Jika Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, masih ngotot tetap menunggu sertifikat halal, ini sangat sulit terjadi. Hingga saat ini vaksin MR ini belum mampu diciptakan dengan menggunakan zat yang seluruhnya halal. Dalam kata lain, vaksin ini memang mengandung zat haram, namun dalam keadaan darurat, ini diperbolehkan. Fatwa ini seharusnya bisa dijadikan pijakan dan panduan bagi kepala pemerintahan daerah seperti Nova untuk membuat kebijakan kesehatan atau perlindungan imunisasi yang tepat bagi masyarakat.
Kisah Husnul dan Shafa di atas hanyalah segelintir kisah pilu korban keganasan rubella. Berdasarkan data yang dipublikasi pada
Sehat Negeriku, situs resmi
milik
Departemen Kesehatan Indonesia, menurut cacatan WHO tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan kasus campak terbesar di dunia. Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah kasus Campak dan Rubella yang ada di Indonesia sangat banyak dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Adapun jumlah total kasus suspek campak-rubella yang dilaporkan antara tahun 2014 sampai Juli 2018 tercatat sebanyak 57.056 kasus (8.964 positif campak dan 5.737 positif rubella).
Seperti dikutip dari
BBC Indonesia misalnya, health officer badan kesejahteraan anak-anak PBB, Unicef Indonesia, Dita Ramadonna, mengatakan penundaan penyuntikan vaksin MR sampai saat ini, mengakibatkan 84 persen populasi anak di Aceh berisiko terkena campak rubella. Ini angka yang cukup besar. Apakah kita harus menunggu korban jatuh bertambah banyak? Cukuplah apa yang dialami Husnul dan Shafa menjadi contoh yang seharusnya membuat kita dan pemerintah Aceh sadar.
Dari segi agama pun, kita seringkali juga salah mengartikan pemberian Tuhan. Lihat saja kasus virus rubella ini sekarang, masih ada saja masyarakat yang mengharamkannya secara mutlak. Sedangkan anti virus yang halal belum ditemukan.
Begini Saudara-saudara, di saat virus Rubella ini mewabah dengan ganas di Indonesia, terutama di Aceh, kita sebagai orang tua memohon kepada Allah agar anak kita sehat. Lalu Allah “memberikan” kita anti virus yang haram (karena yang halal memang belum ada atau ditemukan). Kita enggak mau pakai. Saat anak kita sakit, lahir cacat, bahkan meninggal. Terus kita mau salahkan Tuhan?
Padahal “Tuhan” melalui kaidah ushul fikih yang disusun para ulama berkata, “Addharuraat tubihul mahzhurat”, dalam kondisi darurat, hal-hal yang dilarang diperbolehkan. Atau seperti kata ulama besar Imam Assuyuthi, “Adh-dharar yuzalu” yang berarti segala bentuk yang membahayakan harus dihilangkan atau dihindari. Ini sejalan prinsip maqasid syariah atau tujuan pensyariatan yang ditetapkan oleh Allah ialah demi kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Masalah kita sekarang ialah, kita belum mampu menciptakan anti virus halal. Dan orang-orang seperti kita seharusnya menjelaskan dengan bijak bahwa dalam keadaan darurat pemakaian sesuatu yang haram, diperbolehkan selama yang halal belum ditemukan. Karena dilakukan untuk menghindari mudharat dan kerusakan lebih besar, ini diperbolehkan. Dan artinya bahwa imunisasi sudah sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Qiyas ataupun analogi sederhananya ialah misalnya saat kita tersesat di rimba yang tidak ada makanan apapun, kita diperbolehkan memakan bangkai, daging babi atau sesuatu yang haram lainnya. Ini dilakukan dalam keadaan darurat dan mendesak agar kita tidak mati. Untuk bertahan hidup.
Akhir-akhir ini saya sering membagikan info tentang rubella ini di beranda Facebook. Mulai dari berita masifnya penyebaran virus, pendapat MUI dan MPU Aceh yang sudah membolehkan penggunaannya, plus tentang pemerintah Aceh yang masih menunda-nunda pemberian vaksin anti rubella. Namun, apalah daya, yang muncul di kolom komentar adalah suara nyinyiran makhluk anti virus, dan mereka yang percaya bahwa vaksin adalah konspirasi Barat, Yahudi, Zionis, Donal Trump, hingga Donal Bebek.
|
Tangan balita yang terkena rubella. (Sumber foto: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id) |
TUDUHAN KONSPIRASI
Masih ada anggapan sebagian orang yang menuduh praktek vaksinasi ini hanyalah praktek konspirasi. Konspirasi yang mereka anggap hanya lelucon Barat ini telah merenggut nyawa anak-anak dan ribuan lainnya cacat di seluruh dunia.
Mereka menyebutkan bahwa vaksin ini hanyalah akal-akal Barat untuk membodohi dan menghancurkan generasi Timur dan Muslim. Padahal tuduhan konspirasi yang sama, bisa kita lempar kepada mereka. Jangan-jangan mereka yang anti vaksin inilah yang sedang menyebarkan konspirasi agar anak-anak Muslim lahir cacat. Agar anak-anak Timur lemah dan abnormal, gagal bersaing dengan Barat.
Eropa juga mengalami masalah yang sama terkait ketidakpercayaan masyarakat pada vaksin. Pada tahun 2017, sebanyak 21 ribu kasus campak terjadi di Eropa, dengan wabah terburuk terjadi di Italia, Rumania dan Ukraina. Akhirnya pemerintah membuat undang-undang khusus untuk mencegah hal ini terjadi lagi.
Seperti diberitakan harian
Vox.com (Februari 2018), pemerintahan di negara Eropa mulai menerapkan hukum ketat terkait imunisasi. Parlemen Italia misalnya mengeluarkan undang-undang tahun yang mengharuskan anak-anak hingga usia 16 tahun untuk diimunisasi atau divaksin. Pemerintah Italia juga mengharuskan orang tua untuk membuktikan anak-anak sudah diimunisasi sebelum masuk sekolah. Jika anak tersebut terbukti belum divaksin maka mereka wajib membayar denda sekitar 600 USD.
Jerman juga akan menindak orang tua yang menolak melakukan vaksin. Parlemen Jerman menyetujui undang-undang yang mewajibkan pihak sekolah melaporkan orang tua yang menolak vaksin. Di Perancis, Kementerian Kesehatan malah membuat 11 vaksin (termasuk campak, tetanus, polio) yang mesti diberikan kepada anak-anak.
Di Rumania, pemerintah baru-baru ini mengadopsi rancangan undang-undang yang mengharuskan orang tua membuktikan bahwa anak-anak sudah divaksinasi sebelum mendaftar dan pergi ke sekolah. Ini dilakukan demi kemaslahatan anak-anak seusia mereka yang rentan tertular penyakit.
Amerika Serikat bahkan punya
The National Immunization Surveys atau lembaga khusus yang memantau tingkat keberhasilan dan cakupan vaksinasi anak-anak dan remaja di Amerika Serikat. Lembaga ini juga mengumpulkan data melalui wawancara orang tua, menanyakan berbagai hal terkait vaksinasi. Dilakukan sebagai tolak ukur kesuksesan pemerintah terkait program pelaksanaan imunisasi dan vaksinasi. 50 negara bagian di Amerika Serikat saat ini memiliki undang-undang tegas yang mewajibkan imunisasi bagi anak-anak dan siswa sekolah.
Di Barat, yang diangggap oleh sebagian orang sebagai sumber proyek konspirasi vaksin untuk melemahkan orang Timur (terutama Muslim), ternyata memiliki hukum dan undang-undang terkait vaksinasi yang rapi dan ketat. Fakta ini sebenarnya sudah mampu membatah lelucon sinting yang mengganggap vaksin adalah produk konspirasi.
Jika Barat saja menggunakan vaksin bahkan cukup ketat, lalu apakah kita masih menganggap ini proyek konspirasi? Lantas apakah kita akan memulai tuduhan baru dengan berkata, "Kalau begitu, apa ini bentuk konspirasi baru? Konspirasi alien misalnya untuk memusnahkan populasi manusia di bumi?"
Sebagian orang yang percaya bahwa vaksin ini bagian konspirasi adalah golongan yang sama yang percaya pada teori bumi datar. Mereka percaya, jika bumi ini bulat hanya bentuk propaganda elit global untuk menghancurkan tatanan dunia. Tuduhan lucu ini bisa dengan mudah kita balikkan kepada mereka dengan rumus yang sama. Apakah nalar mereka tidak sadar, bisa jadi malahan teori bumi datar ini adalah bentuk konspirasi elit demi tujuan tertentu.
Mereka ini mengaku paham teori konspirasi, tapi pondasi dasar propaganda dan konspirasi yang selalu bisa berwajah ganda saja tidak mengerti. Mengapa terus menyemai kebodohan demi kebodohan?
Sudahlah, sudahi sajalah pro kontra ini. Jika kita memang masyarakat awam, posisikanlah diri layaknya orang awam, sehingga kita harus bertumpu pada argumen para ahli: pakar ilmu kedokteran dan para ulama. Kita tinggal ikuti saja arahan mereka, toh ini untuk kebaikan bersama juga.
INDONESIA SEHAT MELALUI PERLINDUNGAN IMUNISASI
Masyarakat kita harus diberitahu bahwa vaksin dan imunisasi aman dan efektif untuk mencegah penularan penyakit. Anak-anak yang tidak diimunisasi dengan baik rentan terkena penyakit—yang bahkan mengakibatkan kematian pada saat itu terjadi. Untuk menggalakkan Indonesia Sehat, semua pihak harus mengambil peran dalam mensosialisasikan pentingnya perlindungan imunisasi kepada masyarakat.
Di tengah darurat virus rubellah, imunisasi menjadi
kebutuhan yang mendesak bagi setiap anak-anak. Langkah-langkah pencegahan sudah
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, mulai dari kampanye dan
sosialisasi hingga terjun ke masyarakan melakukan proses imunisasi.
|
Sosialisasi imunisasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan. (Sumber foto: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id) |
Dengan adanya Fatwa Nomor 33 tahun 2018 telah menghilangkan
keraguan masyarakat terhadap vaksin dan imunisasi. Program imunisasi yang
dilakukan Kementerian Kesehatan saat ini merupakan wujud ikhtiar untuk mencegah
risiko anak-anak terinfeksi penyakit, sekaligus untuk memutuskan mata rantai
penyebaran penyakit. Namun sayangnya, masih ada kalangan yang mengambil
kebijakan sendiri, seperti Plt Gubernur Aceh.
Di Pulau Jawa misalnya, Kementerian Kesehatan mencatat pada Januari
s.d Juli 2017 sebanyak 8.099 terinfeksi campak rubella (2.535 positif campak
dan 1.549 positif rubella). Setelah pelaksanaan imunisasi angka ini berkurang
drastis menjadi 1.045 yang terinfeksi campak rubella (36 positif campak dan 176
positif rubella).
Betapa pun, cakupan imunisasi di beberapa provinsi di luar Jawa masih
kurang, seperti di Aceh, Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Bangka
Belitung, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan
Timur. Ini menjadi tugas kita bersama untuk mensosialisasikan perlindungan imunisasi agar masyarakat terdidik dengan baik dan tidak khawatir diimunisasi.
***
Ahli kedokteran sudah bersikap, ahli agama sudah mengeluarkan pendapat, kaum Barat pun ternyata lebih ketat dalam penggunaan vaksin. Namun, kita masih saja ngotot dalam kebodohan. Kita tidak berasal dari ahli kedokteran, juga bukan ahli agama. Lalu mengapa kita beropini liar seenaknya tentang virus, dan berfatwa bertentangan dengan pendapatan ulama. Sungguh kekonyolan yang hakiki.
Kapan kita berhenti menjadi makhluk-makhluk keras kepala? Apa saat anak kita cacat dan lumpuh? atau saat anak kita mati dalam pelukan? Nauzubillah! Jika pun enggan memberi anak kita vaksin, sebaiknya kita kurung anak itu di rumah, setidaknya ia tidak membuat anak orang lain berpotensi terkena penyakit juga. Membiarkan anak-anak terinfeksi virus itu bebas—tanpa divaksin atau diimunisasi—sama dengan membiarkan mereka menjadi “pembunuh” bagi anak-anak yang lain.
Tuhan telah memberikan apapun pada kita, termasuk obat dan anti virus, kita saja yang salah mengartikan anugerah-Nya. Oleh karena itu, dengarlah nasehat para pakar kedoktoran dan para ulama. Jagalah kesehatanmu dan orang-orang di sekitarmu.
Ini hanyalah nasehat dari seorang kawan--yang belum berkeluarga--untuk kebaikanmu, kebaikan istrimu, dan anak-anakmu (yang barangkali akan menjadi kekasih anakku esok hari).[]
|
(Sumber foto: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id) |
Note:
Tulisan ini awalnya ditulis pada tanggal 15 September 2018, untuk menjawab keraguan beberapa kawan-kawan terkait vaksin rubella yang katanya mengandung unsur tidak halal, juga menjawab tuduhan yang menyebutkan bahwa vaksin dan imunisasi adalah konspirasi Barat. Hari ini (26 September), kakak memberitahu bahwa ada lomba penulisan blog dengan tema imunisasi, ia menyuruh saya mendaftarkan diri. Setelah mengedit di beberapa bagian untuk melengkapi syarat dan ketentuan lomba, akhirnya saya memberanikan diri mengirim tulisan ini. Semoga bermanfaat.
Farhan Jihadi