yang sedang duduk di kursi antrian dalam TPS melihat ke arahku dan bertanya hal itu. Soalnya ia memintaku memfoto dirinya saat mencoblos dan saat berada di bilik suara.

"Enggak apa-apa Dho, itu maksudnya kita enggak boleh ambil foto di dalam kotak itu Dhoe. Itu bilik suara. Kalau dari sini enggak apa-apa, ini bilik bersama," kataku padanya dengan suara agak keras sambil menunjuk ke arah bilik suara. 

Perempuan manis tadi tampaknya mendengar kata-kataku, tapi mungkin tidak lengkap, sehingga ia berkata lagi padaku dengan sorot mata yang agak aneh (bukan sorot mata penuh cinta pokoknya).

"Enggak boleh ambil foto di bilik suara...!"

"Iya, iya... Maksud saya, itu bilik suara, tapi ini kan ini ruangan. TPS (buka bagian bilik suara).  Ini bilik bersama," kataku lagi sambil mengisyaratkan telunjuk ke ruangan itu. 

Suasana ruang itu agak gaduh, ia tampak belum mengerti maksudku, atau aku yang memang bego, enggak tahu cara menyampaikan pesan dengan baik kepada perempuan. Entahlah. 

"Foto di dalam situ, enggak boleh ambil," katanya lagi.

Ya Allah. Ia masih belum mengerti juga rupanya. Sambil menghembuskan nafas naga yang panjang, aku yang kesal malah ingin menjawab lagi. Seharusnya aku menyerah saja, setidaknya biar aku kalah berdebat, aku bisa menang di hatinya. Ya kali. 

"Iya, iya, kami tahu. Itu bilik suara, tapi ini ruangan. Bilik bersama...!" 

Seandainya aku khilaf saat itu, bisa saja kujawab, "Iya, aku tahu, itu bilik suara. Kalau bilik rindu, itu milik kita berdua suatu hari nanti..."

Aridho yang juga sudah mulai kesal melihat hangatnya percakapan kami yang makin tidak jelas dan tak kunjung usai, mencoba melerai. 

"Tenang Ustazah, tenang Ustazah," kata Aridho,

"Udah Bang, udah..." 

Aku kecewa sekali dengan sikap Aridho. Padahal kalau bisa, aku masih ingin berbicara lebih lama lagi dengannya. Ya sudahlah, enggak apa-apa. Akulah yang salah, dia cuma salah paham aja. Sebuah dialog antar umat manusia yang sangat tidak bermanfaat dan sarat modus ini akhirnya berakhir. Baru kemudian aku mengambil lagi video dan foto Aridho yang sedang mencoblos. 

Di pemilu ini, pesanku cuma satu, "Kita boleh berbeda pilihan politik, tapi yang namanya persaudaraan dan persahabatan tetaplah nomor satu".[]