(Ilustrasi: https://wall.alphacoders.com/) |
Sebelum lanjut membaca, mari merenung sejenak:
"Hak muslim terhadap muslim lain salah satunya saat dia meninggal dunia, mengurus jenazah dan mendoakannya. Terlepas dia meninggal bagaimana, kita mesti mendoakannya. Sangat disayangkan, saat ada orang yang meninggal karena bunuh diri, kita menghakiminya, lalu mencelanya tanpa tahu kepahitan hidup apa yang dia hadapi. Sejahat inikah kita? Bahkan untuk orang yang sudah mati pun kita masih tidak bisa bersimpati dan menunjukkan rasa iba."
Baru-baru ini, sebuah video dari menara tertinggi di Mesir, memicu kontroversi, dan tersebar di seluruh dunia Arab bersama amarah, caci maki, serta doa. Dalam tanyangan video tersebut seorang pemuda dengan sweater gelap nekat terjun dari menara tertinggi di Kairo. Seseorang sempat ingin menariknya, tapi ia terlanjur terlambat, dan langsung terjun membawa beban hidupnya. Bahkan, media Mesir mencatat dalam dua hari tersebut terjadi tiga kasus bunuh diri di tempat berbeda.
Hal yang terjadi kemudian adalah, orang-orang mulai menghakimi, mencaci maki almarhum, bahkan mempertanyakan keimanan si pemuda. Beruntung, masih banyak juga yang berkomentar positif dan mendoakan kebaikan, pengampunan, dan keberkahan almarhum di akhirat. Sebuah hal yang manis yang seharusnya dilakukan oleh makhluk yang dianugerahi hati dan perasaan.
Rasa emati dan doa adalah hal yang memang sepatutnya kita lakukan sebagai kewajiban kita saat seorang muslim meninggal, bukan malah mencaci atau bahkan mempertanyakan keimanannya.
Lembaga Fatwa Mesir langsung mengambil sikap dan pandangan terkait permasalahan penyakit mental dan aksi bunuh diri, dan sekaligus menyayangkan sikap tidak berempati manusia terhadap kasus-kasus bunuh diri.
Syekh Khalid Umran, Sekretaris Lembaga Dewan Fatwa Mesir, heran dengan masyarakat. Alih-alih bertanya bagaimana cara menghadapi dan mengobati penderita penyakit mental atau berkonsultasi pandangan agama tentang kehidupan, masalah yang rutin ditanyakan malah "Apakah pelaku bunuh diri kafir atau tidak?".
"Bahkan, mereka seolah-olah merasa diri sebagai penjaga pintu surga, dengan mengklaim bahwa pelaku bunuh diri seperti itu kafir," katanya.
Menurutnya, Islam mengajarkan umatnya untuk melanjutkan dan mengisi kehidupan. Namun, sangat disayangkan terkadang bahwa kasus bunuh diri ini termotivasi akibat adanya penyakit mental, hilangnya kesadaran, dan adanya tekanan yang tidak bisa ia tampung.
"Kami tidak memiliki hak untuk menghakimi seseorang kafir atau tidak, dan kami selalu berharap dan berdoa Allah mengampuni kita semua," kata Syekh Khalid Omran.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus kematian akibat bunuh diri rata-rata satu orang tiap 40 detik, dan setiap tahunnya ada sekitar 800.000 kasus bunuh diri di seluruh dunia. Sedang di Indonesia sendiri, tiap satu jam ada satu orang melakukan bunuh diri. Berdasarkan analisi yang dilakukan Beritagar.id, terdapat 302 kasus bunuh diri sejak Januari hingga September 2019. Kasus bunuh diri ini umumnya dipicu oleh depresi.
Syekh Khalid menyampaikan bahwa depresi merupakan penyakit yang membutuhkan seorang spesialis. Lembaga fatwa tidak berperan sebagai seorang dokter, akan tetapi perannya sebagai pembantu dan mengarahkan ke tempat yang tepat.
Lembaga Fatwa Mesir memiliki kerja sama dengan lembaga khusus yang menangani masalah gangguan mental. Syekh Khalid menyatakan bahwa Lembaga Fatwa Mesir selalu menganjurkan para penanya atau penderita masalah kesehatan mental untuk pergi ke dokter khusus seperti psikolog dan psikiater.
Memang, sebagian kita masih menganggap bahwa depresi diakibatkan oleh iman yang lemah, sehingga kudu dirukyah-rukyih, seperti orang yang kerasukan setan. Orang depresi bukan berarti jauh dari agama, banyak sekali faktor yang mempengaruhinya dan mengakibatkan psikologisnya terguncang.
Agama melalui ajaran dan proses ibadah memang menjadi salah satu senjata untuk memperkuat mental. Namun, apakah jika mental kita tidak kuat, seperti hati dan perasaan yang mudah ambyar berarti kita kurang ibadah atau enggak ada iman sama sekali? Ya enggak begitu logikanya dong, My Love.
Hal seperti ini sebenarnya adalah sifat manusiawi dengan permasalahan dan beban kehidupan kompleks ditambah daya tahan kejiwaan yang berbeda-beda tiap individu manusia. Depresi atau penyakit mental lainnya bisa menimpa siapa saja dan jelas butuh penanganan profesional dari psikolog dan psikiater, seperti kata Syekh Khalid.
Beberapa bulan lalu, dalam konferensi pers kampanye nasional untuk menghilangkan stigma terhadap penyakit mental, Syekh Ali Jumah mengatakan, bahwa penyakit gangguan psikologis atau penyakit mental tidak ada hubungannya dengan jin atau setan. Jin memang ada, tapi tidak ada hubungannya dengan gangguan psikologis.
Sayangnya, ada sekitar 99 persen masyarakat Mesir yang masih percaya bahwa penyakit psikologis ini disebabkan oleh gangguan jin atau setan. Hal yang barangkali tak jauh berbeda dengan stigma yang terjadi di Indonesia.
Syekh Ali Jumah mengajak untuk memaksimalkan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang, terutama di bidang kedokteran. Kesehatan mental dan psikologis adalah hal penting bagi masyarakat. Salah satu tujuannya mungkin agar masyarakat tidak mudah galau dan frustrasi.
Imam Besar Al-Azhar Mesir, Syekh Ahmad Thayyib, mengatakan bahwa saat ini kesehatan mental harus menjadi prioritas kemanusiaan secara global yang harus dilakukan oleh berbagai negara. Penyakit mental merupakan hal yang cukup serius dan mengancam jutaan orang di seluruh dunia. Menurutnya, hari ini kita sangat membutuhkan partisipasi seluruh masyarakat untuk menekankan jumlah penyakit ini. Kita punya tanggung jawab untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menghilangkan stigma tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyakit mental.
"Hal yang sebaiknya kita lakukan adalah mendoakan almarhum dan diri kita sendiri agar diampuni dari segala dosa, dan tidak menyebarkan foto atau video yang tidak layak disebarkan."