Berburu Durian Manis ke Waduk Brayeung

Objek wisata Brayeung di hari liburan (foto: merdeka.com)


“Ne dengan siapa ya…”

Hujan deras sedang mengguyur kulit bumi Banda Aceh saat sebuah pesan singkat muncul di handphone-ku. Setengah jam lalu, Nailul menghubungi Kak Nong melalui hp-ku. Kami bermaksud bertanya kondisi Waduh Brayeung hari ini. Waduk Brayeung? Selain terkenal dengan wisata air yang indah, Brayeung juga terkenal dengan rasa duriannya yang sedap.

“Meuah Kak, nyoe awak sereng jak u Brayeun. Peu kana ie di Brayeung kak, dan peu kana boh drien inan?” balasku. Aku bertanya apakah waduk sudah terisi air dan durian sudah mulai panen di objek wisata alam itu.

Beberapa minggu ini, Aceh memang dilanda kekeringan. Musim kemarau telalu lama bersahabat dengan Aceh, tak mau menyingkir untuk memberikan hujan segar bagi Tanoeh Indatu. Waduk Brayeung yang biasa menampung air dalam jumlah banyak pun airnya ikut menyusut, nyaris kering. Sebelumnya, beberapa media lokal Aceh memberitakan nasib menyedihkan Waduk ini yang mulai sepi pengunjung sejak kemarau panjang.

Di tengah hujan deras itu, aku dan Nailul baru singgah di salah satu warung kopi daerah Neuheun, Aceh Besar. Kami baru pulang dari wisata air panas Krueng Raya. Kami sangat kecewa dengan kondisi wisata air panas itu, terutama Nailul. Ia teramat kesal ketika mendapati wisata air panas terkenal di Aceh Besar itu tak seindah dulu, tak sebersih dulu.

Objek wisata Ie Suum kotor, kurang terawat, seperti gadis cantik yang tidak pernah mandi beberapa tahun. Kotor dan dekil. Kemudian, yang membuat kekecewaan Nailul bertambah, air kolam saat itu tidak hangat sedikit pun menurutnya.

"Kalau airnya tidak panas atau hangat sedikit pun, ini namanya bukan pemandian air panas. Ini yang malah membuat pengunjung panas dan dongkol," gerutuku dalam hati.

“Kiban cara tempat wisata kutoe meunoe, sep paloe,” Nailul ikutan dongkol setengah mati. Tidak masuk akal jika sebuah objek wisata kotor dan jorok. Lebih baik tutup saja, daripada malu-maluin. hahahaa


“Mungkin karena hari Senin, pasti pengelolanya sibuk mengurusi pengunjung Minggu kemarin,” Aku hanya bisa membatin.

Apa yang dikeluhkan Nailul tidak salah. Kami datang dari jauh-jauh di pagi hari hanya apa untuk melihat hal seperti ini? Hampir satu jam jarak tempuh ke mari dan kami harus langsung pulang dengan kekecewaan? Tanpa berendam sebentar di kolam yang airnya sama sekali tidak panas dan kotor hari ini? Tidak. Kami hanya bisa ber-husnudhan, datang di waktu yang tidak tepat barangkali. Kami pun kemudian memutuskan pulang.

Di saat pulang inilah hujan deras turun. Hujan pertama setelah sejak lama Aceh dilanda kekeringan. Bahkan di beberapa tempat ulama dan masyarakat mulai melakukan shalat Istisqa’, salah satunya di daerah Siem beberapa waktu lalu. Masyarakat meminta hujan, dan hari ini hujannya turun. Alhamdulillah. 

Hujan deras memaksa kami singgah sejenak di warung kopi pinggir jalan. Saat singgah di warung kopi inilah terbersit niat Nailul untuk mengajakku melanjutkan perjalanan ke objek wisata alam terkenal lainnya, Brayeung. Jaraknya pun bukan main, satu jam lebih dari tempat kami berada sekarang. Dalam kondisi hujan deras seperti ini bahkan bisa sampai 2 jam, karena jalanan cukup licin. Motor kami tidak bisa digas kencang.

Kalau mampus di tengah jalan, ini memalukan. Masak nama kami berdua harus dimuat di halaman muka koran lokal dengan judul "Demi durian, dua pemuda tewas ketika terobos hujan deras, simak beberapa fakta konyol tentang pemuda jomlo ini."

Nailul mengiming-imingi aku dengan durian manis Brayeung yang katanya salah satu durian yang cukup nikmat di Aceh. Nailul ini pantas jadi politisi. Ia lihai memprovokasi pikiran. Dengan ilmu cakologi-nya, pemuda yang pernah menjadi sales di sebuah perusahaan asuransi ini berhasil membuatku tergoda.

Di luar, hujan masih turun dengan lebat.

Setelah membalas pesan Kak Nong, hp-ku menyala lagi. “Lul, Kak Nong nelpon lagi nih.” Aku menyerahkan hp ke Nailul.

“An, dipeugah lee Kak Nong. Ie na tapi hana pah untuk manoe, boh drien pih na,”

Kata Nailul sambil masih berbicara dengan Kak Nong di handphone. Brayeung sudah dialiri air yang cukup banyak, tapi tidak cocok untuk mandi, dan durian juga masih banyak. Nailul menanyakan kesediaanku berangkat ke Brayeung di tengah hujan deras begini.

Aku siaaap, Lul. Droe pih hawa that boh drien ken?”

Memang, sudah beberapa hari yang lalu Nailul mengajakku ke Brayeung, ia ingin mencicipi durian Brayeung yang menurutnya enak dan harganya murah—karena baru diambil dari bawah pohon. Hutan Brayeung juga penuh dengan durian. Makan durian di Brayeung adalah satu kenikmatan, selain berenang dan menikmati indahnya waduk Brayeung.

Nailul memesan durian sebanyak lima puluh ribu rupiah dari Kak Nong. Jumlah yang lumayan untuk dimakan berdua. Aku sebenarnya tidak terlalu sedang ngidam durian seperti Nailul. Minggu lalu temanku Syahriadi memberiku lima buah durian gratis.

Melihat tekat Nailul untuk menerobos derasnya hujan—hanya untuk durian yang sebetulnya bisa dibeli di Darussalam atau di Tungkop—membuatku yakin ia sedang dipuncak sakau, dan hanya ini bisa dinetralisir dengan durian Brayeung. Aku bersedia menemaninya basah-basahan dalam hujan, seorang kawan haruslah setia. Begitu filosofi hidupku.

“An, lon lakee meuah. Aku punya jaket hujan, tapi cuma satu. satu tok.” katanya sambil mengeluarkan jas hujan yang hanya muat untuk satu orang. Kukira kami akan basah berdua, rupanya hanya aku yang menderitakan perihnya air hujan.

“Bak bangka keuh, Kau enak-enakkan anti hujan. Sedang aku basah-basahan. Keterlaluan. Tolong sambarkan petir ke tubuhnya ya Tuhan. Ke tubuhnya saja, aku jangan kenak.”

Setelah mengetahui hal ini, hanya aku yang akan basah sendiri, seperti ada rasa sesal sudah membuat pernyataan “Siaaap” saat pertama diajak menerobos hujan. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba Megy Z bernyanyi Sungguh teganya dirimu, teganya, teganya, teganya, teganya... Pada diriku... 

“Ternyata cuman aku saja yang menerobos hujan, basah-basahan kayak orang tolol. Aku kena tipu. Kampret” Aku cuma bisa membatin. “Maafkan aku ya Allah, sudah memaki dalam hati. Maafkan ketidaksetiakawanan ini. Semoga saja dia tidak mencalonkan diri menjadi politikus, kalau tidak, aku sendiri tidak mencoblosnya. Dia sudah terjangkit penyakit pejabat politik. PHP. Pemberi Harapan Palsu.” 

Aku berakhir duduk manis di atas motor Nailul, dengan wajah senyum-senyum bodoh—karena baru terkena kasus penipuan. Untuk menghibur diri, aku berusaha mengingat korban-korban penipuan lain yang lebih tragis. Bukan untuk menikmati nasib sial orang lain, tapi untuk merenung bahwa ditipu itu menyakitkan.

Di tengah perjalanan, Nailul sempat mengusulkan membawa mobilnya agar kami terhindar dari terpaan hujan. Dia mengusulkan itu setelah air hujan masuk hingga ke celana paling dalam yang kupakai. Setelah masuk ke celah paling sempit di tubuhku. Hanya sesaat setelah mengusulkan itu, ia kemudian meralatnya.

“Enggak usah saja, An. Mobil nanti bisa kotor dan kita pun sudah terlanjur basah sekarang.”

"Maaf ya, bukan kita yang basah, tapi aku. Aku yang basah. Kamu enggak basah. Kamu pakai jas hujan." Ini PHP yang kedua, dan tak kalah menyakitkan.

“Pencitraan ini, sungguh-sungguh menyakitkan hati… Oooh pencitraan ini, cuman modus penipuan... Kawan-kawan kenak tipu... kenak tipu...”

Aku hanya bisa menyanyi dengan lirik yang kubuat-buat tidak jelas. Nailul tidak mendengarnya. Hujan turun masih sangat deras. Di pikirannya sekarang barangkali cuma ada durian saja.

Kak Nong dan Brayeung

Perjalanan ke objek wisata alam Brayeung sedikit lebih jauh dari jarak Banda Aceh ke wisata Air Panas Krueng Raya. Brayeung terletak di daerah Leupung, Aceh Besar. Jika Air Panas ada di ujung timur Aceh Besar, maka Brayeung ada di ujung barat Aceh Besar. Untuk menuju ke sana, kami harus melintasi kota Banda Aceh. Seperti kataku, jaraknya jauh.

Namun, demi durian, hujan kami lawan.

Hujan turun masih cukup deras. Jalanan licin dan jarak pandang cuma beberapa meter. Kami tiba di Brayeung setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih di perjalanan. Langit masih gelap, belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku tidak lagi memperdulikan hujan mau berhenti atau tidak. Aku sudah basah sepenuhnya.

Samakin mendekati objek wisata Waduk Brayeung, semakin terdengar keras gemuruh air sungai yang mengalir cepat, sederas hujan yang dari tadi belum mau berhenti. Suasana Brayeung cukup sepi. Kios dan gubuk-gubuk yang berjajar di pinggir waduk terlihat kosong. Hanya kios Kak Nong yang buka. 

“Oman… Troeh cit, pikee Kak Nong hana jadeh troeh,” wanita yang memakai pakaian dominan merah itu menyapa. Kak Nong hampir tidak percaya kami datang dengan kondisi hujan-hujanan dari Banda Aceh.

Kak Nong langsung berbicara banyak hal, tentang musim durian, kemarau panjang, hingga aktifitas penebangan hutan di gunung dekat Brayeung. Ibu muda yang sudah memiliki beberapa anak ini terlihat sangat senang dengan kehadiran kami. Kak Nong sudah mengenal akrab Nailul. Jika Nailul dan kawan-kawan berwisata ke Brayeung, ia sering singgah di tempat Kak Nong. Wanita pekerja keras ini yang sudah berdagang di tempat wisata Brayeung sejak lima tahun lebih.

“Kak Nong ka limong thoen leubeh ka meukat inoe. Katrep,” ujar Kak Nong ketika aku bertanya berapa lama ia sudah menggelar lapak di Brayeung. Kak Nong bukan hanya menjual makanan dan minuman, ia juga menyewakan perahu bebek dan jasa lainnya. Ibu muda ini mengatakan, ia termasuk pedangan paling rajin dan paling cepat membuka lapak usaha.

“Saya pagi-pagi sudah buka, saya buka setiap hari kecuali hari Jum’at tok.”

Kak Nong bersyukur hari ini hujan turun dengan lumayan deras di Banda Aceh dan Aceh Besar, khususnya daerah Brayeung. Bagi Kak Nong yang mengais rezeki dari objek wisata air, hujan bagi Kak Nong adalah rezeki. Ia sempat mengeluh sepinya pengunjung saat musim kemarau lalu, terlebih saat air waduk menyusut hampir kering. Hari ini ia gembira, terlebih dengan kedatangan kami. Tanpa kehadiran kami pun rasaya ia selalu bisa bahagia dan gembira.

Na ureung, hana ureung, kakak tetap buka. Tanyoe udep harus sabee bersyukur,” ungkapnya.

Kak Nong tinggal di komplek perumahan menuju waduk Brayeung. Sebagai warga asoe lhoek (baca: warga setempat), ia bersahabat dengan baik dengan semua warga. Tak heran jika ia memiliki koneksi jaringan sosial yang luas, terutama petani dan pedagang durian. Poin terakhir ini yang sangat penting bagi kami, khususnya Nailul: durian.

“Sebelum Kalian pergi ke mari, jika ingin sekali makan durian Brayeung. Hubungi kakak dulu, biar kakak pesan dan simpan. Kalau ingin durian murah, jangan datang hari Sabtu atau Minggu. Dua hari ini hari khusus wisata, jadi harganya juga harga wisata. Kayak hari ini, Senin, biasaya harga durian murah. Bisa makan sepuasnya,” pesan Kak Nong.

Siap Kak Nong. Sebenarnya kami maunya durian gratis, karena yang gratis lebih nikmat. Namun, karena tidak ada, mungkin lebih baik kami pergi selain Sabtu dan Minggu.

Melihat kami datang, Kak Nong menghubungi lagi kawan langganan duriannya. Namun sayang, kami terlambat. Durian tersebut sudah habis. Sebagian besar sudah diborong mugee, pedagang pengumpul.

Wanita yang ramah senyum ini juga terlihat agak kecewa, ia mengusulkan agar kami membeli di persimpangan jalan menuju Brayeung, tempat petani menunggu para mugee. Tak menunggu lama, di tengah hujan, kami tancap gas lagi, menelusuri jalanan sempit Brayeung.

Akhirnya kami berhenti persimpangan jalan, pintu masuk menuju wisata Brayeung, di sana ada pria setengah tua yang sedang tertidur dengan tumpukan durian di sisinya. Setelah nego, kami berhasil membeli 6 buah durian sedang dengan harga tujuh puluh ribu. Harga yang sebetulnya standar, tapi ini jelas lebih murah dari harga durian di banyak tempat di Banda Aceh.

Seperti kata Nailul, durian Brayeung memang terkenal nikmat. Semua durian yang kami belah itu semua dagingnya tebal dan semua rasanya manis. Tidak ada yang isinya hambar dan mengecewakan. Ini benar-benar durian rasa 24 karat dibayar tunai. SAH!

Kak Nong dan Nailul Asfar (Dok. pribadi)
Tak lengkap kalau ke Brayeung jika tidak menceburkan badan ke sungai. Nailul mengajak mandi di waduk, aku langsung menyetujuinya. Air sungai saat itu berwarna kuning susu (entah susu kental manis atau susu kambing). Air hujan bercampur lumpur yang dibawa dari pegunungan dan hutan. Jika pada hari-hari biasa, air sungai dan waduk Brayeung jernih dan berwarna kehijau-hijauan jika dilihat dari jauh, pantulan pepohonan hijau yang menaungi waduk Brayeung.

“Jaaak. Ayoook”

“Jangan mandi di sebelah itu, air sungainya deras kali. Mandi di sebelah sana, di bawah, di pinggir-pinggir,” pesan Kak Nong sambil menunjuk ke sisi dalam waduk, kemudian tanggannya menunjuk sisi luar waduk, di bawah. Di daerah yang agak dangkal dan tidak terlalu deras airnya.

Ada satu hal yang harus dicicipi selain durian jika berkunjung ke Brayeung, gorengan Kak Nong, apalagi di suasana berhujan seperti hari ini. Sungguh nikmat yang luar biasa.

Sebelum pulang sempat terpikir olehku untuk menelusuri sungai dan waduk Brayeung memakai perahu bebek yang disewakan Kak Nong. Namun sialnya, bukan hanya arus yang deras. Ternyata aku pergi dengan kawan brewokan (bukan dengan seorang kekasih, bukan dengan seorang perempuan, istri mungkin). Sumpah, ini sial banget.

Akan sangat indah jika kita pergi ke sini membawa pasangan halal (Say no untuk bawa pacar ke sini ya. Say no untuk merusak kehormatan dan harga diri perempuan okey). Di sini, kita bukan hanya bisa menikmati wisata air, tapi juga wisata kuliner—menikmati durian dan makan gorengan Kak Nong salah satunya. 

Saranku, jika ingin berenang di objek wisata Brayeung, pastikan saat airnya sedang bersih dan jernih. Jangan ikut-ikutan seperti kami yang hanya bisa berenang di pinggir dan itu pun di air yang keruh.

Setelah berpuas diri makan durian, mandi, dan makan gorengan Kak Nong, kami izin pamit pulang.

“Besok-besok kalau datang bisa hubungi Kak Nong dulu seperti tadi,” ujar Kak Nong sambil menunjuk sebuah nomor handphone yang tercantum di dinding.

085361908923

“Itu nomor Kak Nong”

Terima kasih banyak Kak. Kamoe lakee izin dilee.”

Kami pun langsung pamit pulang, langit masih gelap. Hujan dan kabut menyelimuti Brayeung. Sudah terlalu lama rasanya Aceh ditimpa kemarau. 

Entah karena doa siapa sehingga Maha Pemberi Rahmat menurunkan hujan: hewan, tumbuh-tumbuhan, doa-doa para ulama, petani, pedagang, anak-anak, orang tua, wanita, atau entahlah siapa. Allah mendengar doa siapapun yang berharap turunnya hujan, termasuk doanya Kak Nong dan para pedagang yang menggantungkan hidupnya pada wisata air. 

Allah maha mendengar keluh kesah makhluknya. Maha Benar Allah dengan segala rahmat dan nikmatNya.[]

Brayeung hari ini. (Dok. pribadi)

Menikah, Mahar dari Orang Tua? Mengapa Tidak?

.missioncriticalintl.org
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah atas separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi)

Seorang kawan bercerita ia akan segera menikah. Hal menyenangkan mendengar seseorang menikah, apalagi itu kawan kita sendiri. Sebagai seorang sahabat, kita tentu harus mendukung niatnya untuk menyempurnakan separuh lagi imannya.

Menikah adalah ibadah. Dan salah satu tujuan pernikahan adalah menyempurnakan separuh agama seperti sabda Rasulullah Saw. di atas yang kerap diulas di ceramah-ceramah pernikahan. Sebagai teman, berita pernikahan ini pastilah sebuah berita gembira, walaupun hal-hal seperti ini terkadang membuat kita sedikit bawa-bawa perasaan atau baper.

(jujur saja, dia ini curhat kepadaku. Kepada kawan yang masih jomblo juga, kan enggak punya perasaan namanya. hahaa).

Menikah sejatinya menyempurnakan separuh iman, dengan tujuan akhir: kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Tujuannya bukan berakhir menyedihkan seperti lagu Mas Anang, “Separuh jiwaku pergi, memang indah semua tapi berakhir luka.” Tujuan pernikahan adalah keberkahan hidup dan kebahagiaan, tidak ada orang yang menikah dengan tujuan meraih kesengsaraan atau berakhir luka.



“An, apakah pernikahan yang maharnya diberikan orang tua tidak bermasalah. Masih mengandung keberkahan dan bisa membuat pernikahan berujung bahagia dunia akhirat?”

Kali ini ia bertanya dengan raut wajah serius. Aku diam sebentar, menatap matanya dalam-dalam seperti ingin menghipnotis. Sebenarnya saat itu, akulah yang sedang terpengaruh hipnotis kata-kata “nikah” darinya, dia mau nikah. lon pajaaan? hahahaa.


“Broe, nikah itu memang ibadah. Mengenai keberkahan dan kebahagiaan nanti dalam kehidupan berkeluarga, itu kembali kepada kita. Ke mana kita akan membawa keluarga kita, ke surga atau ke neraka. Berkaitan dengan sikap kita saat berkeluarga nanti. Kata pak ustad dalam ceramah nikah, menikah itu proses kesabaran. Sabar menerima kekurangan istri, termasuk sabar untuk tidak menggoda atau tergoda hal-hal yang bisa merusak rumah tangga. Ini kata pak ustad lho.”

Sebenarnya, ia bertanya kepada orang yang kurang tepat. Bagaimana mungkin ia bertanya kepada orang yang belum pernah berkeluarga. Bagaimana mungkin orang sepertiku tahu bagaimana keluarga dan kehidupan rumah tangga sebenarnya.

“Jadi masalah keberkahan dan kebahagiaan hidup berkeluarga itu bukan letaknya pada mahar, selama mahar itu diperoleh dari harta halal, bukan harta pungli, memalak orang atau harta korupsi,” lanjutku dalam bahasa Aceh sambil tertawa.

Sebagian kita masih beranggapan bahwa menikah dengan mahar yang diberikan orang tua adalah suatu yang asing atau aneh. Menikah kok maharnya dari orang tua? Menikah kok biayanya dari keluarga? Begitulah tanggapan sebagian kita. Kita seperti lupa dengan kisah Rasulullah Saw saat menikah dengan Siti Khadijah.

Saat menikah dengan Siti Khadijah. Bagaimana mahar Rasulullah Saw. saat itu?

Saat Nafisah binti Munyah menawari Rasulullah Saw. untuk menikahi Siti Khadijah—seorang wanita cantik, berwibawa, cerdas dan kaya raya—Rasulullah Saw. sempat berfikir dari mana beliau memperoleh harta untuk membayar mahar wanita semulia Siti Khadijah. “Ma biyadi ma atajawazu bihi, saya miskin dan tidak punya apapun untuk menikah,” begitulah kata Rasulullah Saw. Hal itu dijawab oleh Nafisah bahwa ia yang akan menanggungnya, lantaran Nafisah masih kerabat dekat Rasulullah Saw.

Mengetahui hal itu, keluarga Rasulullah Saw. juga berusaha membantu melangsungkan pernikahan dan memberikan mahar yang pantas kepada Siti Khadijah. Mahar Rasulullah Saw. ditanggung penuh oleh Abu Thalib, paman Rasul. 

Abu Thalib bahkan berkata dengan penuh kebanggaan terhadap pesta pernikahan laki-laki terbaik pada masa itu dengan perempuan mulia di kalangan Arab.

“Muhammad keponakanku ini tidak sebanding dengan pemuda mana pun. Ia memang bukan pemuda yang kaya, tapi bukankah kekayaan itu akan lenyap dan binasa. Dan hari ini Muhammad menikah dengan hartaku sebagai tanggungannya," begitulah kata-kata Abu Thalib. Rasulullah Saw menikah dengan mahar 20 ekor unta. Bukan jumlah yang sedikit, dan itu ditanggung oleh paman Rasulullah Saw., oleh keluarga beliau.

Shafwah ash Shafwah karya Ibnu Al-Jawzi hal.44

Mahar dari orang tua atau keluarga menunjukkan rasa cinta, kasih sayang dan kebersamaan dalam sebuah ikatan keluarga. Saat pernikahan inilah keluarga berperan apapun untuk memberi dukungan seperti yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. tersebut.

Mahar dari orang tua atau keluarga sangat membantu pada saat kita melakukan prosesi pernikahan, apalagi kita hidup di Aceh—negeri yang masih menerapkan prinsip mahar yang tinggi bagi seorang wanita.

Malah rasanya sangat beruntung bagi orang yang ingin menikah, lalu dibantu orang tuanya atau keluarganya (bukan hanya dalam urusan pesta, tapi juga perkara mahar).

“Jika maharmu itu nantinya adalah pemberian keluarga atau siapapun. Ambillah! Apalagi dari orang tua, yakinlah di sana ada keberkahan dan doa-doa orang tua kepadamu.” Hanya itu sedikit yang bisa kusampaikan kepadanya. Dia terlihat senang akan segera menikah. Saat aku menceritakan kisah Rasulullah Saw. wajahnya tampak segar berseri-seri. Sedang aku, malah terlihat murung, melihat kawan menikah. Seperti sabut kelapa dipijak-pijak. Nyesek di hati (Mohon jangan ditertawakan). Guwek kapaaan? hahahaa.

Di antara banyak pemuda di Aceh, ia pria yang beruntung. Sangat beruntung malah. Ia punya orang tua dan keluarga yang mampu menanggung maharnya untuk menikahi gadis yang dicintainya dan diimpikan siang malam. Banyak sekali pemuda lain harus pontang-panting, kerja siang malam, demi mayam-mayam emas yang tinggi itu. Mayam-mayam emas yang tinggi itu kerap kali menjadi beban tersendiri bagi pemuda Aceh.

Banyak sekali pemuda di Aceh yang terlambat menikah, atau paling parah tidak menikah sama sekali, hanya karena terkadang adat menjerat banyak leher pemuda dengan jumlah mahar yang terlampau tinggi. Tidak ada kompromi. Dan itu bagi sebagian pemuda sepertiku, seperti kami, rasanya SAKIT.[]

Baca juga: Mahar Berduri, Kisah Sulitnya Pemuda Aceh Menikah

Stop bertanya kapan nikah! Jadilah seperti Nafisah binti Munyah dan Abu Thalib, bawakan calonnya, berikan maharnya. Enak saja hanya tanya-tanya kapan nikah. Kami hanya mau yang enak saja. Berikan calon dan maharnya. Wahahahaa.

Salah satu foto bersama pengantin baru-baru ini (Kak Rizki Dhian Nushur). Cerita di atas sama sekali tidak ada hubungan dengan foto ini. Hahahaa. (foto: dokumentasi kamera Albar)

Palestina dan Keledai-Keledai Amerika

sileas.wordpress.com


Israel menutup kawasan mesjid Al Aqsa dan melarang warga Muslim Palestina shalat Jumat di mesjid suci tersebut, Jumat (14/7/2017). Penutupan mesjid ini menandai kali kesekian Israel membatasi dan menghalangi Muslim Palestina untuk menunaikan shalat Jumat di Masjid Al Aqsa.


ENTAH berapa sering Al Aqsa memohon belas kasihan Allah. Belas kasihan Allah menyusup lewat doa-doa umat dunia. Al Aqsa berharap rasa simpati dan kasihan pemimpin Arab. Namun apalah daya, bagi mereka Palestina dan Al-Aqsa hanyalah omong kosong yang tak berharga. Terpinggirkan dengan isu-isu perebutan minyak dan tahta.

Sampai hari ini kita sama sekali tidak ingat bahwa Palestina pernah hidup tenang, damai. Sejak Israel diploklamirkan sebagai sebuah negara 1948, Palestina tak pernah damai--bahkan jauh sebelum itu. Mereka tak pernah lagi menghirup udara segar. Palestina hanya bernafas terengah-engah di bawah pijakan keji Israel. Palestina memang masih hidup, tapi hati-hati pemimpin Arab telah lama mati. Tenggelam dalam minyak dan ambisi kekuasaan.



Pemimpin Arab itu hanyalah para pecundang, doyan perang dan menghancurkan sesama. Jika ada satu pangkalan militer AS, mereka gandakan dua, jika dua mereka tambah tiga, dan sebagainya. Saat pangkalan militer AS bertambah, di waktu yang sama tanah Palestina terus menciut, semakin terjajah, selalu terhina. Para pemimpin Arab hanyalah jahannam dunia bagi sesama saudaranya.


Lihat saja negara pemboikot Qatar! Mereka adalah negara-negara pengecut. Jika saja mereka berhenti memboikot Qatar dan berbalik memboikot Israel, mana mungkin Israel lancang seperti itu. Dan sangat mungkin negeri laknat itu sedang sakratul maut saat ini. Namun, apa yang bisa diharapkan kepada raja dan pemimpin Arab yang sudah menuhankan Amerika? Mereka hanya bisa melihat, menaruh sedikit rasa iba. Masih untung jika mau mengecam. Lebih dari itu...? OMONG KOSONG...!

Kalau sekedar mengecam atau mengutuk, kurasa hantu-hantu film horor Indonesia jauh lebih menakutkan. 

Saat ini setan-setan di Jazirah Arab mungkin sedang tertawa lebar, lebih lebar dari tanah-tanah yang direbut Israel saat dunia Arab bungkam. Setan-setan sedang terbahak-bahak menyaksikan Al-Aqsa dilecehkan, saat "mujahidin-mujahidin" kurang kasih sayang itu saling bunuh di Jazirah Arab. Kenapa mereka enggan berjihad di Palestina? Apa di sana tidak ada surga?

Lihat saja Palestina, lihatlah Gaza...! Seperti kota tanpa harapan. Harapan mereka hanyalah kepada Tuhan, kepada Allah. Memang begitulah seharusnya. Berharap kepada raja dan pemimpin Arab? Percuma. Mereka telah menjadi setan dalam wujud manusia, doyan mengerat sesama.

Arab. Mereka dulunya hanyalah sekawanan Badui yang mengembalakan kambing, dan sekarang sedang angkuh membina gedung tinggi menantang langit. Sejatinya pemimpin Arab itu masih Badui yang sama, yang berbeda mereka tidak sedang mengembala kambing tapi merekalah digembalakan layaknya binatang ternak. Dunia Arab adalah ternak lugu Paman Amerika. Mereka patuh apapun kata negara pembuat kerusakan di bumi itu, layaknya keledai. Keledai-keledai Amerika. 

Hanya segelintir negara yang memilih anti Amerika, dan seperti yang kita tahu nasibnya: dikucilkan, bahkan dihancurkan sehancur-hancurnya. Mereka yang menolak menjadi keledai binaan memang tak pernah tenang hidupnya, tapi mereka punya harga diri.[]

Banda Rasa Bunda

Foto Simpang Lima saat malam. (Dok. Pribadi)


PANAS. Baju yang kukenakan berkeringat seperti orang berlomba lari, padahal saat itu aku sedang mengendarai honda Revo pinjaman kakakku. Matahari bersinar marah di seluruh kawasan Banda Aceh. Angin tropis yang bertiup dari arah Samudera Hindia membuat suhu ibu kota provinsi Aceh bertambah panas. Pepohonan di pinggir jalan membuat suasana bisa sedikit sejuk. 



Beberapa tahun belakangan Banda memang sedang mempercantik diri. Di bawah tangan lembut Illiza Sa'aduddin Jamal Banda Aceh beberapa kali mendapat penghargaan terutama dalam tata kota dan penghijauan. Sebuah usaha besar yang patut diapresiasi siapapun. 



Banda Aceh meraih banyak penghargaan nasional. Potret Bunda Illiza kerap dimuat harian lokal seperti Serambi Indonesia memperlihatkan piagam perhargaan. Wajah Bunda terlihat bahagia, layaknya potret kelopak bunga di sepanjang jalan dan trotoar Banda saat diterpa pancaran matahari. 


Beberapa hari ini aku suka berjalan berkeliling Banda Aceh, dalam beberapa tahun belakangan wajah Banda Aceh memang sudah banyak berubah secara fisik. Bangunan-bangunan baru tumbuh subur, berdampingan dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga di pinggir jalan.

Bunga-bunga ragam warna bermekaran membuatku semakin jatuh cinta kepada Banda. Lihat saja, deretan anggun bermacam-macam bunga dan warna mendominasi trotoar dan jalanan protokol Banda Aceh. Jika melewati jalan seperti Daud Beureueh dan Teuku Nyak Arif, aku biasanya memperlambat laju sepeda motor. 

Bunga-bunga ini mengingatkanku pada tulisan indah wartawan sekaligus sastrawati, Mbak Linda Kristanti dalam buku Dari Jawa Menuju Aceh ketika mengisahkan kota Darlington, Inggris. Darlington, kota yang dipenuhi bunga indah crocus putih. Romantisme membalut kota Darlington. 

"Bunga-bunga crocus putih adalah tanda cinta J. Douglas Chilton kepada istrinya, Maude. Chilton seorang bangsawan kaya, hidup pada abad ke-19. Ia tidak memiliki keturunan, lalu mewariskan seluruh hartanya kepada Walikota Darlington. Namun, ia berpesan agar sebagian hartanya itu dibelikan bibit bunga crocus putih untuk ditanam di seluruh kota. Chilton ingin semua orang mengenang cintanya kepada sang istri saat melihat bunga-bunga crocus mekar di musim semi." Begitulah tulis Mbak Linda Kristanti dalam buku "Dari Jawa menuju Aceh".

Hari-hari ini, setelah Bunda lengser digantikan Aminullah Usman, publik akan tetap mengenang kecintaan Bunda terhadap Banda. Bunda berhasil memake-up Banda Aceh menjadi lebih feminim, di samping beberapa kekurangannya saat memimpin. Bunda memilih pohon dan bunga sebagai hadiah bagi Banda, dan aku mencintai itu. 

Tugu Simpang Lima

Pohon yang kian besar, bunga yang semakin banyak, bangunan megah bertambah dan jalanan yang memang terlihat lebih rapi. Semua itu adalah beberapa pencapaian Bunda Illiza Illiz. Namun, di antara hal-hal yang luar biasa itu, Bunda juga menyisakan luka yang lumayan berat kepada Banda Aceh.

Sebut saja tugu Simpang Lima, tugu yang sudah berdiri lebih kurang selama 24 tahun itu dirobohkan dan digantikan dengan bentuk lain yang lebih modern, lebih minimalis.

Tugu sebelumnya sudah menjadi tugu bersejarah yang menjadi saksi bisu Banda Aceh melewati proses sejarah sejak tahun 1994, terutama perjuangan berbagai aksi melawan segala bentuk ketidakadilan terhadap Aceh sejak rezim Soeharto masih memimpin.

Alasan Illiza merobohkan, seperti dikutip dari kanalaceh.com, pihaknya ingin membangun kembali tugu ini sesuai dengan perubahan zaman dan tentu lebih baik dari segi desainnya.

Melihat alasan seperti ini, nampaknya Bunda kurang bisa  mengerti dan menghargai benda bernilai historis. Nilai historis sejelek atau seburuk apapun bentuknya seharusnya wajib dijaga dan dilestarikan, bukannya malah dihancurkan. Walaupun digantikan dengan yang lebih baik, tetap saja benda historical tidak tergantikan posisinya--apalagi jika digantikan dengan tugu katanya mirip sebuah partai yang agak-agak itu.

Semua benda bersejarah memiliki arti penting bagi sebuah bangsa, hingga wajib dijaga. Bangsa yang maju dan beradab adalah bangsa yang pandai melestarikan benda bersejarah. Suatu kekonyolan jika sebuah bangsa menghancurkan dan merobohkan benda bersejarah lalu membuat bentuk baru yang lebih modern dengan dalih modernitas. 

Bayangkan jika semua orang berfikir seperti Bunda Illiza, maka saya khawatir Piramida di Mesir akan dihancurkan dan dibuat baru dengan bentuk lebih indah, lebih modis dan modern. Dan mungkin saja candi Bobobudur dihancurkan dan dibangun ulang dengan bahan-bahan modern. Jika saja hal-hal ini terjadi, saya yakin tak bakal ada yang protes.

Saat kita semua telah menjadi abai terhadap nilai dan lebih mementingkan bentuk maupun modernitas. Maka janganlah heran jika suatu saat Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dihancurkan dan disulap dengan mesjid bentuk lain yang lebih megah, lebih hebat.

Jika seperti ini yang terjadi, apa yang dihasilkan selanjutnya? Mesjid Raya Baiturrahman memang menjadi lebih megah, tapi nilai  sejarahnya telah hancur, hilang. Sama seperti nasib tugu Simpang Lima sekarang. Ia tampak lebih indah, lebih megah, lebih modern. Namun, tugu Simpang Lima sekarang telah kehilangan nilai-nilai historis sejak awal diresmikan.

Kita berubah menjadi manusia-manusia perusak sejarah dengan dalih perubahan zaman dan modernitas, seperti alasan Bunda ketika menghancurkan tugu Simpang Lima sebelumnya. 

Kita belajar pada bangsa lain bagaimana caranya menjaga dan merawat peninggalan sejarah. Maka, jangan heran jika kelak bangsa lain akan belajar kepada kita bagaimana caranya merusak peninggalan sejarah—tentu saja dengan harapan tidak mengulangi aksi kurang cerdas seperti itu. Yah, setidaknya itu menurutku sih. Orang bisa berpendapat berbeda-beda. Semua tentu melihat sisi positifnya menurut versinya masing-masing.[]