Tentang Menjabat Tangan Wanita, Aku Punya Kisah Memilukan

(Foto: Muhammad Haikal Sjukri/unsplash.com)

Kisah ini terjadi tahun lalu (2017), saat aku pulang sebentar ke Aceh setelah 3 tahun merantau di Mesir. Tiga tahun di Mesir membuatku jauh dari berbagai skandal yang berkaitan kehidupan perempuan. Jujur saja, selama itu juga tanganku sekali pun tak pernah menyentuh mereka (walau dalam artian hanya berjabat tangan).

Aku tiba di Aceh Jumat pagi. Karena keletihan dan masih mabuk udara, hari itu dan besoknya aku enggak pergi ke mana-mana. Namun, Minggunya ternyata ada pesta pernikahan Kak Nong. Mau tidak mau, aku harus memikirkan cara untuk bisa ke pesta pernikahan ini. 

Enggak pergi pun enggak mungkin, soalnya Kak Nong menurutku tipe wanita yang sulit menerima alasan. Kalau saja ia tahu aku sudah tiba Aceh tapi enggak pergi ke pesta nikahnya, kasus ini kemungkinan besar akan diungkit-ungkit hingga tujuh keturunan. Ayok ngaku saja, kebanyakan perempuan begini memang kan...? Suka mengungkit-ngungkit. 

Terlebih, di sana ada Agam yang katanya sudah tiba sehari sebelumnya (Sabtu) di Sigli. Ia pasti sudah membocorkan ketibaanku ke Aceh. Agam ini adalah tipe yang terlalu jujur sebagai laki-laki dan susah berdusta. Dalam hal ini, ia sedikit mirip denganku, dan ini juga terkadang membuatku kesal padanya. Namun, hal yang akhirnya membuatku menghadiri pesta nikah Kak Nong adalah karena beliau sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Enggak mungkin kan seorang adik enggak datang pas kakaknya pesta nikah? Adik macam apa aku ini...? 

Singkat cerita, aku memutuskan berangkat ke Sigli sendirian, menggunakan motor kakak yang sudah kulobi dengan susah payah. Dan benar, ternyata susah sekali melobi perempuan ternyata agar ia luluh, tidak cukup dengan modal tampang dan pujian. Untuk melobi motor saja, aku harus bilang sama kakak, "Ini motor udah lama enggak diservis kak, olinya pun tampaknya udah lama juga enggak diganti baru. Kapan kakak terakhir servis dan ganti oli...?" 

"Dua bulan. Hampir tiga bulan kayaknya," ujar kakakku. Ini dia salah satu penyakit lain kebanyakan perempuan. Malas atau enggak punya waktu khusus untuk servis motor. 

"Ya udah kak. Aku pinjam motornya hari Minggu ini. Nanti aku servis, ganti oli, kalau perlu, nanti aku cuci juga sekalian. Kalau perlu motornya sekalian aku ganti. Ganti sama yang lebih jelek," kataku sambil tertawa. 

Kakak akhirnya luluh dan mengizinkan motornya aku pakai. Menang banyak atau kalah banyak (karena harus servis motor plus ganti oli) aku enggak tau. Pokoknya aku senang saja. Motor boleh kupakai mendaki Seulawah. 

Masalah berikutnya adalah meminta izin Mak. Ini salah satu hal paling sulit. Anaknya baru tiba kok bisa-bisanya berangkat lagi ke Sigli. "Hana meuhoe tajoe?" 

Bahkan, Mak menuduhku pergi ke Sigli hanya untuk menemui pacar yang tinggal di Sigli. Sedangkan undangan pesta hanya kedok dan bentuk modus saja. Aku dan kakakku tertawa. 

Mengapa Mak yakin betul aku akan mengunjungi pacarku yang sudah lama enggak kujumpai menurut versinya? 

Dulu sekali, saat semester awal kuliah di UIN Ar-Raniry (dulunya masih IAIN), aku sempat menggoda Mak bahwa aku sedang mencintai gadis Sigli. Dulu juga, setiap lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, aku pasti selalu ke Sigli. Di sinilah Mak curiga, jangan-jangan candaanku betulan. Padahal itu hanya bohongan. Saat itu aku dan kakakku hanya menggoda Mak saja, karena beliau sering bilang "Kalau menikah nanti jangan sama perempuan seberang gunung Seulawah dan Gurutee". 

Rupanya kata-kataku pada Mak beberapa tahun lalu, masih ia simpan utuh di memorinya. Dan ternyata, sampai sekarang masih beliau yakini kebenarannya. Ya sudahlah. 

Nah, dengan lobi yang sedikit rumit dan dengan birokrasi yang cukup berbelit, aku akhirnya diizinkan pergi dengan syarat bawa motor hati-hati dan pelan-pelan. 

Syiaaap komandan...! 

Hari Minggunya, sebelum mendaki Seulawah, motor kuservis terlebih dahulu di daerah Lambaro Kafee (kafir). Aku enggak tahu entah mengapa daerah ini dinamakan Lambaro Kafee, bahkan setelah pelaksanaan syariat Islam di Aceh dideklarasikan sejak 2001 sampai sekarang, Lambaro ini belum juga menjadi muallaf. Entahlah, mungkin saja suatu saat nanti, sebelum ajal menjemput.

Setelah lebih kurang 2 jam menghabiskan waktu perjalanan, aku akhirnya tiba di tempat acara. Aku bergabung bersama kawan-kawan cowok (termasuk alumni UIN) yang sudah duluan datang dan membuat kelompok cang panah alias ngerumpi sendiri. Sedangkan ceweknya yang cantik-cantik dan manis-manis itu masih di dekat pelaminan dan baru saja menampilkan dan menyaksikan tarian. 

Beberapa saat setelah berbaur dengan kawan-kawan ini, datanglah para perempuan tadi yang juda masih satu almamater denganku. Mereka ingin bersalaman dengan para alumni dengan tujuan menghormati dan menghargai. 

Dari tempat dudukku, kulihat satu orang perempuan datang penuh wibawa. Ia memimpin di depan, sedang perempuan-perempuan lain mengikutinya dari belakang. Kalau melihat pemandangan seperti ini, yakinlah bahwa perempuan di depan ini adalah perempuan paling berani di kelompoknya, ketua gengnya, sedang perempuan di belakang itu kayak pembantu-pembantunya saja. 

Sialnya, tempat dudukku dengan jarak mereka termasuk paling dekat. Perempuan ini kemudian bersalaman dengan alumni yang duduk di depanku, lalu meletakkan tangan abang itu ke dahinya penuh takzim. 

Setelah itu, perempuan ini langsung menatapku dan mengarahkan tangannya padaku. Aku ragu-ragu apa harus memberikan tanganku atau tidak. Kalau tidak kusambut tangannya, ia akan merasa tersinggung atau gimana nanti.
Aku sendiri tidak punya keinginan untuk menepis tangannya, aku kurang nyaman saja jika nanti tanganku diletakkan di keningnya atau lazimnya anak-anak mencium tangan gurunya. Sedangkan haram atau tidaknya berjabat tangan dengan perempuan non-mahram, aku lebih condong ke pendapat Syekh Ali Jum'ah atau kalam Syekh Magdi 'Asyur dari Lembaga Fatwa Mesir, yang dalam konteks tertentu berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahram diperbolehkan (dengan syarat-syarat tertentu)

Hal yang juga sesungguhnya mengkhawatirkanku adalah tanganku ini kayaknya punya unsur mistis gitu. Aku khawatir saja jika perempuan ini menyentuh tanganku. Aku takut, ia akan jatuh cinta padaku nantinya atau kalau tidak, aku yang jatuh cinta padanya. Dan nampaknya, yang paling akhir ini adalah hal yang paling memungkinkan. 

Bayangkan, seperti kataku di awal. Tiga tahun aku hidup di Mesir dan selama itu aku tidak pernah menyentuh perempuan (walau hanya berjabat tangan), tiba-tiba datang perempuan cantik menjulurkan tangannya kepadamu—ditambah senyum manis yang yang melekat permanen di wajahnya genap sudah menghanyutkan duniaku—apa enggak tersentak anak muda. Ini bidadari, malaikat atau gimana...? 

Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya aku membiarkan tanganku yang kasar ini berjabat tangan dengan perempuan ini. Namun, saat tangannya mulai menarik tanganku ke dahinya, tanganku menolaknya. Tanganku refleks menariknya. Aku melepaskan tanganku dari tangannya. Aku enggak tahu, refleks dari mana ini. Refleks ini sebenarnya hanya refleks biasa, siapa pun yang ingin mencium tanganku, aku pasti menolaknya—apalagi seorang perempuan. 

Mati aku. Perempuan ini ternyata tersinggung. 

"Eeeh hai Bang, sombong kali kok. Baru pulang dari Mesir aja kek gini. Bang Agam yang juga baru pulang dari Mesir enggak kek gitu. Tersinggung saya Bang," teriaknya menghakimiku di depan kawan-kawan. Aku melihat wajah Agam yang duduk agak ke ujung. Bukannya membantu kawannya, Agam malah tersenyum. Keterlaluan ini kawan ternyata. 

Saat itu, aku kayak orang paling begok sedunia. Aku sempat berpikir seharusnya aku enggak ke pesta nikah hari itu atau sekalian aja aku enggak pulang ke Aceh. Sumpah, malu kali rasanya diteriaki di depan orang-orang macam begini. Aku kayak sudah melakukan 7 dosa besar terhadap perempuan versi On The Spot. 

Di saat seperti inilah aku berpikir, "Terkadang memang perempuan terlalu semena-mena pada laki-laki". 

Apa salahku ya Allah? Aku tidak kenal perempuan ini. Aku juga tidak pernah menghina perempuan ini. Aku tidak sedang memacari perempuan ini lalu tertangkap basah jalan sama wanita lain (karena aku pun tak pernah pacaran sekali pun seumur hidup), dan posisiku saat itu pun, tidak sedang menjadi Pelakor (enak saja). 

Untuk beberapa saat, hidupku siang itu terasa hambar sekali. Setelah ia mengomeliku dan kembali menyalami kawan-kawan yang lain. Dengan perasaan bersalah, aku terpaksa minta maaf pada perempuan cantik dan manis ini. 

"Sorry, sorry... Aku enggak sengaja tadi. Bukan maksud menyinggung tadi. Aku enggak mau tanganku dicium. Latah juga aja tadi, tangannya mulus kali soalnya..." 

Ia hanya menjawab sinis seadanya, "Iya Bang, enggak apa-apa". 

Sumpah, sakit sekali masih rasanya. 

Setelah kejadian ini, aku semacam kesurupan. Tanpa kusadari, insting laki-laki milikku bekerja maksimal, kucari semua perempuan-perempuan untuk aku salami satu persatu, mulai dari pengantinnya (Kak Nong), akhwat-akhwat cantik Nasyid, adik-adik manis personil tarian Ranup Lampuan, bahkan ibu-ibu yang enggak kukenali di sana, rasanya ingin kusalami semua. 

"Ini Dik, tanganku Dik. Ambil sepuasnya. Mau diletakkan di dahi, silahkan. Mau diletakkan di di pipi, silahkan. Tangannya mau dicium, silahkan. Atau tangan ini mau dibawa sekalian ke KUA juga, aku enggak keberatan," begitulah gerutuku dalam hati. 

Wanita memang susah sekali dimengerti. Didekatin salah, dijauhin juga salah: dianggap sok jaimlah, sok alimlah, sok cueklah, sok kerenlah, sok gantenglah dan bla... bla... bla... 

“Kujunjung perempuan tinggi-tinggi... Aku bersimpuh di hadapan mereka. Dan layaknya pemuda sejati, aku merasa diriku tidak layak di hadapan objek yang kupuja,” ungkap Nikolai Tesla, ilmuan yang akhirnya memilih menjomblo. Atau benar kata Raditya Dika, perempuan memang sulit dimengerti, diperlakukan baik-baik nolak. Namun, jika perempuan disakitin, ngakunya sama, "Benar ya, cowok itu semua sama aja. Sama bajingannya."[]

Note:

Link untuk kalam Syekh Ali Jum'ah di sini.
Link untuk kalam Syekh Magdi 'Asyur di sini.