Foto Simpang Lima saat malam. (Dok. Pribadi) |
PANAS. Baju yang kukenakan berkeringat seperti orang berlomba lari, padahal saat itu aku sedang mengendarai honda Revo pinjaman kakakku. Matahari bersinar marah di seluruh kawasan Banda Aceh. Angin tropis yang bertiup dari arah Samudera Hindia membuat suhu ibu kota provinsi Aceh bertambah panas. Pepohonan di pinggir jalan membuat suasana bisa sedikit sejuk.
Beberapa tahun belakangan Banda memang sedang mempercantik diri. Di bawah tangan lembut Illiza Sa'aduddin Jamal Banda Aceh beberapa kali mendapat penghargaan terutama dalam tata kota dan penghijauan. Sebuah usaha besar yang patut diapresiasi siapapun.
Banda Aceh meraih banyak penghargaan nasional. Potret Bunda Illiza kerap dimuat harian lokal seperti Serambi Indonesia memperlihatkan piagam perhargaan. Wajah Bunda terlihat bahagia, layaknya potret kelopak bunga di sepanjang jalan dan trotoar Banda saat diterpa pancaran matahari.
Beberapa hari ini aku suka berjalan berkeliling Banda Aceh, dalam beberapa tahun belakangan wajah Banda Aceh memang sudah banyak berubah secara fisik. Bangunan-bangunan baru tumbuh subur, berdampingan dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga di pinggir jalan.
Bunga-bunga ragam warna bermekaran membuatku semakin jatuh cinta kepada Banda. Lihat saja, deretan anggun bermacam-macam bunga dan warna mendominasi trotoar dan jalanan protokol Banda Aceh. Jika melewati jalan seperti Daud Beureueh dan Teuku Nyak Arif, aku biasanya memperlambat laju sepeda motor.
Bunga-bunga ini mengingatkanku pada tulisan indah wartawan sekaligus sastrawati, Mbak Linda Kristanti dalam buku Dari Jawa Menuju Aceh ketika mengisahkan kota Darlington, Inggris. Darlington, kota yang dipenuhi bunga indah crocus putih. Romantisme membalut kota Darlington.
"Bunga-bunga crocus putih adalah tanda cinta J. Douglas Chilton kepada istrinya, Maude. Chilton seorang bangsawan kaya, hidup pada abad ke-19. Ia tidak memiliki keturunan, lalu mewariskan seluruh hartanya kepada Walikota Darlington. Namun, ia berpesan agar sebagian hartanya itu dibelikan bibit bunga crocus putih untuk ditanam di seluruh kota. Chilton ingin semua orang mengenang cintanya kepada sang istri saat melihat bunga-bunga crocus mekar di musim semi." Begitulah tulis Mbak Linda Kristanti dalam buku "Dari Jawa menuju Aceh".
Hari-hari ini, setelah Bunda lengser digantikan Aminullah Usman, publik akan tetap mengenang kecintaan Bunda terhadap Banda. Bunda berhasil memake-up Banda Aceh menjadi lebih feminim, di samping beberapa kekurangannya saat memimpin. Bunda memilih pohon dan bunga sebagai hadiah bagi Banda, dan aku mencintai itu.
Tugu Simpang Lima
Pohon yang kian besar, bunga yang semakin banyak, bangunan megah bertambah dan jalanan yang memang terlihat lebih rapi. Semua itu adalah beberapa pencapaian Bunda Illiza Illiz. Namun, di antara hal-hal yang luar biasa itu, Bunda juga menyisakan luka yang lumayan berat kepada Banda Aceh.
Sebut saja tugu Simpang Lima, tugu yang sudah berdiri lebih kurang selama 24 tahun itu dirobohkan dan digantikan dengan bentuk lain yang lebih modern, lebih minimalis.
Tugu sebelumnya sudah menjadi tugu bersejarah yang menjadi saksi bisu Banda Aceh melewati proses sejarah sejak tahun 1994, terutama perjuangan berbagai aksi melawan segala bentuk ketidakadilan terhadap Aceh sejak rezim Soeharto masih memimpin.
Alasan Illiza merobohkan, seperti dikutip dari kanalaceh.com, pihaknya ingin membangun kembali tugu ini sesuai dengan perubahan zaman dan tentu lebih baik dari segi desainnya.
Melihat alasan seperti ini, nampaknya Bunda kurang bisa mengerti dan menghargai benda bernilai historis. Nilai historis sejelek atau seburuk apapun bentuknya seharusnya wajib dijaga dan dilestarikan, bukannya malah dihancurkan. Walaupun digantikan dengan yang lebih baik, tetap saja benda historical tidak tergantikan posisinya--apalagi jika digantikan dengan tugu katanya mirip sebuah partai yang agak-agak itu.
Semua benda bersejarah memiliki arti penting bagi sebuah bangsa, hingga wajib dijaga. Bangsa yang maju dan beradab adalah bangsa yang pandai melestarikan benda bersejarah. Suatu kekonyolan jika sebuah bangsa menghancurkan dan merobohkan benda bersejarah lalu membuat bentuk baru yang lebih modern dengan dalih modernitas.
Bayangkan jika semua orang berfikir seperti Bunda Illiza, maka saya khawatir Piramida di Mesir akan dihancurkan dan dibuat baru dengan bentuk lebih indah, lebih modis dan modern. Dan mungkin saja candi Bobobudur dihancurkan dan dibangun ulang dengan bahan-bahan modern. Jika saja hal-hal ini terjadi, saya yakin tak bakal ada yang protes.
Saat kita semua telah menjadi abai terhadap nilai dan lebih mementingkan bentuk maupun modernitas. Maka janganlah heran jika suatu saat Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dihancurkan dan disulap dengan mesjid bentuk lain yang lebih megah, lebih hebat.
Jika seperti ini yang terjadi, apa yang dihasilkan selanjutnya? Mesjid Raya Baiturrahman memang menjadi lebih megah, tapi nilai sejarahnya telah hancur, hilang. Sama seperti nasib tugu Simpang Lima sekarang. Ia tampak lebih indah, lebih megah, lebih modern. Namun, tugu Simpang Lima sekarang telah kehilangan nilai-nilai historis sejak awal diresmikan.
Kita berubah menjadi manusia-manusia perusak sejarah dengan dalih perubahan zaman dan modernitas, seperti alasan Bunda ketika menghancurkan tugu Simpang Lima sebelumnya.
Kita belajar pada bangsa lain bagaimana caranya menjaga dan merawat peninggalan sejarah. Maka, jangan heran jika kelak bangsa lain akan belajar kepada kita bagaimana caranya merusak peninggalan sejarah—tentu saja dengan harapan tidak mengulangi aksi kurang cerdas seperti itu. Yah, setidaknya itu menurutku sih. Orang bisa berpendapat berbeda-beda. Semua tentu melihat sisi positifnya menurut versinya masing-masing.[]
EmoticonEmoticon