plukme.com |
Lihat saja ajang pemilu kita hari-hari ini. Oleh orang-orang yang tak tahu etika, kontestasi politik ini kian hari semakin terpuruk dan bertambah busuk. Pemilu 2019 ini seolah bukan lagi pemilu pilih presiden. Tapi pemilu saling rusak marwah para ulama yang telah diperdagangkan dengan murah oleh politisi kedua kubu.
Pun terkadang "ulama" malah merusak marwahnya sendiri dengan menjadi pencaci di setiap mimbar dan singgasana politik. Hal yang juga menyedihkan, tak jarang "ulama" mengolok-olok dan menghina "ulama" lain yang berbeda orientasi politik. Jika "ulama" atau yang dianggap "ulama" saja sudah begini rupa kelakuannya, lalu bagaimana murid-muridnya. Ya lebih kurang, tentu saja tak jauh dari "kencing berlari" atau "BAB sambil balap motor" misalnya.
Sangat disayangkan. Coba kita perhatikan sporter kedua kelompok, bagaimana cara mereka merendahkan para ulama yang berbeda pilihan dengan ijtihad politik mereka. Etika dan moral, sesuatu yang seharusnya dijaga oleh orang-orang beragama dan Indonesia, jadi rusak oleh syahwat politik.
Akibat kegaduhan perpolitikan tak berkesudahan ini, "ulama" pun tampaknya seakan-seakan tidak lagi menjadi corong kampanye rahmatan lil alamin. "Para ulama" seperti sudah menjadi mesin politik Bowo-Sandi dan corongnya Joko-Amin.
Hal yang selanjutnya cukup lacur dan memuakkan adalah penyalahgunaan mesjid. Tempat yang seharusnya sakral ini berubah menjadi alat-alat propaganda politik demi mengeksploitasi pemikiran umat dengan hal-hal negatif. Mimbar dan ceramah yang seharusnya menjadi penyejuk, malah diisi kampanye busuk provokatif.
Mesjid sebagai pusat ibadah yang seharusnya menyatukan umat yang terpecah di dua kubu ini, malah menjadi ajang penyebar kebencian. Para bahlul politik dari kedua kubu berlomba berebut TOA mesjid, untuk berteriak kepada umat bahwa merekalah pihak paling beriman dan merupakan pilihan Tuhan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Umat kebingungan. Bahkan di mesjid pun kita tak lagi tenang beribadah.
Tapi Bang, agama tak bisa dipisahkan dengan politik...?
Benar, agama tak memisahkan politik, agama juga tak memisahkan diri dengan ekonomi. Tapi saat kita berdagang di dalam mesjid, orang lain pun bisa melakukannya. Semua orang ngotot buka lapak dagangan. Kalau sudah begini, keributan akan terjadi. Akhirnya mesjid jadi pasar dagang, bukan lagi area spiritual.
Ibarat sederhananya, satu berdagang Honda, satu lagi menjual Yamaha. Satu pengkhutbah menjelekkan Honda, pengkhutbah lain membusukkan produk Yamaha. Akibat tersulut emosi dan terprovokasi, pemakai Honda dan Yamaha akhirnya saling benci dan caci. Pemilik dealer Honda-Yamaha yang dapat untung. Kita hanya menjadi korban marketing—yang sialnya malah bangga mendapat rugi. Inilah wajah politik kita. Wajah yang menyedihkan.
Kita tahu, area dagang itu sudah ditetapkan: di pasar. Area kampanye politik pun juga punya tempatnya: di gedung dan di lapangan. Tempat dagang dan kampanye yang pasti bukan di mesjid atau tempat ibadah, sehingga saat semuanya sudah panas di pasar dan terbakar emosi di pentas politik, kita bisa kembali ke mesjid. Inilah tempat sejuk pemersatu. Tempat penuh petuah, bukan amarah.
Kalau mesjid sebagai tempat satu-satunya kita bisa berdamai telah dirusak dengan amarah berebut kekuasaan, kemana lagi kita mencari kesejukan? Jangan pernah kita kotori mesjid dengan dagangan politik, apalagi secara keji. Kita tidak sedang dalam situasi "Perang Badar". Jangan pernah jauhkan orang-orang dari mesjid. Rasulullah Saw. tak suka itu.
Note:
Pesan ini tidak disponsori oleh pabrik Honda ataupun Yamaha.
@farhanjihadi
EmoticonEmoticon