|
Shalat Tarawih di ruang tengah terbuka mesjid Al-Azhar. (Dok. pribadi) |
Wajah Al-Azhar malam itu belum indah sempurna. Mesjid yang sudah mulai dibangun sejak 4 April 970 Masehi memang masih dalam tahap renovasi. Beberapa ruangan mesjid masih dalam proses pemugaraan. Misalnya saja tiang-tiang besi penyangga dan jaring-jaring safety Polynet berwarna hijau masih tergeletak, membungkus dinding di beberapa bagian mesjid.
Jamaah yang shalat di mesjid Al-Azhar lumayan ramai, sebagian besar tidak tertampung di ruang utama yang masih dalam pemugaran memilih shalat di ruang tengah terbuka.
Malam pertama Ramadhan, Thaib bertekat untuk shalat Tarawih malam pertama di mesjid Al-Azhar. Ia tampak sangat gembira ketika mendengar ruang tengah mesjid Al-Azhar sudah bisa digunakan. Sore itu, Thaib berangkat dari Hayy ‘Asyir ke Hussein khusus untuk bisa menikmati shalat Tarawih di mesjid yang pertama kali digunakan untuk shalat pada 7 Ramadhan 361 H. Seribuan tahun yang lalu.
Bagi kebanyakan orang, malam pertama Ramadhan harus diisi sesuatu yang berkesan, sehingga menjadi momen yang sulit dilupakan. Ibarat kenangan cinta pertama yang sulit dilenyapkan. Malam pertama (jangan berfikir yang bukan-bukan ya) mestilah spesial, makanya mayoritas mesjid hanya penuh di awal-awal Ramadhan. Sedangkan malam-malam akhir, seperti yang kita tahu, hanya tersisa imam mesjid, bilal, beberapa pengurus mesjid, dan umumnya hanya diisi kakek-kakek tua bangka yang sedang berburu ajal surga.
Shalat di mesjid—yang sudah digunakan untuk shalat sejak 1077 tahun silam—ini memang menarik. Selain dipimpin imam dengan suara fasih dan indah, mesjid ini mampu mengkhatamkan satu juz setiap malam dalam 20 rakaat shalat Tarawih ditambah Witir. Terlebih imam mesjid membaca Al-Qur’an dengan qiraah yang bermacam-macam. Hal-hal semacam inilah menjadikan mesjid Al-Azhar sebagai pilihan shalat Tarawih terbaik bagi sebagian orang, termasuk Thaib.
Entah benar atau tidak. Bagi Thaib, shalat di sini bisa membangkitkan nilai spritualitas, apalagi ditambah mendengar tausiah Syekh Al-Azhar di sela-sela Tarawih. Ceramah mereka bikin adem dan sejuk di hati.
Malam itu Thaib memakai baju terbaik yang dimilikinya. Ia memakai kemeja lengan panjang bercorak batik. Penampilannya lebih mirip Geuchik (kepala desa) saat menghadiri undangan resmi pemerintahan atau barangkali ia lebih mirip duta batik internasional saat melakukan kampanye cinta produk dalam negeri. Hanya saja, wajahnya menjadi tua beberapa tahun dari umur sebenarnya, perut Thaib yang mulai buncit semakin meneguhkan hal itu.
Selepas shalat Tarawih dan Witir 23 rakaat. Thaib yang malam itu shalat di sampingku tidak pernah menyangka, seorang bapak yang duduk di sebelahnya bertanya banyak hal kepadanya. Thaib mengobrol dengannya dengan begitu baik, aku hanya menyimak percakapan mereka. Sesekali jika ia bertanya padaku, aku menjawab seadanya. Selebihnya aku hanya diam.
Bapak yang merupakan orang asli Mesir ini bertanya tentang keadaan mahasiswa rantau Indonesia dan pendapat Thaib tentang Ramadhan di Mesir. Sebelum pamit, ia bertanya jumlah teman-teman di rumah kami saat ini.
"Kami ada tujuh orang," kata Thaib. Ia menjawab begitu saja tanpa berkeyakinan apa-apa.
Setelah mendengar itu, pria tersebut langsung mengeluarkan sejumlah uang dari kantong kanan saku celana. 1400 Pound Mesir, sekitar satu juta rupiah lebih. Ia berikan kepada Thaib dan agar dibagikan kepada kami juga.
Thaib terkejut.
Sebenarnya, penampilannya malam itu bisa dibilang cukup mencolok di antara jamaah shalat Tarawih. Namun sayang, penerangan cahaya yang redup di ruang tengah mesjid membuat penampilan Thaib berbeda. Cita-citanya menjadi pria shaleh dan dengan setelan keren aduhai, runtuh. Baju batik yang dikenakannya nampak kusam. Sempurna. Malam itu ia berubah, dari duta batik internasional menjadi duta baju batik rongsokan. Wajah yang disemir rapi menjadi tak bercahaya, kusam dan kumal.
Barangkali pria Mesir itu beranggapan Thaib mahasiswa lansia kurang gizi dan kasih sayang, hingga ia memberikan satu juta rupiah kepada Thaib. Ia nampaknya kasihan melihat kondisi Thaib.
"Tolong dibagikan kepada kawan-kawan di rumah juga," pesannya kepada Thaib sambil melihatku, Hendri dan Iskandar yang saat itu juga sedang larut dalam obrolan masing-masing. Kami dan Thaibur mengucapkan terima kasih, juga mendoakannya. Tak lama setelah itu, ia langsung berlalu pergi, mungkin mencari orang lain untuk diberikan pound.
Mesir sangat mencintai Ramadhan. Misalnya saja, tanpa uang sedikitpun, saat Ramadhan kita mustahil kelaparan di Mesir. Orang Mesir tahu benar bagaimana caranya memuliakan Ramadhan. Mulai dari lorong-lorong yang dihias, orang bersedekah dimana-mana, tempat berbuka puasa berserakan, hingga mesjid-mesjid yang penuh hingga akhir Ramadhan.
Saat pulang, sambil bercanda Thaib berkata, "Seharusnya tadi kubilang saja jumlah kita sepuluh orang. Pasti dikasih lebih banyak lagi."
"Astagfirullah, memang manusia. Kita harusnya bersyukur," keluhnya sambil tertawa.
Akupun ikut tertawa, dalam hati aku mengiyakan niatnya. “Tanggung kali kalau sepuluh, seharusnya bilang saja jumlah kita ada seratus orang, kan lumayan untuk persiapan mahar yang semakin mahal di Aceh.”
"Malam besok, Kamu pakai lagi batik keberuntungan ini. Siapa tahu ketiban rezeki lagi kita," saranku. Thaib tertawa.
Ramadhan memang bulan penuh berkah dan kesan. Sebagian mendapatkan kesan, sebagian lain memilih menciptakan kesan indah di mata Allah. Bulan yang penuh guyuran keberkahan.
Malam itu, kami benar-benar bersyukur. Ada saja cara ajaib Allah memberikan sesuatu kepada hambanya. Malam pertama Ramadhan itu kami sedang diajarkan bahwa nikmat dan karunia Allah sangat banyak. Kita sering beranggapan bahwa nikmat itu hanya berupa materi, padahal memiliki waktu untuk beribadah (apapun itu) adalah sebuah nikmat. Ada ganjaran pahala dan cinta Allah dalam setiap amalan kebaikan kita. Dan itu jauh sangat bernilai, apalagi di bulan Ramadhan. Namun sayang, kita hanya menilai sesuatu yang kasatmata, seperti uang satu juta rupiah itu.